Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
2 Maret 2019
Ramoun Apta
Sagu Rumbio 1
Aku tebang batang rumbio di belakang rumah
Aku belah hingga rekah.
Cangkang batang aku buang,
Inti dalam aku cincang.
Lengkung kayu itu
Berbunyi retak di udara.
Aku peras cincangan itu dengan air kolam
Sampai lepas luluk putih dari seratnya.
Aku diamkan sampai luluk itu berpisah dengan air
Menumpuk di kedalaman.
Perlahan pasta putih bertumpuk bagai
Sampah masyarakat di sudut pasar tradisional.
Aku keruk ia dengan bibir tempurung
Lalu aku jemur di bawah panas berdengkang.
Sampai keriting ia bagai
Gelombang galau laut.
Aku tumbuk ia dalam lesung kayu
Lalu aku tiriskan ke dalam nampan.
Debu-debu halus itu
Lantas aku berikan padamu.
Kau menerimanya bagai batang pisang
Menerima ulat menggerogoti daun.
Kau butuh itu, katamu, untuk memasak
Ongol-ongol sagu rumbio untukku.
Ongol-ongol itu kau persembahkan
Untuk pesta ulang tahunku yang ke-72.
Sagu Rumbio 2
Aku cincangan daging batang
Yang kau rendam dengan air dari banjir bandang.
Aku kau aduk bagai batu menumbuk daging bawang
Hingga seratku pecah.
Aku kau saring dengan kain hitam
Kau jemur di bawah panas berdengkang.
Jamur kuning di tubuhku
Tumbuh bagai bintik cacar.
Aku juga yang kau pukul-pukul dengan lesung kayu
Sampai hancur aku
Bagai remuk debu
Di udara.
Namun ketika aku kau masak dengan gula enau
Lalu kau taburi dengan parutan daging kelapa
Kenapa hanya ongol-ongol yang kau sebutkan.
Kepada induk-induk berkain batik
Bermotif durian pecah
Yang datang ke pesta ulang tahun pernikahan
Kau sampaikan nikmatnya gula merah
Yang kau sadap dari batang enau belakang rumah.
Sementara aku yang menjadi bahan baku hidangan
Yang mereka santap sampai
Kenyang telentang,
Tapi tak sekalipun
Kau sebutkan.
Aku kau lupakan
Bagai adonan sisa
Yang tertinggal
Di mangkuk pecah.
Selembar Daun Pandan
Selembar daun pandan
Tenggelam di perut santan.
Rusuknya patah,
Dagingnya pecah.
Geletup-geletup didih air
Memeras seratnya serabut.
Saripatinya memuai
Bercampur minyak serai.
Uapnya melambung
Membentur tudung.
Kuapnya menciptakan
Embun akar.
Embun akar menjelma jadi cairan
Getah bagai ludah,
Aroma getah itu melambung
Sampai di hidungku.
Di hidungku, ia kemudian bercerita
Tentang sakitnya dipukul
Kulit kayu manis
Dan enau merah gula.
Di hidungku, ia kemudian berkisah
Tentang manisnya hidup serumpun
Bersama padi
Di tepi sawah.
Ramoun Apta lahir di Muarobungo, Jambi. Pedagang Batu Mustika di Pasar Raya (2018) adalah buku puisi perdananya.
Agit Yogi Subandi
Dari Gang yang Masih Becek Itu
Dugaan apa lagi yang hendak kita sebarkan?
Di remang gang yang berangin dan becek
Ranting dan daun tangkil sedang melanjutkan
Percakapan yang abadi. Seekor kutilang
Mengundang laras senapan angin di tubuhnya,
Ingin disimpannya proyektil senapan itu
Di dalam jantungnya. Menghapus prasangka
Yang terus menjalar di relung otaknya:
”Usia tua yang menakutkan!” ujarnya,
Sambil mengibaskan bulunya yang ditetesi
Sisa hujan yang tergelincir dari daun-daun
Tangkil itu. Wajahnya yang lebam, bulu-bulunya
Yang basah meruncing ke arah matahari, terus
Tenggelam dan menyisakan hari ini di matanya.
Malam akan mengembalikan geliat cinta
Yang tanpa tujuan. Isyarat yang ambigu
Serta kecemasan yang seperti angin, menggapai
Sayapnya yang terlambat mengejar pagi,
Hingga matahari pagi yang basah itu mulai
Mengiris matanya melalui titik-titik air,
Menggelinding ke lubang-lubang cacing.
Seekor burung baru belajar terbang, memukul
Suara yang mulai pikun tentang jalan pulang
Dari gang yang dipenuhi daun-daun yang mulai
Keriput ini. Tuhan, dugaan apa lagi yang hendak
Kami sebarkan? Malam membeku di sudut gang.
2018
Seseorang Menulis tentang Kematian
Lalu ia mengartikannya sebagai ”kebebasan dari memori dan harapan”. Seperti kotak hitam yang tidak lagi berfungsi dalam investigasi kecelakaan pesawat terbang. Seperti sampah-sampah plastik yang dibakar penjaga kebersihan taman. Seperti ada yang telah merampok segalanya tiba-tiba. Aku beranalogi, bahwa kematian seperti temanku di Sekolah Menengah Pertama, ketika alat komunikasi belum secanggih sekarang, yang meminjam buku dariku, lalu tak pernah kembali ke sekolah bersama buku itu. Ia tak lagi hadir di mataku.
2018
Agit Yogi Subandi bermukim di Hajimena, Natar, Lampung Selatan. Buku puisinya bertajuk Sebait Pantun Bujang (2010).
Ramoun Apta
Sagu Rumbio 1
Aku tebang batang rumbio di belakang rumah
Aku belah hingga rekah.
Cangkang batang aku buang,
Inti dalam aku cincang.
Lengkung kayu itu
Berbunyi retak di udara.
Aku peras cincangan itu dengan air kolam
Sampai lepas luluk putih dari seratnya.
Aku diamkan sampai luluk itu berpisah dengan air
Menumpuk di kedalaman.
Perlahan pasta putih bertumpuk bagai
Sampah masyarakat di sudut pasar tradisional.
Aku keruk ia dengan bibir tempurung
Lalu aku jemur di bawah panas berdengkang.
Sampai keriting ia bagai
Gelombang galau laut.
Aku tumbuk ia dalam lesung kayu
Lalu aku tiriskan ke dalam nampan.
Debu-debu halus itu
Lantas aku berikan padamu.
Kau menerimanya bagai batang pisang
Menerima ulat menggerogoti daun.
Kau butuh itu, katamu, untuk memasak
Ongol-ongol sagu rumbio untukku.
Ongol-ongol itu kau persembahkan
Untuk pesta ulang tahunku yang ke-72.
Sagu Rumbio 2
Aku cincangan daging batang
Yang kau rendam dengan air dari banjir bandang.
Aku kau aduk bagai batu menumbuk daging bawang
Hingga seratku pecah.
Aku kau saring dengan kain hitam
Kau jemur di bawah panas berdengkang.
Jamur kuning di tubuhku
Tumbuh bagai bintik cacar.
Aku juga yang kau pukul-pukul dengan lesung kayu
Sampai hancur aku
Bagai remuk debu
Di udara.
Namun ketika aku kau masak dengan gula enau
Lalu kau taburi dengan parutan daging kelapa
Kenapa hanya ongol-ongol yang kau sebutkan.
Kepada induk-induk berkain batik
Bermotif durian pecah
Yang datang ke pesta ulang tahun pernikahan
Kau sampaikan nikmatnya gula merah
Yang kau sadap dari batang enau belakang rumah.
Sementara aku yang menjadi bahan baku hidangan
Yang mereka santap sampai
Kenyang telentang,
Tapi tak sekalipun
Kau sebutkan.
Aku kau lupakan
Bagai adonan sisa
Yang tertinggal
Di mangkuk pecah.
Selembar Daun Pandan
Selembar daun pandan
Tenggelam di perut santan.
Rusuknya patah,
Dagingnya pecah.
Geletup-geletup didih air
Memeras seratnya serabut.
Saripatinya memuai
Bercampur minyak serai.
Uapnya melambung
Membentur tudung.
Kuapnya menciptakan
Embun akar.
Embun akar menjelma jadi cairan
Getah bagai ludah,
Aroma getah itu melambung
Sampai di hidungku.
Di hidungku, ia kemudian bercerita
Tentang sakitnya dipukul
Kulit kayu manis
Dan enau merah gula.
Di hidungku, ia kemudian berkisah
Tentang manisnya hidup serumpun
Bersama padi
Di tepi sawah.
Ramoun Apta lahir di Muarobungo, Jambi. Pedagang Batu Mustika di Pasar Raya (2018) adalah buku puisi perdananya.
Agit Yogi Subandi
Dari Gang yang Masih Becek Itu
Dugaan apa lagi yang hendak kita sebarkan?
Di remang gang yang berangin dan becek
Ranting dan daun tangkil sedang melanjutkan
Percakapan yang abadi. Seekor kutilang
Mengundang laras senapan angin di tubuhnya,
Ingin disimpannya proyektil senapan itu
Di dalam jantungnya. Menghapus prasangka
Yang terus menjalar di relung otaknya:
”Usia tua yang menakutkan!” ujarnya,
Sambil mengibaskan bulunya yang ditetesi
Sisa hujan yang tergelincir dari daun-daun
Tangkil itu. Wajahnya yang lebam, bulu-bulunya
Yang basah meruncing ke arah matahari, terus
Tenggelam dan menyisakan hari ini di matanya.
Malam akan mengembalikan geliat cinta
Yang tanpa tujuan. Isyarat yang ambigu
Serta kecemasan yang seperti angin, menggapai
Sayapnya yang terlambat mengejar pagi,
Hingga matahari pagi yang basah itu mulai
Mengiris matanya melalui titik-titik air,
Menggelinding ke lubang-lubang cacing.
Seekor burung baru belajar terbang, memukul
Suara yang mulai pikun tentang jalan pulang
Dari gang yang dipenuhi daun-daun yang mulai
Keriput ini. Tuhan, dugaan apa lagi yang hendak
Kami sebarkan? Malam membeku di sudut gang.
2018
Seseorang Menulis tentang Kematian
Lalu ia mengartikannya sebagai ”kebebasan dari memori dan harapan”. Seperti kotak hitam yang tidak lagi berfungsi dalam investigasi kecelakaan pesawat terbang. Seperti sampah-sampah plastik yang dibakar penjaga kebersihan taman. Seperti ada yang telah merampok segalanya tiba-tiba. Aku beranalogi, bahwa kematian seperti temanku di Sekolah Menengah Pertama, ketika alat komunikasi belum secanggih sekarang, yang meminjam buku dariku, lalu tak pernah kembali ke sekolah bersama buku itu. Ia tak lagi hadir di mataku.
2018
Agit Yogi Subandi bermukim di Hajimena, Natar, Lampung Selatan. Buku puisinya bertajuk Sebait Pantun Bujang (2010).
Komentar
Posting Komentar