Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
DEPOK, KOMPAS — Kehadiran Chairil Anwar dalam khazanah kesusastraan Indonesia tak lekang oleh waktu. Zaman boleh berganti, tetapi karya-karya yang ditinggalkannya tetap relevan untuk dikaji.
Pada era digital ini, pemikiran penyair berjuluk “Si Binatang Jalang” itu tetap relevan meski ia telah tiada sejak masa awal kemerdekaan RI.
Hal ini mengemuka dalam acara Mengenang Chairil Anwar: Kepenyairan dan Pemikiran di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Kamis (4/5). Acara ini digelar oleh Program Studi Indonesia bekerja sama dengan Program Studi Belanda, Departemen Susastra, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) Komisariat UI dan Fakultas Ilmu Budaya UI.
Ibnu Wahyudi, sastrawan dan pengajar di UI, mengatakan, meskipun puisi-puisi Chairil Anwar tidak lagi yang paling sering dikutip masyarakat dalam berkembangnya dunia digital, tetapi karyanya tetap dikenal. Berdasarkan pengamatannya, Ibnu menyebut Sapardi Djoko Damono serta Joko Pinurbo dengan puisinya yang jenaka termasuk yang paling sering dikutip.
“Produksi puisi di era digital ini terlihat semakin tinggi. Saya yakin Chairil Anwar dengan karyanya tetap menginspirasi,” kata Ibnu tentang penyair kelahiran Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, itu.
Adapun wartawan dan penyair Hasan Aspahani mengatakan, berdasarkan penelusuran dokumentasi di media massa sehari setelah pemakaman Chairil Anwar yang meninggal pada usia 27 tahun terungkap bahwa Chairil memulai penggunaan perkataan penunjuk ini dan itu di depan nama benda dalam persajakan. Penggunaan yang berkebalikan dengan tata bahasa Indonesia.
Menurut Hasan yang menulis buku Chairil, sebenarnya Chairil Anwar yang tokoh Angkatan ’45 layak dijadikan pahlawan nasional. Sebenarnya dia pernah diusulkan bersamaan dengan Tokoh Angkatan ’66 Amir Hamzah. Namun, hanya Amir Hamzah yang disetujui sebagai pahlawan nasional untuk budaya dan bahasa.
“Generasi sekarang tetap bisa belajar dari Chairil Anwar tentang kerja keras, ketekunan, dan totalitasnya dalam berkarya,” ujar Hasan.
Berpikir bebas
Pembicara lainnya, Mursidah, pengajar program studi Belanda UI, menyoroti khazanah sastra dunia Chairil Anwar yang luas. Salah satunya terpengaruh penyair Belanda Hendrik Marsman. Ini terlihat dari kesamaan puisi yang mengambil simbol laut.
“Karya Chairil Anwar menginspirasi dan tetap dapat terus dikupas. Terlihat dari karyanya yang individualis, pemikir bebas, berani menentang penjajahan Jepang. Gayanya ekspresionistis,” kata Mursidah.
Dalam forum itu juga dibahas soal plagiarisme (penjiplakan) yang dilakukan Chairil Anwar. Namun, Ibnu menjelaskan, plagiarismenya lebih karena tidak menyebutkan sumber dari mana dia menyadur. “Namun, gaya Chairil Anwar tetap kuat dalam karyanya. Kasus plagiarisme ini tak mampu menutupi kebesaran Chairil Anwar,” ujarnya. (ELN)
Pada era digital ini, pemikiran penyair berjuluk “Si Binatang Jalang” itu tetap relevan meski ia telah tiada sejak masa awal kemerdekaan RI.
Hal ini mengemuka dalam acara Mengenang Chairil Anwar: Kepenyairan dan Pemikiran di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Kamis (4/5). Acara ini digelar oleh Program Studi Indonesia bekerja sama dengan Program Studi Belanda, Departemen Susastra, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) Komisariat UI dan Fakultas Ilmu Budaya UI.
Ibnu Wahyudi, sastrawan dan pengajar di UI, mengatakan, meskipun puisi-puisi Chairil Anwar tidak lagi yang paling sering dikutip masyarakat dalam berkembangnya dunia digital, tetapi karyanya tetap dikenal. Berdasarkan pengamatannya, Ibnu menyebut Sapardi Djoko Damono serta Joko Pinurbo dengan puisinya yang jenaka termasuk yang paling sering dikutip.
“Produksi puisi di era digital ini terlihat semakin tinggi. Saya yakin Chairil Anwar dengan karyanya tetap menginspirasi,” kata Ibnu tentang penyair kelahiran Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, itu.
Adapun wartawan dan penyair Hasan Aspahani mengatakan, berdasarkan penelusuran dokumentasi di media massa sehari setelah pemakaman Chairil Anwar yang meninggal pada usia 27 tahun terungkap bahwa Chairil memulai penggunaan perkataan penunjuk ini dan itu di depan nama benda dalam persajakan. Penggunaan yang berkebalikan dengan tata bahasa Indonesia.
Menurut Hasan yang menulis buku Chairil, sebenarnya Chairil Anwar yang tokoh Angkatan ’45 layak dijadikan pahlawan nasional. Sebenarnya dia pernah diusulkan bersamaan dengan Tokoh Angkatan ’66 Amir Hamzah. Namun, hanya Amir Hamzah yang disetujui sebagai pahlawan nasional untuk budaya dan bahasa.
“Generasi sekarang tetap bisa belajar dari Chairil Anwar tentang kerja keras, ketekunan, dan totalitasnya dalam berkarya,” ujar Hasan.
Berpikir bebas
Pembicara lainnya, Mursidah, pengajar program studi Belanda UI, menyoroti khazanah sastra dunia Chairil Anwar yang luas. Salah satunya terpengaruh penyair Belanda Hendrik Marsman. Ini terlihat dari kesamaan puisi yang mengambil simbol laut.
“Karya Chairil Anwar menginspirasi dan tetap dapat terus dikupas. Terlihat dari karyanya yang individualis, pemikir bebas, berani menentang penjajahan Jepang. Gayanya ekspresionistis,” kata Mursidah.
Dalam forum itu juga dibahas soal plagiarisme (penjiplakan) yang dilakukan Chairil Anwar. Namun, Ibnu menjelaskan, plagiarismenya lebih karena tidak menyebutkan sumber dari mana dia menyadur. “Namun, gaya Chairil Anwar tetap kuat dalam karyanya. Kasus plagiarisme ini tak mampu menutupi kebesaran Chairil Anwar,” ujarnya. (ELN)
Komentar
Posting Komentar