Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Tangga Naga oleh Kiki Sulistyo

15 April 2017


Kiki Sulistyo

Tangga Naga
: Hanafi

tak bisa kausebut ia menara meski ia menjulang
dan kau merasa berada di dasar jurang, merahnya
yang redam menimbulkan bunyi-bunyi masa silam
dongeng perihal sungai kembar kiri-kanan, memisahkan
kesedihan dari biji-bijinya; airmata para penyadap
yang lengket di hutan-hutan karet

tak bisa kaupanjat ia meski tubuhmu secepat induk kera
ia lentur dan kenyal hingga tiap yang membentur akan
terpental, caputnya berpaling ke kiri, siripnya berdiri
seperti menolak mati. dari mulutnya terjulur daging api
menyulut suara-suara yang lama ditimbun sunyi

dari dasar jurang kausaksikan sesungguhnya ia adalah
tangga, jalan satu-satunya menuju dunia di atas sana
sebentang daratan di mana kembaranmu mengembara
mencari rumah di celah-celah sempit kebun sawit

(Kekalik, 2017)



Patung Burung

ratu burung pilu, tunjukkan padaku langit yang satu
kanvas orang dulu, batas-batas baru pada gua batu

tebing miring runtuh saat kening
murungku tersentuh sinar lampu
lengking unggas purba
membunyikan kebisuanku

pameran dibuka: ruhku bangkit dari gletser
melintasi pintu geser, memenuhi galeri dengan bulu-bulu marmer

(Bakarti-Pagesangan, 2017)



Pelayaran Suram

Alihkan pandangmu dari halimun di sekitar. Bermil-mil jauh daratan, kita bawa
surga dan derma, kita hindari sauh dan dermaga. Pulau seberang mengapung

bagai bangkai binatang purba. Dibantai manusia dulu, manusia yang hanya tahu
berburu dan meramu. Bukankah di jari kalian telah melingkar cincin arbain, di lidah

kalian melekat ludah bilal? Pulau itu persembunyian budak-budak buta tuli,
tak mengerti bahwa bumi dihamparkan agar menjadikan mereka satu kaum saja.

Satu kaum dengan kita. Di pulau itu akan kita temui juga tiga ribu berhala.
Setiap hari dimandikan dengan darah keluarga. Sampai batang-batang

pohon berpendar merah menjelang rebah dan mereka percaya itulah pertanda
turunnya perintah untuk mengubur segenap rahasia penciptaan manusia.

Alihkan pandangmu dari halimun di sekitar. Bermil-mil jauh daratan
pasukan-pasukan lain memasang layar, menaikkan perbekalan, membawa

pengetahuan dan mesiu, membawa ilmu dagang dan moncong senapan.
Juga sampar. Juga agama. Bukankah telah dinujumkan pada kalian bahwa

perang demi perang akan demikian panjang, dan kita cuma buih mati
di ombak yang tak pernah berhenti datang, berhenti pergi?

(Pagesangan, 2017)



Anjing dari Bakarti

Ada luka di lehernya. Ada luka. Dan parang pengulu berkilat
di dahan jambu. Di dahan jambu. Waktu jantung bayi berdetak
pertama kali, dan dinding rahim dikeraskan. Dari teras

sampai ladang. Sampai ladang penuh kembang-kembang hutang.

Ada dengking di moncongnya. Ada dengking. Waktu orang asing tiba.
Orang asing tiba dan tiba-tiba dusun sepi seperti kurun sebelum penghuni.
Sebelum penghuni membawa bibit padi. Dan persoalan dimulai

dari harga dan timbangan laba. Dari agama dan berita-berita.

Tapi siapa bakal percaya. Bakal percaya. Jika hijau matanya menyala,
cadas di sungai menjelma emas. Emas di rumbai menjelma kapas.
Ringan dan murah dan lembut dan mudah diterbangkan ke lembah-lembah.

Seperti kabar. Seperti kabar bahwa di sini para rompak menyamar peternak.

Dan istri-istri mereka yang santun, bersembunyi di balik kain tenun. Kain tenun
tak berjarum. Disusun dengan jampi sirih jampi pinang. Sampai perih jari di tangan,
sampai repih pagi di pangkuan. Di pangkuan, bayi merah menandakan bibit rekah,

memecah basah tanah. Dan musim berpindah dari rempah ke kuning gabah.

Kuning gabah. Kuning nanah yang pucat dihisap lalat. Sayat demi sayat.
Seperti ayat yang mengutuknya jadi binatang yang senang menghamba.
Pada dia. Pada dia yang membuat di lehernya ada luka. Ada luka.

(Bakarti, 2017)

Kiki Sulistyo lahir di Kota Ampenan, Lombok, 16 Januari 1978. Kumpulan puisinya antara lain Penangkar Bekisar (2015).




Ahmad Yulden Erwin

Bejana Waktu

1 /

Semangat api
Tak bisa kauletakkan
Pada sebentang gurun

Atau di padang embun,
Semangat api
Adalah alun stepa

Ketika kau menantang
Angkasa dan menyatakan

Dirimu: Ada,
Sebagai ilalang atau cahaya.

2 /

Prahlad,
Bajingan tua itu,
Telah mengubah
Dirinya sebagai abu

Kau mungkin
Tak pernah mengira
Kesedihan api
Di pusat tungku

Mencipta simetri
Di dinding waktu,
Seakan gurat
Pada punggungmu.

3 /

Manusia pertama
Bukanlah Manu,
Tetapi gagak yang
Terkubur di puncak bukit.

Manusia pertama
Adalah hantu,
Yang diam-diam resap
Ke bercak punggungmu.

Sebelum seekor gagak
Dari puncak bukit,
Mengubur sepasang
Sayap di celah mimpimu.

4 /

Piktograf yang manis
Kau tak mungkin
Menahan seluruh mimpiku

Di bioma gurun, sebab
Laut ialah sepasang samun
Yang akan menuntun kita
Membaca tafsir sang juru peta

Sebelum perawi itu benar terjaga.

5 /

Semua ini ternyata
Perihal monolit
Pada sebuah palka;

Seorang kelasi
Nampak tergesa
Mengangkat
Harta karun itu
Dari palung samudra;

400 tahun lalu
Seorang perawi
Dan seorang nakhoda
Nekat berlayar
Dan menjelajahi
Pantai-pantai asing
Dan ratusan kota, demi
Mengurai semacam kode
– Atau sepasang yantra? –
Dalam jejaring mitologi sabda;

Namun, ternyata,
Setiap monolit ialah morse
Dari mimpi para pencipta bahasa.



Pulang

0 /
Pagi terakhir di jalan gunung
Stasiun silam: abu putih, salju hitam

1 /
Seluruh sutra Buddha –
Lima jejak kelinci di hutan Ogaya

2 /
Tangkai ume jiwanya, tetes embun
Matanya, tetapi kita ada di luar itu semua

3 /
Hutan ini selalu guruku, sebab
Kau tahu, cawan terbaik ialah keheningan

4 /
Lelaki itu telah selesai –
Sebelum menyentuh lempungnya

5 /
Senja, api, dan tungku anagama
Arakawa telah pulang ke lekang cawannya



Imari

Setiap kata tak mampu menangkapnya
Setiap tafsir tak mampu menguncinya
Ia halus dalam misteri, juga segenap tanda

Di sini kita membuka diri, kemudian terjaga
Seperti angkasa, presisi awan dan cuaca
Tumbuh untuk mengingkari bunga-bunga

Lalu, pelan-pelan, menyimpan seluruh putihnya



Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi Perawi Tanpa Rumah (2013) dan Sabda Ruang (2015).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi