Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

berakhir pada cahaya oleh Triyanto Triwikromo

22 April 2017

Triyanto Triwikromo


berakhir pada cahaya

kita bermula dari tiada. berakhir pada cahaya



akulah kitabmu


“aku perlu kitab,” kataku
“akulah kitabmu,” katamu



frasa orang menangis

“sesekali aku akan menjelma kesedihan di mata kucing
itu,” katamu, “sesekali aku akan bersembunyi di frasa orang-orang yang menangis. sesekali aku akan menjadi salju beku di keheningan rambutmu.”



satwa rumpang

maka kau pun mengerti aku hanyalah satwa rumpang. sel-sel di tubuhku tak sempurna. percintaanku denganmu tidak sepadan. aku sonet kau suwung tak terindera. aku pengemis kau pemilik senja. aku masa lalu kau surga. aku konon kau berita. aku
jendela kecil kau pintu yang menelan seluruh keindahan dunia



tidur di tepi sungai

“tidurlah dahulu,” katamu, “tidurlah di tepi sungai.
berbaringlah di bawah daun-daun yang gugur. bermimpilah
di dalam lembut nyanyian burung-burung yang terusir dari tanah
terpencil.”
“aku ingin terjaga sepanjang waktu,” kataku, “aku ingin mendengarkan sepasang telur menggerutu. aku ingin melihat
sepasang cicak bernyanyi tentang ujung-ujung daun berulat
kuning.”
“kalau begitu kau tidak akan pernah mendengarkan
sabdaku di dalam mimpimu. aku tidak ingin bersabda pada saat kau paham warna hujan. aku tidak ingin menebarkan benih-benih ayat merah pada saat kau tahu laut memeluk kapal-kapal yang hendak berlabuh.”
“apakah aku harus selalu patuh padamu?”



di pulau terpencil

aku hanya ingin tinggal di pulau terpencil. pulau tanpa
nabi tanpa wali. pulau tanpa rongsokan kapal. tanpa cerita hantu. pulau tanpa sekoci berisi tikus-tikus atau kucing-kucing. tanpa
anjing. tanpa ayam hijau
lalu aku pun tinggal di pulau terpencil. pulau penuh ganggang merah karang merah kepiting merah dan hujan merah. pulau penuh gema tralala aurora biru muda dan capung-capung
kuning tua
“makanlah aku!” kata ganggang merah, “dan kau akan segera paham betapa kau adalah tuhan bagi sekalian satwa
dan tumbuhan.”
aku pun makan ganggang yang kugulung menjadi
semacam bola-bola kecil. aku pusing. aku mabuk. aku merasa
berada di pohon tertinggi dan bisa memandang segala satwa
dan pohon yang berkerumun mengelilingi danau berair hijau
“makanlah aku lebih banyak!” kata ganggang merah,
“dan kau akan segera paham betapa tuhan di seluruh alam yang tak
kaulihat maupun kaulihat akan bersujud kepadamu.”
aku pun makan ganggang lebih banyak. aku kian
mabuk. aku kian pusing
“namaku agama,” kata ganggang merah, “kian kau
mengenalku kau akan tahu siapa tuhanmu siapa iblis molekmu
siapa makhluk-makhluk yang berlomba-lomba mengkhianatimu.”
aku pun melahap seluruh ganggang yang tersisa. aku
tak tahu apakah aku kian mabuk, terbang ke langit sebelas malaikat,
atau menyelam ke laut tiga belas hiu.
aku pun berteriak, “aku bukan tuhan purbamu. aku
hanya ingin tinggal di pulau terpencil. aku tak butuh agama. aku tak
butuh nabi. aku tak butuh wali.”
“kau telah jadi tuhan. jangan bermimpi jadi laba-laba
atau tungau. jangan pula ingin jadi sungai atau gunung atau sekadar danau.”
“aku tak ingin jadi tuhanmu. jangan kauciptakan agama
hanya karena kau ingin memujaku!”



pecahan kapal

dulu aku selalu menganggap pulau terpencil sebagai salah satu pecahan kapal yang meledak. kapal yang hanya dihuni seorang penyair yang tersesat, benih pohon kopi yang akan ditanam di tanah perjanjian, tiga orang utan, tiga singa, tiga bangau, tiga
tapir, tiga tupai, tiga burung merak, tiga kelelawar, dan tiga kodok.
semua berwarna hijau
aku juga pernah menganggap pulau terpencil adalah pecahan taman firdaus. taman tempat seorang pembunuh
bersembunyi di semak-semak bersama tiga semut, tiga lintah, tiga kupu-kupu, tiga ulat, tiga lalat, dan tiga kadal. semua berwarna biru
sesekali aku menganggap pulau terpencil hanyalah
pecahan mars. mars yang dihuni oleh seorang pemurung, tiga batu purba, tiga bukit hijau, tiga butir pasir, tiga jejak sepatu, tiga
bintang, dan tiga kaktus tanpa duri. semua berwarna hitam
ternyata aku keliru. pulau terpencil hanyalah hutan sunyi tanpa badai daun tanpa badai bunga. tentu ada pembaca rasi bintang yang selalu tampak tolol, tiga pohon pisang, tiga danau,
tiga zebra, tiga gorila, tiga buah jeruk yang terus menggelinding ke sana ke mari, tiga matahari, tiga ikan nila, dan tiga kambing. semua
berwarna kuning
“kau boleh memerintah semua makhluk,” bisik suara dari langit, “kau boleh meminta mereka berkembang biak. kau
boleh menulis ayat-ayat indah untuk mereka. kau boleh…”
“boleh membunuh apa pun dan siapa pun?”
tak ada jawaban
“boleh berkhianat pada apa pun dan siapa pun?”
tak ada jawaban
“boleh menista apa pun dan siapa pun?”
tak ada jawaban
“baiklah kuubah pertanyaanku: boleh mengasihi apa pun dan siapa pun?”
masih tak ada jawaban



pada ayat ke-33

pada ayat ke-33 hujan hijau mengucur dari langit yang juga hijau. kau meninggalkan aku di hutan penuh kera, babi, dan
ular kobra
kau menghilang dari bukit dari penginapan turis-turis
bodoh dari pohon-pohon yang tidak pernah diberi nama
“jadikan aku babi!” aku berdoa, “beri aku agama tanpa nabi. jadikan aku satwa manis tak mahir berkelahi tak mahir
membunuh lintah atau makhluk daif.”
tetapi kau selalu tak mau mendengar doa jahat doa para
pengancam. kau justru memberiku kebun binatang tanpa pawang
maka muncullah babi merah, dua ekor anjing jingga, ayam-ayam betina cokelat tua, burung-burung merpati kuning, biri-
biri biru, dan sapi merah
muncullah kuda-kuda bersayap, lalat bermoncong
kupu-kupu, kambing-kambing bertanduk oranye, itik-itik bercula,
dan kucing-kucing tanpa mata
“jangan jadikan aku adam,” aku berseru, “aku tak bisa memberi nama satwa-satwa liar. aku tak mampu mengubah seluruh
makhluk hutan menjadi pemujamu!”
kau tidak menjawab pertanyaanku. kau hanya
meninggalkan wangi lumpur. kau hanya meninggalkan wangi
bulan. kau hanya meninggalkan wangi laut
“aku juga tak ingin jadi nuh,” aku kian panik, “aku tak bisa menghanyutkan kapalku setelah banjir besar itu
meluluhlantakkan rumah-rumah dan klinik para tabib.”
tetap tak kaujawab pertanyaanku. kau meninggalkan suara burung unta. kau meninggalkan aum sepasang harimau. kau
meninggalkan berisik rusa-rusa
“sungguh, aku juga tidak mau jadi musa,” aku meratap, “aku tak sanggup mengalahkan raja-raja brengsek. aku tak bisa
membelamu dari pengkhianatan iblis molek.”



satwa-satwa lembuat

“ketakutan adalah satwa-satwa lembut yang selalu
berkerumun di danau mati saat aku tafakur bersama nekton-nekton berotot kuat dan ganggang-ganggang yang menolak menghuni
neraka,” kataku.
“tetapi kau tidak perlu bergidik pada makhluk-makhluk bersel satu yang memujamu bagai menyembah naga bersisik bunga-bunga besi,” kata cacing, “kau tidak perlu gentar pada medusa-medusa merah yang selalu memandangmu sebagai kekasih tak setia. pandang dengan mata nanar. jelmakan mereka
jadi batu-batu purba yang tak teraba oleh petapa suci.”
aku tetap saja gemetar memandang paku-paku gerimis yang menusuk mata. aku cemas ketika dari balik pohon hitam menggelegar suara, “apakah kau ngeri merasuk ke dalam meditasi babi atau gelak tawa nabi? apakah kau ngeri mengalun di lagu
demit putih atau racau malaikat hijau?”
aku tak berani menjawab pertanyaan itu. aku bergidik ketika paham aku hanya kera yang ke mana-mana mendekap mayat
kekasih tanpa rupa
aku waswas ketika tahu aku hanya burak yang lupa
bertanya kepada nabi arah surga sembilan puluh sembilan ayat
maka aku pun merinding saat dari balik danau muncul semacam ikan berkepala kerbau mendengus-dengus
dan menghardikku, “jangan pernah menyembah ketakutan
sebagaimana kau memuja gunung-gunung berlumut. beranilah meniru guru tak berpayung, penyanyi tak berharpa, atau daun pahit
tak berjamur.”
tentu saja aku bimbang memilih sungai atau bukit
hanya agar aku tetap jadi batu. aku segan mengembara ke kota-kota yang kelak dibakar dan diguncang gema dan gempa hanya agar aku tetap menjadi pohon majal. pohon yang membunuh nabi adam.
pohon yang membunuh nabi nuh dan nabi sulaiman
karena itu mengertilah, wahai cacing segala cacing, hanya ketakutanku kepada yang selalu memilih sirnalah yang
menyelamatkanku dari amuk kabut
mungkin amukmu. mungkin
amuk halimun. mungkin
amuk kelam. kelammu
kelam silam. kelam
yang tak teraba
oleh mata. tak teraba
oleh doa


Triyanto Triwikromo menulis kumpulan puisi ”Kematian Kecil Kartosoewirjo” (2015) dan ”Pertempuran Rahasia” (2010).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi