Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
9 Maret 2019
TJAHJONO WIDIJANTO
Talaud
seperti mutiara berkilauan di rongga-rongga mata
matahari jatuh di permukaan laut menyulap ombak jadi warna pelangi
di langit, bidadari-bidadari samodra berkejaran
menjelma duyung jelita saat kaki menyentuh buih
camar-camar beterbangan dengan keriangan bocah laut mengejar ikan
di pantai, bulan menyelimuti bakau menyentuh pucuk-pucuk kelapa
di cakrawala gambar-gambar bintang menjelma mata angin
wewangi hutan jadi sempurna bersama aroma cengkeh dan pala
pohon-pohon dan ceruk-ceruk goa runduk dalam bayangan
rumah sempurna dari tengkorak-tengkorak beserta jejak
riwayat-riwayat yang tersimpan di kebisuan karang
sabar menunggu hempas gelombang
seperti perawan yang sabar menghitung purnama
menunggu kekasih datang dari balik pasang lautan
bersama bau tuna bakar dan keringat nelayan
esok, fajar adalah leret-leret cahaya sorga
bocah-bocah riang berjalan menenteng gate-gate atau jupi
berebut mencebur ke laut yang menjelma warna kupu-kupu
Melonguane-Ngawi, 017/019
Pulau Sarak
pertama datang melempar sauh aku nyinyir bertanya:
siapa menabur warna salju di punggungmu?
dari pecahan karang yang diobrak-abrik naga lautan
engkau menjelma gadis dengan wajah malu-malu
menari-nari mendendangkan larik-larik sasambo
“berangkatlah dari air pangkalan
disertai mantra-mantra pengasihan
kuatkan hati meminta berkat
sebab semua pemberian Tuhan
di sana haluan perahu
emas-emas gemerlapan
di antara pulau-pulau
di tengah-tengah tanah besar
di sana api di pantai
tanda-tandanya akan sampai
terima kasih sudah sampai
selamatlah telah tiba”
di heningmu aku tenggelam dalam sati patana dan surya namaskar
meminum cahaya hangat matahari dalam khusuk pantai
mendengarkan pekik burung-burung sampiri menjerit riang
dalam rimbun daun-daun bakau dan gericik buih mencumbu pasir
membayangkan dewa-dewi menari bersama matahari
meminjam tenaga nelayan yang tak pernah lelah mendayung perahu
membayangkan menjadi anak laut berdiri di atas jukung
mengejar ikan-ikan terbang dengan paonade
di atas buih air lautmu yang berganti-ganti warna
dari hijau lelumut ke warna kecubung
bagai seorang yang kangen pada kekasih
aku terbang memasuki tirai laut yang putih
bagai gaun pengantin berkelebatan pada sayap-sayap awan
sebelum rontok menggelepar mabuk kepayang
di pulau ini sungguh Tuhan memperlihatkan secuil surga dengan sempurna.
Sarak, 017/019
Berita dari Negeri Kematian
1/
kukirim surat cinta ini untuk menemanimu, kekasih
dalam perjalanan jauh ke tanah-tanah asing
tempat matahari surup saat langit masih gemilang
dimulai dari jurang-jurang yang dalam, tanah-tanah api
juga kerajaan-kerajaan es yang beku
tulang-tulang yang menjelma pegunungan
darah yang dijelmakan jadi segara dan air kali
pagar-pagar bara memisahkan dunia bawah yang terlarang
kedinginan dan kebosanan yang tiada henti
kembali seperti bayi dihadapkan pada jalanan rumpil
kesenangan dan kepuasan yang ditawarkan kehidupan
surat cinta ini untuk menemanimu, kekasih
dalam kunjungan singkat yang sudah dijadwalkan
rahim dan kubur adalah kegembiraan
yang membuatmu sanggup bertahan
2/
kukirim surat cinta ini untukmu, kekasih
saat kau memintal kain-kainmu dan berkata,
“adakah yang lebih bahagia selain tidur yang tak terganggu mimpi-mimpi?”
di atas altar karang paling curam
yang fana tinggal kekal dan indah
dalam percakapan-percapan mesra yang riuh
di sela-selanya harapan dilantunkan dalam geram yang pilu
agar tak kesasar jadi banaspati atau hantu beku
memilih jadi dewa pengembara di dataran-dataran terbuka
atau menjadi tanah menghisap mantra dan bunga-bunga
menggantung sunyi menenggelamkan kata-kata
dengan lenguh sepasang pengantin remaja
aku akan membantumu membangun rumah baru
untuk sesekali keluar berkabar pada musim yang datang dan pergi
3/
kukirim surat cinta ini untukmu, kekasih
dan kutunggu kau tuliskan wasiat terakhirmu,
“aku juga cucumu, lahir di sini. jangan usir aku!”
Ngawi, 018
Bawangin
Di puncak Tiwallung seseorang memandang pelangi
dan nubuat pun terbentang dari Wuidduanne
orang-orang berebut menyalakan lilin dalam sunyi pantai
seorang suci menggedor-gedor pintu langit
di pojok gerbang yang perkasa melantunkan doa-doa
mantram-mantram sorga yang melayang bersama kabut
singgah di pohon-pohon teduh juga belukar yang terbakar
“Aku bertapa di bukit ini, di kedalaman Lirung yang hijau
mendendangkan pujian langit gemanya membayang di ujung-ujung Pasifik!”
Tak ada yang mesti diperebutkan di sini karena bagimu
Tuhan tumbuh dalam tubuh, bermekaran dalam jantung
seperti kabar yang dikekalkan debur ombak dan teguh karang:
diwartakan pada yang rendah hati, tempat sunyi yang menjadi tempat tinggalmu!
Dan warta itu menjelma seutas rantai tangga langit
tempat seseorang tertatih tatih menjumpai Tuhannya
saat matahari dikepung bintang-bintang
di Sabaat yang suci di bawah naungan mawwu warlada
di dalamnya jagat bungkuk dalam Adat Bawangin
Mussi-Jkt, 017/019
Catatan:
Mawwu warlada (bahasa Talaud) berarti Tuhan Pemelihara.
Adat Bawangin: Aliran kepercayaan di Desa Mussi di Pulau Lirung, Talaud,
yang disebarkan oleh seorang tokoh bernama Bawangin.
Tjahjono Widijanto lahir di Ngawi, Jawa Timur, 18 April 1969. Kumpulan puisinya antara lain Janturan (2011) dan Singir (2014).
TJAHJONO WIDIJANTO
Talaud
seperti mutiara berkilauan di rongga-rongga mata
matahari jatuh di permukaan laut menyulap ombak jadi warna pelangi
di langit, bidadari-bidadari samodra berkejaran
menjelma duyung jelita saat kaki menyentuh buih
camar-camar beterbangan dengan keriangan bocah laut mengejar ikan
di pantai, bulan menyelimuti bakau menyentuh pucuk-pucuk kelapa
di cakrawala gambar-gambar bintang menjelma mata angin
wewangi hutan jadi sempurna bersama aroma cengkeh dan pala
pohon-pohon dan ceruk-ceruk goa runduk dalam bayangan
rumah sempurna dari tengkorak-tengkorak beserta jejak
riwayat-riwayat yang tersimpan di kebisuan karang
sabar menunggu hempas gelombang
seperti perawan yang sabar menghitung purnama
menunggu kekasih datang dari balik pasang lautan
bersama bau tuna bakar dan keringat nelayan
esok, fajar adalah leret-leret cahaya sorga
bocah-bocah riang berjalan menenteng gate-gate atau jupi
berebut mencebur ke laut yang menjelma warna kupu-kupu
Melonguane-Ngawi, 017/019
Pulau Sarak
pertama datang melempar sauh aku nyinyir bertanya:
siapa menabur warna salju di punggungmu?
dari pecahan karang yang diobrak-abrik naga lautan
engkau menjelma gadis dengan wajah malu-malu
menari-nari mendendangkan larik-larik sasambo
“berangkatlah dari air pangkalan
disertai mantra-mantra pengasihan
kuatkan hati meminta berkat
sebab semua pemberian Tuhan
di sana haluan perahu
emas-emas gemerlapan
di antara pulau-pulau
di tengah-tengah tanah besar
di sana api di pantai
tanda-tandanya akan sampai
terima kasih sudah sampai
selamatlah telah tiba”
di heningmu aku tenggelam dalam sati patana dan surya namaskar
meminum cahaya hangat matahari dalam khusuk pantai
mendengarkan pekik burung-burung sampiri menjerit riang
dalam rimbun daun-daun bakau dan gericik buih mencumbu pasir
membayangkan dewa-dewi menari bersama matahari
meminjam tenaga nelayan yang tak pernah lelah mendayung perahu
membayangkan menjadi anak laut berdiri di atas jukung
mengejar ikan-ikan terbang dengan paonade
di atas buih air lautmu yang berganti-ganti warna
dari hijau lelumut ke warna kecubung
bagai seorang yang kangen pada kekasih
aku terbang memasuki tirai laut yang putih
bagai gaun pengantin berkelebatan pada sayap-sayap awan
sebelum rontok menggelepar mabuk kepayang
di pulau ini sungguh Tuhan memperlihatkan secuil surga dengan sempurna.
Sarak, 017/019
Berita dari Negeri Kematian
1/
kukirim surat cinta ini untuk menemanimu, kekasih
dalam perjalanan jauh ke tanah-tanah asing
tempat matahari surup saat langit masih gemilang
dimulai dari jurang-jurang yang dalam, tanah-tanah api
juga kerajaan-kerajaan es yang beku
tulang-tulang yang menjelma pegunungan
darah yang dijelmakan jadi segara dan air kali
pagar-pagar bara memisahkan dunia bawah yang terlarang
kedinginan dan kebosanan yang tiada henti
kembali seperti bayi dihadapkan pada jalanan rumpil
kesenangan dan kepuasan yang ditawarkan kehidupan
surat cinta ini untuk menemanimu, kekasih
dalam kunjungan singkat yang sudah dijadwalkan
rahim dan kubur adalah kegembiraan
yang membuatmu sanggup bertahan
2/
kukirim surat cinta ini untukmu, kekasih
saat kau memintal kain-kainmu dan berkata,
“adakah yang lebih bahagia selain tidur yang tak terganggu mimpi-mimpi?”
di atas altar karang paling curam
yang fana tinggal kekal dan indah
dalam percakapan-percapan mesra yang riuh
di sela-selanya harapan dilantunkan dalam geram yang pilu
agar tak kesasar jadi banaspati atau hantu beku
memilih jadi dewa pengembara di dataran-dataran terbuka
atau menjadi tanah menghisap mantra dan bunga-bunga
menggantung sunyi menenggelamkan kata-kata
dengan lenguh sepasang pengantin remaja
aku akan membantumu membangun rumah baru
untuk sesekali keluar berkabar pada musim yang datang dan pergi
3/
kukirim surat cinta ini untukmu, kekasih
dan kutunggu kau tuliskan wasiat terakhirmu,
“aku juga cucumu, lahir di sini. jangan usir aku!”
Ngawi, 018
Bawangin
Di puncak Tiwallung seseorang memandang pelangi
dan nubuat pun terbentang dari Wuidduanne
orang-orang berebut menyalakan lilin dalam sunyi pantai
seorang suci menggedor-gedor pintu langit
di pojok gerbang yang perkasa melantunkan doa-doa
mantram-mantram sorga yang melayang bersama kabut
singgah di pohon-pohon teduh juga belukar yang terbakar
“Aku bertapa di bukit ini, di kedalaman Lirung yang hijau
mendendangkan pujian langit gemanya membayang di ujung-ujung Pasifik!”
Tak ada yang mesti diperebutkan di sini karena bagimu
Tuhan tumbuh dalam tubuh, bermekaran dalam jantung
seperti kabar yang dikekalkan debur ombak dan teguh karang:
diwartakan pada yang rendah hati, tempat sunyi yang menjadi tempat tinggalmu!
Dan warta itu menjelma seutas rantai tangga langit
tempat seseorang tertatih tatih menjumpai Tuhannya
saat matahari dikepung bintang-bintang
di Sabaat yang suci di bawah naungan mawwu warlada
di dalamnya jagat bungkuk dalam Adat Bawangin
Mussi-Jkt, 017/019
Catatan:
Mawwu warlada (bahasa Talaud) berarti Tuhan Pemelihara.
Adat Bawangin: Aliran kepercayaan di Desa Mussi di Pulau Lirung, Talaud,
yang disebarkan oleh seorang tokoh bernama Bawangin.
Tjahjono Widijanto lahir di Ngawi, Jawa Timur, 18 April 1969. Kumpulan puisinya antara lain Janturan (2011) dan Singir (2014).
Komentar
Posting Komentar