Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Ombak Tiris di Bengkalis oleh Boy Riza Utama

13 Mei 2017

Boy Riza Utama

Ombak Tiris di Bengkalis

I.

Ombak tiris di Bengkalis
Buaian ikan-ikan

Temu kilat permulaan bulan
Lepas dayung terigau sampan

Lekas hari berkemas
Tiap ambang pertemuan

Kau baungku, menampik santan
Gurih cerita mendadak rasan

Mungkin kau lebih dulu kutinggalkan
Atau sejak lama aku kau lupakan


II.

Ombak tiris di Bengkalis
Jeda buih dan getaran

Kangen menghala ke ulu batin
Debur ranjang riang pengantin

Tapi tahun ringkas, cemas bersisian
Cekikik lemah kandas dalam rasian

Amboi, terbelah sudah dua daratan
Meski lautmu pasirku bersebadan

Mungkin kau lebih dulu kulupakan
Atau sejak lama aku kau tinggalkan



Anjangsana Antonio, 2011

Tak lagi terikat pada tembuni
Usai terlilit ke inti bumi, tujuh
Petala zaman kini kumasuki, dan
Angin abad 18 tiba-tiba merambati
Lekuk pulau hingga gigir bandar ini

Maka menyelamlah aku, di Selat Baru
Menunggu sebelas juta pasang mata
Ikan sakit di celah berhantu itu
Memberi isyarat makam dituju

Tapi aku tahu, ratusan tahun sudah
Bibir pantai layu, tanjung ditinggalkan
Sejak air tinggi lepas dari kuasa bulan
Bagai pantun tiada daya tak bersampiran

O, abad 18, seruku dari balik cadas
Benang api yang merajut silsilah ini
Camar beterbangan dengan paruh terbakar
Batas kota dagang dihapus tanpa tawar

Maka lebih dalam lagi aku kini
Menyusuri jalan darah sendiri
Dan di tengah, tiga ribu sisik ikan demam
Berlepasan, barisan tongkang kandas dalam
Reruntuhan zaman, pasir bercerai dari daratan

Ketika cahaya kawin di udara, malam jadi
Hujan nilakandi merayu petala berikutnya
Tapi empat abad cukuplah buat mengerti
Pada tembuni itu silsilahku tak ada lagi



Di Bandar Serai

Angin lasak di Bandar Serai
Menampar barisan baliho
Sebuah sungai pucat-sawo
Mengalir dari kata anak Sakai

Hutan-hutan terkapar, katalog
Pariwisata menggelar ribuan senja
Bersama angin membuai sebentar
Lalu laut tanpa riak menggelepar

Bukan cinta, melainkan peristiwa
Yang dipugar sebagai cenderamata
Liontin pirang tibarau, aksesori
Penawar bagi lintuh hari lampau

O, tongkang mainan, dibawa hujan
Angin lasak, barisan baliho ditampar
Saat langit kuning masak, uap kopimu
Mengirimkan satu isyarat kematian



Depan Istana Siak

I.

Masih ada jejak sultan
Tinggal di jalur pedestrian
Badai menukik lancang
Tergugu meraih simpang

Simpang adalah ingatan
Ingatan berisi pertanyaan


II.

Mungkin ada pencalang tergusah
Meski kota ini kian tumpas-alah
Keping koin mengalirkan dencing
Antara hari lalu resah berpaling

Barangkali berpaling hanya muasal
Muasal pembangkangan yang kekal


III.

Tapi kota ini kepalang jatuh
Sebelum kakimu menempuh
Sebertaut getar subuh
Dalam cahaya bersepuh

Sepuh mungkin isyarat yang janggal
Janggal bagi jam yang berputar kidal


Boy Riza Utama lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Mei 1993. Ia bergiat di Komunitas Paragraf, Pekanbaru.




DEDDY ARSYA

Zaman Meleset

Di tubir tebing curam ada rumah bordil
di bawahnya jalan pos, dibangun para tahanan

dari penjara kota yang kini telah dipindahkan

ke depan bioskop.

Dari atas truk melaju, para buruh perkebunan
melambaikan caping pandan dalam sorak tertahan

mereka sering kali bermalam di pondok candu

setelah hari gajian berpelesir ke pemandian air panas
kadang merayu gadis-gadis untuk sama-sama berendam

membayangkan diri pada bilik-bilik sauna.

Karena tidak punya tanah di desa, gadis-gadis jadi gundik di kota
lainnya jadi pekerja harian di rumah-rumah bordil di tepi jalan pos

yang dibangun dari kata-kata kotor tuan mandor
yang karena sifilis kini telah dipindahkan ke Eropa

seorang pencolang desa dulu juga pernah singgah ke sini
memesan bedil untuk rekan kerjanya di ibukota residensi

dia mengira itu benar-benar bedil padahal hanya ketopong
model jeniseri Turki yang dikirim ke sini berabad-abad lalu

diselundupkan melalui jalan pintas ke kota garnisun
menyisir sungai purba bekas jalur karavan emas

ketika Sultan masih bisa menitahkan sesuatu
tapi kini kekuasaan hanya bisa bilang, ”Anu, anu!”

Di tubir tebing curam ada rumah bordil
tempat buruh-buruh mabuk tuak murah.



Menunggu Oto

Setiap hari aku lewat di situ, memandang kolam yang lapang
tak terdengar kecipak ikan, hanya pendar redup bohlam
dari langit-langit langkan
rumah beratap merah bata
mungkin ada poskar tergantung di dinding, jejak air sirih mengering
aku tidak bisa tidak menoleh pada tiang-tiang dari kayu gaharu
berukir bunga cengkeh, dan lukisan mooi indie – dokar di tepi sungai
kereta api di jembatan tinggi.
Lalu aku dengar suaramu
melambai-lambai
menyuruh singgah.

Tapi aku pada kereta bara yang melesat kencang
dari cerobongnya mengepul asap hitam
aku melihat hutan terkelubak pada cekung matamu
sawah dan ladang yang dipindahkan ke gerbong-gerbong berat ini
menuju lain pelabuhan
dan kapal-kapal kosong muatan.

Setiap hari aku lewat di situ, melihat kolam yang keruh air
ikan-ikan putih mati mengapung, daun keladi kuning lepas ke saluran tandas
membawa sisa minyak dari dapur, rumah dengan dinding warna timah
tidak bisa tidak aku menoleh pada ukiran petai cina di pinggir jendela
pedati dari zaman Padri dan tiang bajak
yang patah tersandar
di suar luar.
Serupa tungkai-tungkai kakimu.
Tapi tak ada lagi suaramu, melambai-lambai, serupa dulu, lenguh sapi pun
tak terdengar, dari kandang di belakang, hanya tersisa bayangan
ladang jagung terpencil di tepi bukit, lobak busuk dalam karung
dan musim kering
merontokkan daun,
kuli-kuli membuat jalan membelah perbukitan
lalu segerombolan laki-laki murung
lari dari rodi, lari
ke kota-kota jadi tukang catut.
Aku melihat kau menunggu oto
di halaman berpendar bohlam.
Hari cepat betul jadi kelam.



Membezuk Kawan

Aku ke rumah sakit sepekan berikutnya
aku dapati dirimu berenang dalam tabung oksigen
lehermu terjerat selang-selang infus
kau menggigit kabel-kabel pengeras suara
kau menelan ceramah agama setiap pagi jam lima
kau sering kehabisan udara untuk bernapas
lorong dalam dirimu menjadi begitu panjang
seperti lorong-lorong di rumah sakit itu
katamu kau tak percaya pada impian yang menggebu-gebu
kita sebaiknya memelihara omong kosong untuk bisa berbahagia
aku akan pergi ke tempat di mana kau tak ada
jadi setelah ini jangan bawakan lagi aku apa-apa.

Aku ke rumah sakit sepekan berikutnya.
Aku tidak bisa menangkapmu lebih jauh lagi.


Deddy Arsya tinggal di Sumatera Barat. Buku puisinya berjudul Odong-odong Fort de Kock (2013).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi