Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Selamat Pagi Growol oleh Mustofa W Hasyim

16 Maret 2019

Mustofa W Hasyim

Selamat Pagi Growol

Lima puluh tahun, pada lapis-lapis kenangan tumbuh
cendawan, harapan untuk ketemu. Dan di pasar ini ada pagi hari yang ramah, ketika semua penganan dari pelosok
waktu berjajar di los menunggu tindakan pembeli. Aku termangu, tumpukan bungkusan daun pisang berisi kara benguk gurih. Ini pasti ada teman karibnya. Kethak kecing kethak manis, blondo, dan yang utama, growol. Selamat
pagi, kuucapkan padamu karena aku hampir habis usia menunggu ketemu kembali denganmu. Dulu setiap pulang dari Pasar Wates, Nenek selalu membeli oleh-oleh khas
dari seberang barat sungai dan makanan yang membikin sejuk perut adalah engkau. Masihkah sungai itu dipakai merendam ketela pohon agar mengalir semua racun sampai laut selatan? Masihkah warga desa memarut kelapa dan mengambil santan kental untuk dimasak menjadi minyak klentik, kerak lembutnya adalah blondo dan kethak? Di desa-desa itu angin masih berguna untuk menyebarkan
berita gembira bahwa hidup perlu dilanjutkan karena esuk hari akan lahir bayi-bayi yang lebih lucu dan lebih segar dibanding manusia lama. Growol, empukmu sampai ke
sudut lidah dan pusat hati. Kau adalah lagu diam dan keteduhan yang tersembunyi di negeri ini. Ketika masih
ada yang merawat, tentu masih ada masa depan bagi
ramahnya ruang huni bagi percakapan kecil, nyaris tidak berarti. Pasar biarlah menawar harganya.

2018



Tamansari Waktu Gerimis

Pemandu terus bertutur cerita, dari gerbang sampai kolam-
kolam. Di waktu gerimis seperti ini para bangsawan
beristirahat di ruang pinggir patirtan agung, katanya
menghibur. Angin menambah tajam tusukan jarum hujan ini. Agak dingin juga, permukaan air riuh oleh gerakan dan di dalam ruang tersembunyi kurasakan sisa-sisa nafas purba tersimpan di antara kayu penyangga. Terkenang lagu-lagu lembut, gending-gending ladrang dan tawa tertahan. Pesta suara.

Pemandu, dengan berbisik, menyeret waktu ke tempat yang lebih jauh dan wingit. Makam dan tempat bertapa di tengah air, lorong-lorong panjang melingkar untuk menangkap
sunyi. Peta perjalanan yang menggemetarkan. Semesta
seperti mangkuk kaca raksasa. Hidup demikian sungguh-
sungguh ada di sini, sebelum pintu-pintu membuka nafas untuk pemandangan sekitar.

Kucium bau oseng-oseng dari kampung. Bawang campur minyak goreng, dengan lombok pemanggil semangat. “Di sana masih ada brongkos, dekat pasar. Lapar kan?“ aku mengangguk, menuruni tangga, ke alam nyata.

2019



Jangan Bertanya kepada Sungai Code

Jangan bertanya kepada Sungai Code, kenapa pohon-pohon
penyangga menghilang. Lima tahun aku pernah membaca
angin yang menerobos daun bambu di pinggirnya. Anak-
anak gembira, sampah mengalir di antara rumput gelagah
dan jalur pemabuk sepanjang pinggir sungai kini tidak ada
lagi.

Sibuknya pengembara melayani pasar dan jalan raya.
Cendera mata, bakmi, bakso, es, ayam goreng, sate kendal, mainan anak-anak, sate ayam, bahkan tenaga kuli,
dipersiapkan di sini sebelum disajikan dan ditelan habis
oleh wisatawan, pedagang sederhana.

Warung-warung berbicara siang dan malam, gema saling
menyeberangi sungai. Pohon-pohon tidak penting, para
isteri tertawa, itu sudah cukup. Sekali-sekali ada kesibukan
bersama kalau ada tetangga meninggal atau menikahkan
anak.

Di hari libur, pesta laba.

2019

Mustofa W Hasyim adalah Ketua Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta. Pidato yang Masuk Surga (2018) adalah kumpulan puisi mutakhirnya.




Mutia Sukma

Pada Tubuh Perempuanmu


Seperti jembatan
Tulang punggungmu yang menonjol
Membelah permukaan tubuhmu

Darahmu yang deras bagai
arus sungai mengantarkan kapal
dan tongkang ke muara
Kail para pemancing yang patah
Tersangkut di rumit urat-uratmu
Menjulur-julur bagai jaring dan pukat nelayan tua

Pada kulit halusmu
Riak sungai naik turun
Tato teratai mekar di bahumu
Seekor katak melompat dari lebar daunnya
Masuk dan menyelami arusmu
yang tampak tenang namun entah di kedalaman

Tubuhmu sungai yang menyempit
Tergerus delta dan batuan gunung
Dadamu kempis
Tersiksa asma dan masa lalu
Isi hati yang tak teraba
Meski permukaannya dapat menjadi tempat becermin
Memperlihatkan kecipak dan warna-warni
sekawanan ikan

Arus yang dalam menyimpan bahaya
Lumpur mengisapnya makin ke dalam.



Celan

Ajaklah aku menjalin tangan kita
jadi jala
sebab ikan bayang hanya akan tersangkut
pada pukat yang besar
sebab jala dan ikan bayang bagai
candu dan ingatan



Batu Caves

Kunaiki jejak tanggamu yang tinggi
Kunaiki jejak tanggamu yang kubayangkan menjulang
ke awan-awan
Melewati hutan-hutan yang dikuasai tentara monyet
yang dengan sigap akan menyerangmu

Demi atapmu yang tinggi
Batuan tak tersentuh membentuk tirai-tirai gua
Menyerupai kerang dan mutiara
Menyimpan doa-doa yang dinaikkan

Pada guamu
Ritme lagu beralun statis
Api habis membakar dupa
Orang-orang khusuk meminta
Cahaya yang malu-malu terpantul di keemasan kuilmu

Demi akar-akar menjuntai
Pohonan hidup tak sendiri
Puja-puja dikirim dan melewati entah apa namanya
Diriku yang terasing
Makin mabuk dalam sunyi keramaianmu

2017


Mutia Sukma lahir di Yogyakarta, 12 Mei 1988. Buku puisi perdananya, Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia (2017), masuk daftar lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa Kategori Buku Pertama dan Kedua. Cinta dan Ingatan, buku puisinya yang kedua, segera terbit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi