Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
27 Mei 2017
Sindu Putra
Di Depan Patung Garam Men Brayut
ceritakan lagi padaku, Ibu…
anak-anakmu yang tidak akan pernah kembali
bukankah kau
adalah ibu dari lima pandawa…
dan . . . bukankah kau juga
adalah ibu dari seratus korawa…
hingga kini
kau hanya mengakui
melahirkan empat anak
anak-anak yang menyusu
di tubuhmu, seumur hidup:
wayan kaja
menghilangkan diri ke gunung
mencari puncak senyap
mencari kepundan kosong
mencari kaldera hampa
made kangin
menutup mata
mematikan mata api matahari
berjalan dalam gelap
membuka pintu cahaya
nyoman kelod
menghanyutkan diri ke laut lepas
menyelam sejauh palung paling rahasia
rahasia segitiga: lahir-hidup-mati
ketut kauh
menempuh megatruh
bulan sabit, . . bintang padam, matahari gerhana
di separuh waktu
menempuh megatruh waktu paruh
ceritakan perihal anak-anakmu, Ibu
cerita tentang penjaga empat penjuru angin
angin timur laut, . . . . . angin tenggara
angin barat daya, . . . . . angin barat laut
anak-anakmu yang berangkat ke satu arah
namun tak pernah kembali dari arah yang sama
2017
Doa Seorang Calon Penyair di Makam Seorang Mantan Penyair
aku .curi
segenap kata . . . . . . .dan bukan kata
yang dijadikan milikmu
untuk menguruk birahi dalam hatiku
hingga, . . . . . . jadi pantun
tempatku belajar . . . . . menuntun diri,
hingga, . . . . . . .jadi gurindam
tempatku mengidam . . . . . . . . masa depan,
hingga, . . . . . . . jadi haiku
tempatku . . . . . . . . . . . menjadi Aku
lantas,
untuk mengutuk birahi dalam hatiku
aku hapus pesan pendekmu
yang menghuru-harakan tanganku
: ”puisi, . . . . . . ternyata
hanyalah makam penyairnya
imigran gelap yang berjuang mencapai kekata
puisi, . . . . . . . . . hanya
kubur pemimpi basah . . . . . . tanpa epitaf
tanpa taburan bunga perkabungan
puisi, hanya sebuah lubang luka
di tanah: . . . tubuh, . . yang tak pernah kering….”
2017
Di Muka Topeng Air, di Museum Nyoman Gunarsa
kau bentangkan untukku
lukisan yang tak terkira panjangnya
lukisan yang tak sanggup aku uraikan warna dasarnya
dimulai, . . . . . . . . . . . . dari lukisan hitam-putih
seorang perupa yang tidak dikenal namanya
yang bercerita tentang ketiga dunia,
dan berakhir, . . . . . . . . . . . . . . pada satu lukisan
yang hanya berupa kanvas kosong
sebuah lukisan tanpa warna, tanpa cerita, tanpa pigura
aku perhatikan lebih seksama
wajahku juga tergantung
di antara topeng-topeng yang matanya terpejam
masing-masing hendak bertutur
tentang silsilah, . . . . . . asal-usul, . . . . . babad
riwayat . . . . . . awal hingga akhir, . . . . seorang manusia
dan topeng penghabisan
yang mendapat tempat paling gelap
di lantai ketiga museum,
hanya sebuah topeng tanpa wajah
topeng yang memperlihatkan padaku
arah cahaya yang datang
lewat lubang langit-langit
cahaya yang menimpa, . . . . . . . . . . . . tepat
pada kerut di antara ceruk kedua bola mata
aku pun gugup
aku bergegas
namun selalu saja tak sanggup umtuk berpaling lagi
dari pandangan topeng air
yang tergantung sendiri
topeng, . . . . . . .yang tak seorang pun tahu
berapa sudah umurnya itu…
2017
Aku Hadiahkan di Hari Ulang Tahunmu
aku hadiahkan di hari ulang tahunmu
sebentuk boneka garam
yang menghantarmu ke rumah kawin
yang menemanimu di rumah duka
yang menunjukkanmu rumah ibadah
: di hari paling tua tahun ini
jalani tanpa tertidur
tanpa air mata
tanpa bunga sungkawa
tanpa buah tak berbiji
diam . . . . . . . . .membisu
ini malam paling malam
tanpa api . . . . . . . . . . . tanpa cahaya
maka,
tuhan, . . . . . . . bersembunyilah
aku akan mencarimu,
sampai
menemukanmu
tak pernah bersembunyi
bahkan
di tempat suci sekali pun
2017
Sindu Putra lahir di Denpasar, Bali, 31 Juli 1968. Kini ia tinggal di Mataram, Lombok. Kumpulan puisinya antara lain Biografi Burung (2013).
Esha Tegar Putra
Lenggo Geni kepada Cindua Mato
Telah aku himpun berpuluh lesung berikut alu, Kakanda
ketika tiga malam berturut-turut
murai memekik di tandan buah kelapa
dan bengkalai kain selesai kubakar
sudah jadi abu, sudah berupa debu
lesung dan alu kubuat berbunyi bertalu-talu
hingga tanah membikin lindu
lenganku berharap segera terkait tulang belikatmu
rambutku berkibaran sudah sementara angin kosong tiada menderu
entah mambang dari gunung mana
entah hantu dari lembah mana
membikin gerak jantung ini kian menggila.
Telah aku perturut hasrat, kuurut semua kalimat umpat
tapi hidup ini memang benar khianat, Kakanda.
Maka pada tungku dengan api membumbung
di atasnya
kubikin kuali teronggok mengangkang
kuisi pati santan
segala rempah
segala daun penggoyang lidah
kuserakkan ke dalam
Tapi jangat bukan lagi jangat
daging bukan lagi daging
ketika gulai menggelegak kutunggangkan ke badan
sakit tidak lagi terasa ke dalam
Telah aku himpun berpuluh lesung berikut alu, Kakanda
kubuat berbunyi bertalu-talu sepanjang malam terbentang
sebagai tanda kangen mendera
sebagai ganti demam tiada terkira.
Depok, 2017
Mencari Puti Bungsu
Pada air tenang dalam talam itu
kembali aku cari tubuhmu
kulihat sebuah dusun tersibak dari balik kabut pagi
barangkali itu kota tersumbul seusai asap berhari-hari
lenguh seekor babi hutan diterkam anjing pada bagian leher
gerung truk-truk tua pengangkut pasir pada pendakian kesekian
rumah oleng dengan tiang hitam
dari peradaban lama
kondominium tegak berjaga
dalam lingkaran cahaya
aku melihat hari lalu sekaligus hari depan saling bertaut
dusun dan kota seakan lempeng mata uang logam bergasing
dan suara-suara, dari rimba raya, dari lingkar luar jalur niaga
dari arah muara, dari arah gudang kina dan gudang tembaga
suara-suara mengendap jauh ke pangkal lubang telinga.
Pada air tenang dalam talam itu
tidak pernah kutemukan lagi tubuhmu
sudah kujatuhkan sehelai demi sehelai rambut
yang tersangkut di bekas sisirmu
rambut jatuh
air membikin riak
udara tersentak lantas bergerak
kecuali bayangan punggung beranjak menjauh
dari dalam talam itu
hari lalu adalah gerak riak menepi
dan hari depan membikin pusaran lamban
ke dalam, pusaran susut kian ke dalam
Depok, 2017
Esha Tegar Putra lahir di Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Buku puisinya antara lain Dalam Lipatan Kain (2015).
Komentar
Posting Komentar