Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
1 April 2017
Wayan Jengki Sunarta
Yanwa Tanarsu
Dirimu ada dalam diriKu
Kita saling melengkapi
Serupa madu pada sari bunga
Seperti bintang dalam galaksi
Lalu, mengapa kau berjalan tak tentu arah
Langkah letihmu telah mengikis waktu
Dalam labirin itu kau serupa Minotaur
Berapa tumbal lagi kau inginkan
untuk sampai pada kesejatian
Sejak kau dilahirkan
kegelapan telah mengintai dan mengujimu
Namun, kau cuma menebar senyum
Itulah sebabnya Aku mencintaimu
Kau ingat? Seekor monyet siluman
menjilati ari-arimu, lalu perutmu
digerogoti cacing-cacing desti
Kau nyaris sekarat
Sebilah keris kecil milik dukun sakti
merasuki keningmu begitu hangat
Dukun itu mati usai menyembuhkanmu
Kau berutang padanya
Dan, karma bekerja dalam dirimu
Dukun yang lain memberimu sekeping uang kepeng
ketika kau menangis meraung di siang lengang
Dukun itu juga mati usai menghiburmu
Dan, roda karma terus berputar dalam dirimu
Sebagai kawan seperjalanan,
kematian begitu mengakrabimu
Serupa langkah dan bayangan
Seperti bibir dan senyuman
Aku merindui kenakalan masa kanakmu
Ketika kau bermain begitu riang
bersama memedi, dedemit, danyang
di tepi sungai, di ladang keramat, di gigir jurang,
di pesisir pantai, di petilasan tua,
di gunung dan hutan larangan
Kau kasihi batu-batu,
kau cintai pohon-pohon
Hatimu terharu pada hewan terlunta
dan kaum teraniaya
Kau tumbuh dan hidup dalam cahaya bulan
Itulah sebabnya Aku mengasihimu
Suatu waktu, kau berusaha mengenali diri
Merambah jalan yoga-semadi
Mengumpulkan cahaya niskala
dengan doa dan mantra
yang bergetar dan menggema
dalam bejana jiwa
Empat saudara dari gua garba
memberi restu dan melindungimu
Namun, di waktu yang lain
kau melupakan empat saudaramu
Bahkan, kau lupakan dirimu
Bagai kerbau dungu
kau berkubang dalam lumpur
yang kau buat sendiri
Kini, kau membangun labirin
menjebak diri dalam pusaran waktu
Kau mendekam serupa Minotaur
menunggu pembebasan
Bebaskan dirimu!
Dan, datanglah padaKu
seperti dahulu
(2017)
Daki
Jangan jadikan aku pupur
yang melapisi wajahmu
bila membuatku makin jumawa
dan silau akan pesonamu
Jangan jadikan aku gincu
yang memoles bibirmu
yang gemetar penuh ragu itu
Cukup jadikan aku daki
yang melekati kakimu
Hingga aku makin paham
segala jejak langkahmu
membawa silam menjauh
Kata-kata yang berhamburan dari mulutmu
telah membinasakan bunga dan lebah madu
Hutan-hutan pun ranggas
dalam naungan musim tak tuntas
O, lidah lembut yang menyesap beragam rasa
mengapa dusta melekat bagai benalu
Menjauh dari cahaya,
kau merambah kelam demi kelam
Sebagai daki, aku merasa cukup
mencintai tapak kakimu yang tak indah itu
Meski kau selalu mengingkari lidahmu
(2017)
Bibir Merah Delima
wahai, bibir merah delima
beraroma arak dan tembakau
aku sungguh merindukanmu
seperti remang subuh
menanti cahaya pagi
rambutmu yang tergerai
serupa hutan tropika
memeram rahasia pengembara
ranum pinggulmu
pertapaan kaum sadhu
kukenang suaramu renyah
seperti gairah hujan
menyelinap ke dalam jiwaku
di lelangit kamar sepasang cicak saling tatap
aku bergumul dengan bantal dan selimut
bibir merah delimamu
yang beraroma arak dan tembakau
muncul dari dinding kusam kamarku
kujulurkan jemari tangan
tak ada yang bisa kuraih
nyanyian kodok seusai hujan
bau bunga kamboja di atas meja
seperti ingin meringkus malam
tenggelam dalam lamunan
di ujung kasur
seekor kucing mendengkur
jarum jam seakan berhenti berdetik
aku makin kehilangan cara
untuk sekedar terlelap tidur
(2016)
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Buku terbarunya adalah novel Magening (2015) dan kumpulan puisi Montase (2016).
Mugya Syahreza Santosa
Instalasi Sajak
Tolong masukkan beberapa butir es batu
ke dalam sajakku yang ini!
airmata yang dibekukan
berisi asin garam
lahir dari akar pada lamunan
di sebuah ruang tunggu
bisu.
biar kesunyian tetap segar
tegap nan tegar
setiap dinikmati pembaca yang tak
sengaja menengok selintas-selintas.
jatuhkan irisan lemon
buat teman mengambang kata-kata
sekadar mengusir
aroma anyir makna.
setelah lalat-lalat dosa
mengerubungi penggalan kata jadi
tak terbaca
alias sia-sia.
sedikit gula akan memaniskan
perih yang larut di tiap pahit baitnya.
ke dalam aku
kau memerah sesuatu – bunyi
angin yang menabrak lembut kain.
cakrawala yang ditambal
oleh cahaya lampu menjelang
ajal sore.
langit memang arsip berdebu
dan sepatu bintang atau bulan
berkali-kali terantuk di sana.
kerumunan kelelawar lewat
matanya seperti sangkur serdadu
terasah dalam jantung musuh.
perlu tisu untuk melap
air liur pada tipografi
yang bebas meluncur.
kawanan tanda seru
memarkir banyak tabiat
di pikiran yang tak keruan.
jangan lecut huruf-huruf
di dalam antrian menyusun
lagi nama-nama benda!
gelas tempat sajak
tertampung sudah penuh
dengan kemampuan
mendahagakan rupa.
warna bening disangka
tak berisi apa-apa.
penyair hanya ruang
pameran lain, tiket kosong
yang tak mengantar siapa-siapa
tak juga ke mana-mana.
keramaian hanyalah
opera dari serangga kecil
yang suaranya mengingatkan
pada kertas di mana sajak itu
ditulis lalu terbakar.
jam atau detak runtuh
ke lubang yang sama
gaya yang itu-itu juga
daya-tarik yang membutakan
pena.
tidakkah seharusnya
sajak ini sendiri, muak?
karena tak ada
yang bisa dilewatkannya
selain garis setipis benang
menyelematkan tafsir
dari labirin berbagai
cara membayangkan.
Tolong masukkan beberapa butir es batu
ke dalam sajakku yang ini!
ada kalanya
ia ingin menemani duduk
di sebuah kafe, di mana
musik merdu mempermainkan cuaca
dari dalam maupun luar batin.
seandainya sajak ini
membubungkan asap
barangkali itu pintu masuk
yang dicari selama ini.
kenal atau akrab
pada udara yang hampir
tak bisa dibedakan
pada gerimis yang keterlaluan.
rembes atau menciptakan
dunia air, tapi malah
bukan menghapus sajak ini
dari jagat jahanam.
padahal di seluruh haus
akan tanda koma dan titik
selalu kita memisahkan
rangkul bunyi berbeda
selalu ada maksud
dari diri yang sok kuasa.
kosakata, pakaian
dalam sajak ini
lusuh tak berharga
sembunyi-sembunyi
ke balik umpama.
dipelihara demi
kenyamanan tertoreh
di tapal telinga.
petak-umpet dalam
tata eja yang bisa dimurka.
para perias tiba
berjejalan di awal pagi surga.
sepuas diri mereka
membawa penuh upeti
setelah tandas-lunas
secangkir kopi di mulutnya.
menyeru namanya sendiri
tapi syair serapuh itu
terus saja diulang-ulang lagi.
disebut sajak lagi.
dipaksa murni lagi.
dibiarkan membuat berdecak lagi.
yang tak pernah jadi tua
hanyalah berahi
jadi lebih berharga dituangkan
dalam berbagai gaya.
cangkang biru
pada lebam memukul batang
sajak ini, telah pecah.
darahnya hitam
tak dikenal, hanya menyuburkan
dendam terus-terusan.
periode kebosanan
yang memaku tiang kepenyairan
hanyalah pelarian.
estafet ketakutan
yang sambung-menyambung
merantai nama besar
asyik bergumul
di balik benteng puji-pujian.
Tolong masukkan beberapa butir es batu
ke dalam sajakku yang ini!
tentu akan lebih kalem
dari selembar daun gugur.
tentu akan lebih kristal
dari sepungguk embun meluncur.
tentu akan lebih kunang-kunang
dari sebara kenang-mengenang.
seandainya sajak ini
dilahirkan dan bisa becermin
ia sendiri yang akan memutasi
bagian paling berkarat atas nama diksi
di tiap barisnya sendiri.
2017
Mugya Syahreza Santosa lahir 3 Mei 1987 di Cianjur, Jawa Barat. Kini, ia tinggal di Bandung. Buku puisinya Hikayat Pemanen Kentang (2011) dan novel popnya Memeluk Kehilangan (2016).
Wayan Jengki Sunarta
Yanwa Tanarsu
Dirimu ada dalam diriKu
Kita saling melengkapi
Serupa madu pada sari bunga
Seperti bintang dalam galaksi
Lalu, mengapa kau berjalan tak tentu arah
Langkah letihmu telah mengikis waktu
Dalam labirin itu kau serupa Minotaur
Berapa tumbal lagi kau inginkan
untuk sampai pada kesejatian
Sejak kau dilahirkan
kegelapan telah mengintai dan mengujimu
Namun, kau cuma menebar senyum
Itulah sebabnya Aku mencintaimu
Kau ingat? Seekor monyet siluman
menjilati ari-arimu, lalu perutmu
digerogoti cacing-cacing desti
Kau nyaris sekarat
Sebilah keris kecil milik dukun sakti
merasuki keningmu begitu hangat
Dukun itu mati usai menyembuhkanmu
Kau berutang padanya
Dan, karma bekerja dalam dirimu
Dukun yang lain memberimu sekeping uang kepeng
ketika kau menangis meraung di siang lengang
Dukun itu juga mati usai menghiburmu
Dan, roda karma terus berputar dalam dirimu
Sebagai kawan seperjalanan,
kematian begitu mengakrabimu
Serupa langkah dan bayangan
Seperti bibir dan senyuman
Aku merindui kenakalan masa kanakmu
Ketika kau bermain begitu riang
bersama memedi, dedemit, danyang
di tepi sungai, di ladang keramat, di gigir jurang,
di pesisir pantai, di petilasan tua,
di gunung dan hutan larangan
Kau kasihi batu-batu,
kau cintai pohon-pohon
Hatimu terharu pada hewan terlunta
dan kaum teraniaya
Kau tumbuh dan hidup dalam cahaya bulan
Itulah sebabnya Aku mengasihimu
Suatu waktu, kau berusaha mengenali diri
Merambah jalan yoga-semadi
Mengumpulkan cahaya niskala
dengan doa dan mantra
yang bergetar dan menggema
dalam bejana jiwa
Empat saudara dari gua garba
memberi restu dan melindungimu
Namun, di waktu yang lain
kau melupakan empat saudaramu
Bahkan, kau lupakan dirimu
Bagai kerbau dungu
kau berkubang dalam lumpur
yang kau buat sendiri
Kini, kau membangun labirin
menjebak diri dalam pusaran waktu
Kau mendekam serupa Minotaur
menunggu pembebasan
Bebaskan dirimu!
Dan, datanglah padaKu
seperti dahulu
(2017)
Daki
Jangan jadikan aku pupur
yang melapisi wajahmu
bila membuatku makin jumawa
dan silau akan pesonamu
Jangan jadikan aku gincu
yang memoles bibirmu
yang gemetar penuh ragu itu
Cukup jadikan aku daki
yang melekati kakimu
Hingga aku makin paham
segala jejak langkahmu
membawa silam menjauh
Kata-kata yang berhamburan dari mulutmu
telah membinasakan bunga dan lebah madu
Hutan-hutan pun ranggas
dalam naungan musim tak tuntas
O, lidah lembut yang menyesap beragam rasa
mengapa dusta melekat bagai benalu
Menjauh dari cahaya,
kau merambah kelam demi kelam
Sebagai daki, aku merasa cukup
mencintai tapak kakimu yang tak indah itu
Meski kau selalu mengingkari lidahmu
(2017)
Bibir Merah Delima
wahai, bibir merah delima
beraroma arak dan tembakau
aku sungguh merindukanmu
seperti remang subuh
menanti cahaya pagi
rambutmu yang tergerai
serupa hutan tropika
memeram rahasia pengembara
ranum pinggulmu
pertapaan kaum sadhu
kukenang suaramu renyah
seperti gairah hujan
menyelinap ke dalam jiwaku
di lelangit kamar sepasang cicak saling tatap
aku bergumul dengan bantal dan selimut
bibir merah delimamu
yang beraroma arak dan tembakau
muncul dari dinding kusam kamarku
kujulurkan jemari tangan
tak ada yang bisa kuraih
nyanyian kodok seusai hujan
bau bunga kamboja di atas meja
seperti ingin meringkus malam
tenggelam dalam lamunan
di ujung kasur
seekor kucing mendengkur
jarum jam seakan berhenti berdetik
aku makin kehilangan cara
untuk sekedar terlelap tidur
(2016)
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Buku terbarunya adalah novel Magening (2015) dan kumpulan puisi Montase (2016).
Mugya Syahreza Santosa
Instalasi Sajak
Tolong masukkan beberapa butir es batu
ke dalam sajakku yang ini!
airmata yang dibekukan
berisi asin garam
lahir dari akar pada lamunan
di sebuah ruang tunggu
bisu.
biar kesunyian tetap segar
tegap nan tegar
setiap dinikmati pembaca yang tak
sengaja menengok selintas-selintas.
jatuhkan irisan lemon
buat teman mengambang kata-kata
sekadar mengusir
aroma anyir makna.
setelah lalat-lalat dosa
mengerubungi penggalan kata jadi
tak terbaca
alias sia-sia.
sedikit gula akan memaniskan
perih yang larut di tiap pahit baitnya.
ke dalam aku
kau memerah sesuatu – bunyi
angin yang menabrak lembut kain.
cakrawala yang ditambal
oleh cahaya lampu menjelang
ajal sore.
langit memang arsip berdebu
dan sepatu bintang atau bulan
berkali-kali terantuk di sana.
kerumunan kelelawar lewat
matanya seperti sangkur serdadu
terasah dalam jantung musuh.
perlu tisu untuk melap
air liur pada tipografi
yang bebas meluncur.
kawanan tanda seru
memarkir banyak tabiat
di pikiran yang tak keruan.
jangan lecut huruf-huruf
di dalam antrian menyusun
lagi nama-nama benda!
gelas tempat sajak
tertampung sudah penuh
dengan kemampuan
mendahagakan rupa.
warna bening disangka
tak berisi apa-apa.
penyair hanya ruang
pameran lain, tiket kosong
yang tak mengantar siapa-siapa
tak juga ke mana-mana.
keramaian hanyalah
opera dari serangga kecil
yang suaranya mengingatkan
pada kertas di mana sajak itu
ditulis lalu terbakar.
jam atau detak runtuh
ke lubang yang sama
gaya yang itu-itu juga
daya-tarik yang membutakan
pena.
tidakkah seharusnya
sajak ini sendiri, muak?
karena tak ada
yang bisa dilewatkannya
selain garis setipis benang
menyelematkan tafsir
dari labirin berbagai
cara membayangkan.
Tolong masukkan beberapa butir es batu
ke dalam sajakku yang ini!
ada kalanya
ia ingin menemani duduk
di sebuah kafe, di mana
musik merdu mempermainkan cuaca
dari dalam maupun luar batin.
seandainya sajak ini
membubungkan asap
barangkali itu pintu masuk
yang dicari selama ini.
kenal atau akrab
pada udara yang hampir
tak bisa dibedakan
pada gerimis yang keterlaluan.
rembes atau menciptakan
dunia air, tapi malah
bukan menghapus sajak ini
dari jagat jahanam.
padahal di seluruh haus
akan tanda koma dan titik
selalu kita memisahkan
rangkul bunyi berbeda
selalu ada maksud
dari diri yang sok kuasa.
kosakata, pakaian
dalam sajak ini
lusuh tak berharga
sembunyi-sembunyi
ke balik umpama.
dipelihara demi
kenyamanan tertoreh
di tapal telinga.
petak-umpet dalam
tata eja yang bisa dimurka.
para perias tiba
berjejalan di awal pagi surga.
sepuas diri mereka
membawa penuh upeti
setelah tandas-lunas
secangkir kopi di mulutnya.
menyeru namanya sendiri
tapi syair serapuh itu
terus saja diulang-ulang lagi.
disebut sajak lagi.
dipaksa murni lagi.
dibiarkan membuat berdecak lagi.
yang tak pernah jadi tua
hanyalah berahi
jadi lebih berharga dituangkan
dalam berbagai gaya.
cangkang biru
pada lebam memukul batang
sajak ini, telah pecah.
darahnya hitam
tak dikenal, hanya menyuburkan
dendam terus-terusan.
periode kebosanan
yang memaku tiang kepenyairan
hanyalah pelarian.
estafet ketakutan
yang sambung-menyambung
merantai nama besar
asyik bergumul
di balik benteng puji-pujian.
Tolong masukkan beberapa butir es batu
ke dalam sajakku yang ini!
tentu akan lebih kalem
dari selembar daun gugur.
tentu akan lebih kristal
dari sepungguk embun meluncur.
tentu akan lebih kunang-kunang
dari sebara kenang-mengenang.
seandainya sajak ini
dilahirkan dan bisa becermin
ia sendiri yang akan memutasi
bagian paling berkarat atas nama diksi
di tiap barisnya sendiri.
2017
Mugya Syahreza Santosa lahir 3 Mei 1987 di Cianjur, Jawa Barat. Kini, ia tinggal di Bandung. Buku puisinya Hikayat Pemanen Kentang (2011) dan novel popnya Memeluk Kehilangan (2016).
Komentar
Posting Komentar