Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Gratiagusti Chananya Rompas: Perempuan di Bawah Naungan Ki Hujan

Kompas/Yuniadhi Agung
Gratiagusti Chananya Rompas
Gratiagusti Chananya Rompas (38) mengandaikan dirinya terwakili oleh “Kota Ini Kembang Api” dan “Non-Spesifik”. Keduanya adalah kumpulan puisi karyanya yang menampung sisi terang di satu buku, dan sisi gelap di buku yang lain. Anya, begitu dia biasa disapa, bernaung di bawah Ki Hujan untuk menemukan dirinya.
Pagi itu kami janjian bertemu di Saudagar Kopi, kafe di Jalan Sabang, yang sudah buka sejak pukul 07.00, melayani orang-orang kantoran yang tak sempat sarapan. Namun, bukan Anya. Dia menghabiskan banyak waktu menulis di kafe itu sekaligus sebagai tempat melihat dunia luar.




Gratiagusti Chananya Rompas
Kompas/Yuniadhi Agung
Gratiagusti Chananya Rompas

Dengan agak kikuk, dia menyodorkan tangan. Kami bersalaman. Anya memakai kemeja kotak-kotak. Anting berbentuk prisma menambah pesona potongan rambut mullet-nya, berponi, tipis di bagian samping, dan memanjang di bagian belakang. Ada sedikit sepuhan warna merah tatkala sinar membias dirambutnya. Gaya rambut ini pernah ngetop di era 1980-an. Rocker Joan Jett atau penyanyi dan aktris Liza Minnelli. “Mungkin karena aku kehilangan identitas jadi memakai identitas masa lalu ha-ha-ha,” seloroh Anya menjelaskan tentang gaya rambut dan pakaiannya.
Dia lalu memesan roti bakar telor dadar serta minuman favoritnya, orange juice dan flat white. “Ini lembut. Rasa kopi dan susunya berimbang. Ada pahit kopi dan gurih susu,” ujarnya mempromosikan flat white.
Anya sosok yang hangat, terbuka, dan selalu mencoba ceria. Di balik itu, dia tengah berjuang menyeimbangkan kondisi mentalnya agar tidak lagi terperosok ke dalam depresi yang menyiksa. Dan, menulis puisi menjadi salah satu terapinya. Menulis menjadi cara dia menyalurkan emosi ketika tak pandai mengungkapkannya dalam kata-kata verbal.
Tampaknya itu pengaruh dari mendiang ibunya yang meninggal ketika Anya masih kelas II SMP. Saat masih TK, ibunya digerogoti kanker dan terus berjuang hingga delapan tahun kemudian berpulang. Pada masa- masa sakit itu, sang ibu tidak pernah mengeluh, selalu tegar, dan penuh perhatian. Bahkan, ketika sudah tak bisa berbicara dan lemah di ruang ICU, sang ibu sempat menulis catatan kepada ayah Anya agar membantu keluarga pasien yang sempat di rawat di samping dia. “Pasien itu meninggal dan ibuku masih sempat mikir orang lain, padahal dia juga sakit keras.”
Anya merasakan kasih sayang ibunya lewat sentuhan, senyuman, dan pelukan. Ibunya nyaris tidak bicara sehingga Anya tidak mempunyai ingatan tentang nasihat atau kata-kata bijak dari ibunya.
Pengalaman batin bersama ibunya itu mengendapkan persepsi bahwa itu menjadi perempuan yang baik itu harus mampu bersikap tegar. Tidak boleh mengeluh. Terus tersenyum dan berjuang. “Menjadi perempuan yang baik harus bisa seperti ibu, yang di keluarga menjadi role model,” kata ibu dari Jaemanis Rosemary Johani (8).

Terpuruk
Rupanya persepsi itu tidak selalu benar. Ceritanya pada suatu hari pada tahun 2015, dia ambruk dan harus dibawa ke rumah sakit. Sepulang dari sana, emosinya tidak stabil. Menangis lama tanpa sebab. Lalu, dia menjalani sesi konseling dengan psikolog dan psikiater untuk menemukan penyebabnya. Anya mengalami drama-drama kehidupan yang kemudian berujung pada vonis sebagai perempuan bipolar dengan kecederungan depresi.
Kecenderungan bipolar ini sebenarnya sudah ada sejak lahir dan bersifat laten. Selama ini Anya relatif dapat mengatasinya lantaran dia mampu mengatasi beban hidupnya. Namun, ketika ambruk itu beban hidupnya begitu berat, terlebih setelah ayahnya meninggal empat tahun lalu. Juga masalah lain.
Dari sesi konseling itu, Anya diminta lagi menggali emosinya di masa lalu lewat tulisan-tulisan yang pernah dia bikin. Dia lalu menelusuri lorong emosi lewat kata-kata. Dia menemukan pernah suatu hari merasakan banyak sekali yang berkecamuk di kepala tetapi sedikit sekali kata-kata yang keluar. Namun, ada perasaan lega dan ringan setelah menulis.
Ini kemudian memengaruhi bentuk beberapa puisi Anya yang irit kata tetapi sarat rasa, seperti puisi “Hari Itu Indah” yang berisi tujuh kata. Juga “Sepi” yang hanya terdiri atas sembilan kata, //mengendapendap/seperti kucing/melintas meniti pagar/di malam purnama//
Di masa kuliah sastra Inggris di Universitas Indonesia, Anya yang mendirikan komunitas sastra Bunga Matahari ini mempunyai target pribadi satu puisi satu hari. Namun, ada kalanya dalam sehari dia melahirkan lima puisi. Banyak sekali isi kepalanya yang tertuang ke dalam barisan kata. Itu kondisi yang belakangan dikenal Anya sebagai mania (manic) atau bahagia berlebihan. Bisa juga semangat berlebihan. Kebalikan dari depresi atau sedih berlebihan. Ketika ayunan dua kondisi itu, dari bahagia berlebihan ke sedih berlebihan, terlalu kencang, akan mengganggu seseorang. Anya mencoba menjaga stabilitasnya lewat menulis.
Dia juga harus menghindari stimulus yang dapat menyulut emosi. Ketika media massa dan media sosial ramai oleh ujaran kebencian seperti sekarang ini, Anya memilih puasa. Pernah suatu saat dia ingin menulis status, tetapi suaminya, Mikael Johani, melarangnya. Dia tahu betul Anya nanti akan terpancing membalas komentar orang- orang yang tidak sepaham dengannya. Anya memilih menjadi orang waras. “Suami saya yang membacakan berita terbaru untuk menyuplai informasi. Tetapi, setelah dia saring-saring ha-ha-ha.”

Guru bahasa
Suatu hari ketika masih SMP, Anya dan teman-teman sekelasnya diminta guru Bahasa indonesia membuat puisi. Guru itu menyuruh muridnya keluar kelas, melihat-lihat segala yang ada di halaman sekolah. Menyuruh mereka menulis apa saja yang terlintas. Anak-anak itu menyebar di bawah pohon Ki Hujan atau trembesi yang memayung.
Adapun Anya agak menjauh sehingga bisa menangkap kesan pohon gagah itu seolah melindungi teman-temannya. Dari situ, dia menulis puisi berjudul Ki Hujan, dan menjadi puisi terbaik di antara puisi teman-temannya. Keteduhan Ki Hujan menaungi Anya berpuisi.
Sejak saat itu, menulis puisi seolah menjadi jalan hidupnya. Dia lalu menggeluti dunia sastra dengan membentuk komunitas Bunga Matahari lewat milis yang menjadi ruang diskusi maya pada awal era 2000-an. Kala itu dia masih kuliah di UI. Setelah lulus, dia melanjutkan studinya dengan mengambil program The Gothic Imagination di University of Stirling, Skotlandia, lulus tahun 2005.
Anya menilai puisi harus komunikatif. Mampu menjelaskan hal kecil di sekeliling. Cara pandang ini menghasilkan puisi-puisi yang mudah dipahami, tetapi tidak jatuh pada kedangkalan makna. Sebutlah puisi “Titik Titik Lampu Merah dan Hijau di Permukaan Kausmu” yang menceritakan tentang perempuan berkaki jenjang menawarkan rokok putih sambil tersenyum.
Pengamatannya yang jeli juga terungkap dalam puisi “Jalan Sabang Bising”, //siang ini/suara suara di jalan sabang terdengar sedikit terlalu bising// lift yang hanya mampu mengangkut tiga orang juga harus mendongeng// ia bisa mati kapan saja, mungkin sulit untuk hidup kembali// di antara makan siang pun ada tangga rahasia yang jadi tempat tinggal kucing// jangan sentuh pegangannya/ tak ada yang tahu siapa lagi yang pernah ke sana// mungkin sudah jadi perkampungan peri peri bakteri yang tak kelihatan//
Puisi-puisinya tersebar di beberapa ontologi, majalah, dan koran. Buku kumpulan puisinya Kota Ini Kembang Api (2016) yang berisi 86 puisi. Dia segera meluncurkan kumpulan puisi dalam buku keduanya, Non-Spesifik, yang menampung seratusan puisi. Kedua buku itu mewakili ledakan emosi pada diri Anya. Puisi menjadi terapi seperti Ki Hujan yang memberikan keteduhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi