Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Puisi Kanvas oleh Wendoko

Wendoko

Puisi Kanvas

setelah hujan reda dan angin mulai sejuk
dengarkan denting kecapi itu
petang yang lirih, pohon prem di pekarangan berbunga lagi

kita memandang bulir embun di ranting-ranting
kita memandang rimbun bungur memanjang ke kaki bukit,
sewaktu undan terbang lepas ke langit

dedaunan hijau muda
pakis menggantung di tembok pagar rumah
mengabur dalam bayangan senja

rimbun seruni mulai menguning
tebing gunung menggaung setelah kelepak burung,
seharusnya kelihatan bunga mei di tepi parung

hari-hari musim semi, pegar memekik
capung ungu terbang seolah merapung
hinggap di kelopak aster yang ungu

seekor kuda merumput
burung-burung pipit ikut mengerumun,
berebut menjeput batang rumput

musim semi semak-semak meninggi
angin hilir mudik menyegarkan padang rumput
di ladang, bunga gandum meranum

jerangau di dalam pot
berkilau waktu matahari terbenam
di pekarangan, angin menggeliat di air kolam

dedalu dan rumputan dalam hitam bayang,
cahaya kunang-kunang
adalah manik-manik di dasar kolam

petang musim semi
bunga prem tertiup angin,
kelopak demi kelopak lepas tertiup angin

taman pakis tersambung ke gerbang kota
kita mengitari telaga,
mencecap wangi teratai di bawah rerimbun cedar

permulaan musim panas,
di loteng kolibri bernyanyi
bebas dan lepas, kolibri bernyanyi

paviliun di muka rimbun pinus di perbukitan
menghadap danau di barat dan padang rumput di utara
katamu, ada dewa-dewi bersemayam di sana

bulan bulat di atas perahu
malam musim panas hanya satu jam rehat,
di tepi sungai angin meniup kencang

ke kuil di lereng gunung menyeberang telaga
dengan perahu dua dayung berlayar tunggal
di buritan, ada pandita yang gemar minum arak

asap mengapung melintasi sungai, warnanya biru
bayang-bayang kita berjalan di rumput
kita mendaki bukit, tempat sapi-sapi melenguh

bunga soba beterbangan
menebar, seperti awan memecah-mecah
lebah terbang terhuyung, mencari tempat bernaung

langit dan bumi adalah satu jalinan harmoni
di bawah langit, rumpun bunga liar sejauh mata memandang
di atas bumi, cahaya petang yang jingga-merah

datang dan pergi, suara jangkrik memasuki malam
perahu itu melaju tenang
dengan bintik lampu seukuran kunang-kunang

kolibri diam,
bulir-bulir jawawut menunduk
ah, musim panas yang menusuk

di selatan tabir pasir mengambang
di sudut barat matahari menyemburat
angin musim panas tak melintasi perbukitan

gua di bawah karang menjorok,
seolah akan runtuh
angin menggoyang batang-batang bambu

matahari terbenam
tapak kaki di sisa air hujan,
seekor katak termangu di bebatuan

langit mengeruh, bunga teratai layu
beberapa rusak, beberapa kisut
menggantung di air kolam yang keruh

di loteng kecil kita menyimak hujan musim gugur
malam berubah dingin, bulan tak muncul
di luar angin berkelindan menggoyang rumput purun

pada pagi yang dingin
kita melihat bunga krisan luruh
kita melihat bunga lili terserak, di batu-batu

guntur sehabis hujan
di padang rumput kabut kental merambat,
sebuah jeda sebelum tengah malam

gunung dengan lereng-lereng terjal
awan hitam, langit hampir koyak
angin menerjang hutan kecil yang lelap

pepohonan berselimut kabut
suara serangga surut, air sungai itu diam
ah, malam yang tenang

di laut saat pasang
ombak bergolak dan bergolak liar,
sepanjang malam

seperti hari-hari berjalan dalam penanggalan
kita melihat jejak memanjang di pasir pantai
di kejauhan guntur menggeram, jauh dan dekat

pandanglah awan yang memecah di langit
siapa yang akan meniup seruling,
ketika salju turun di bukit-bukit

salju luruh,
sunyi
di atas tegalan yang sunyi

perbukitan adalah sosok-sosok di hamparan salju
lewat celah ranting semak yang berlekuk-lekuk
langit kelihatan melengkung

dalam remang langit, fajar menyingsing
pohon-pohon tusam berjejal di punggung bukit
di kamar, engkau dan krisan berwarna putih

cahaya redup menyeruak dari gunung dan bukit
sisa salju menghampar sepanjang batas langit
hari pertama tahun baru, alangkah dingin

di pagi yang berangin
daun bawang dan bunga kunyit bermekaran lagi
kita menyeduh teh, pada pagi ketika salju meleleh

tahun baru, pekarangan tersiram hujan
kuncup kecubung baru mekar
sekawanan murai mencicip, terbang menjangkau langit



Wendoko menulis puisi dan cerita. Buku puisinya antara lain Jazz! (2012) dan Catatan Si Pemabuk (2014). Notes of the Drunkard (versi bahasa Inggris Catatan Si Pemabuk) terbit tahun 2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi