Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Toni Lesmana
Kawih Angin Kawali : Godi Suwarna
1
Kawih angin, kawih angin Kawali
Tak letih menenun halimun ngungun
Rumpun mendung ratusan tahun limbung
Kandungan tunggul berselimut lumut
Kawih angin yang barangkali sudah
Compang-camping. Ingin singgah
Ingin istirah. Di tubuh yang melulu
Menghitung belatung luka
Samar paras hutan renta berkaca pada
Jejak air di batu. Seperti mencari
Jirim yang terus bernyanyi
Melilitkan tangis
Pohon-pohon menggugurkan daun
Menabuh batu menabuh tanah
Menabuh akar menabuh urat
Patilasan. Bunyi berlumuran
Memburu wujud
Waktu memercik perih
Tubuh tugur ke kubur
Tabur abu
Kawih angin Kawali
Mendekap, menikam
Menggali ulu hati seorang putri
Mencari runcing bisik Gusti
Berhembus lagu menembus tubuh
Yang kian mabuk rahasia kematian
Yang kuncup di pucuk tiga batu
Bergelantungan di ramat airmata
Kesadaran tinggal bunga api
Melesat hendak membakar langit
Pulang melayang menjelma hujan kunang
Hujan lambang menerangi lebam dendam
O, tuba angkara bumi dibalas susu welas asih langit
O, berlayarlah, tanggalkan jangkar amarah, berlayarlah
Kelip beterbangan menuju muara batu tulis
Kelip beterbangan meninggalkan lubuk batu tangis
2
Kawih angin mengepak
Di pucuk-pucuk cungkup
Samar terdengar tembang
Geber-geber Hihid Aing
Bangkit dari ramat airmata
Gelombang makam dan karang nisan
Berenang dari akar ke akar
Memanjat perahu Batu Tapak
Semadi meraih kemudi diri
Memadamkan gemuruh dada dan kepala
Telapak kaki dan tangan kiri melesak
Menahan beban kesedihan
Tangan kanan menanggalkan helai demi helai
Pakaian angkara. Menuntun ubun-ubun bersujud
Di kening hening kelopak aksara
Yang mekar menyerap memar
Di sebrang, di sebrang sana
Lingga Hyang bukan sekadar batu
3
Terjaga di pangkuan Batu Palinggih
Hamparan batu-batu adalah sajadah
Ibadah aksara menggeliat di mana-mana
Serbu tampar kata-kata para penyair
Kepedihan ternyata air terjun penyucian
Gerbang pengembaraan baru
Di Astana Gede
Mengeja keberanian membaca ketangguhan
Yang digurit dari batu tulis ke batu tulis. Kata-kata
Melesak. Mekar dalam tulang dalam daging
Dalam darah dalam napas. Menyerap wangi diri
Menapaki jalan sajak di buana
4
Kawih angin, kawih angin Kawali
Irama suara yang senantiasa rahasia
Kini bening seperti alir yang menghanyutkan
Halimun ngungun. Mengusir gerhana sepatilasan
Pelan nampak berlembar-lembar lumar
Dari sela-sela lumut kandungan tunggul
Deras meluap ke jalan-jalan sepi
Pohon-pohon gemerlap. Ada geliat bulan
Geliat bulan purnama benderang bayangNya
Setelah ratusan tahun pucat tersesat
Ratusan lapis aisan rahim kesedihan
2018
Toni Lesmana tinggal di Ciamis, Jawa Barat. Tamasya Cikaracak (2016) adalah buku kumpulan puisinya dan Tamasya Kota Pernia (kumpulan cerpen, 2018) merupakan buku terbarunya.
Dadang Ari Murtono
dongeng sangkelat
sepi yang ia cintai barangkali tak ada lagi,
tepat ketika sunan kali memindahkannya dari akadiyat
ke tengah babad yang benderang, dan empu supa,
dengan tiga kali pijitan, mengubahnya dari biji kemiri
jadi sebilah keris penanggung wahyu
ia mabuk, ia benci
tapi pada halaman itu, pembaca mulai tidak sabar
”masukkan ambisi kekuasaan, masukkan nujum-nujum,
beri kami perang yang meriah”
*
bau maut pada tembok batu bata
ketika malam jatuh seperti dibanting
ia ingin lelap, sebenarnya, dalam warangka
tapi kiai condongcatur memanggil-manggilnya
ke sebuah paragraf berisi pertempuran singkat
”tapi aku tak mau,” katanya
”tapi pembaca menginginkannya”
”tapi aku tak peduli dengan pembaca”
”tapi kau harus menghentikan kali yang menaburkan
bibit mati lewat lekuk pamorku”
*
keesokan paginya, sebelum sarapan, brawijaya tahu
wabah telah reda
dan sebilah keris padam dalam peti jati
dan seonggok wahyu yang tak ada
wahyu yang dititipkan dari khazanah pararaton
*
”kami butuh melankoli,” teriak pembaca
”kami ingin kisah cinta yang sedih”
*
maka untuk mereka, semata untuk memuaskan dahaga mereka,
blambangan dilatarkan pada sebuah sub bab, berikut siung lautan
yang telah dibisiki sekalimat muslihat
hanya mereka yang memegang keris kiai sangkelat yang
bakal mampu duduk di puncak takhta jawa
*
tuban
malam dilekatkan pada tepi-tepi halaman
juga sirep dalam kemasan biru
lewat sebuah kalimat majemuk, seorang maling mengendap,
meski ia tak harus mengendap
sebab pada ujung paragraf yang tak merdu, semua sudah jelas
: caluring melarikan sangkelat ke blambangan
*
tuhan, barangkali, tak pernah cukup kuat untuk dipercayai begitu saja
maka kepadanya – sebilah logam meteor berlekuk – orang-orang
menggantung harapan
ampuni hamba yang telanjur disalahpahami sebagai pemangku
wahyu ini, tuhan, ampuni hamba yang telah disekutukan denganmu,
ampuni dirimu sendiri yang tak pernah cukup terang atau nyata
*
tapi tuhan, dalam kisah ini, adalah ia yang gampang menyahut
hujat atau hujah, dan ia meminjamkan suaranya pada sunan kali
: serak dan kering namun nyaring
dan bertitah pada empu supa – sang pemijit sangkelat itu
untuk pergi ke blambangan
: mengembalikan apa yang seharusnya berada di bintara
*
baiklah ki, tak ada hari baik untuk menumpahkan darah,
maka menyarulah, seperti laku setiap orang suci yang rendah hati
menyarulah sebagai pitrang yang menjanjikan siung lautan sebuah
tiruan sangkelat, semata agar raja yang tertipu itu kian terbuai mimpi
mengangkangi pulau jawa
*
sepi yang pernah ia cintai
barangkali
sekadar ilusi
pada sebuah puisi yang tak ada
*
beginilah yang ditulis empu supa dalam sebuah prosa pendek
yang terlampau gaduh:
malam itu, telah kukelabui seantero blambangan,
kuciptakan dua kembaran sangkelat dan bahkan
penguasa bodoh itu tak tahu apa yang terjadi,
kusembunyikan sangkelat asli, dan penguasa itu,
yang terlena kegembiraan, menghadiahiku
seorang putri dan sebuah kadipaten
lalu gerimis turun sepanjang waktu, dan aku
seperti melihat istriku, jauh di tuban, jatuh dalam
duka dan luka, tapi aku tak mampu menolak,
sebab begitulah drama berlangsung
*
tapi supa akan kembali ke tuban, membawa
sangkelat asli yang ia sembunyikan di balik batu tepi kali
ia memang akan kembali,
tapi bukan demi menunaikan tugas, bukan pula
demi cinta sejati yang menunggu di tuban
melainkan karena pembaca menghendaki demikian
juga sunan kali – dan perempuan hadiah itu melambai,
menangis, seraya mengelus perut yang menggembung,
mencoba mematikan harap
pada seonggok catatan kaki
*
lantas semacam epilog:
”di tuban, sunan kali menjemput keris itu dan
membawanya ke demak, di mana tuhan tengah membangun pondasi”
lalu sebuah tanda titik, dan seorang pembaca perempuan jatuh haru,
lalu menangis seraya mengelus perut yang menggembung
tapi tak ada yang memedulikannya
Dadang Ari Murtono lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016) dan Samaran (novel, 2018).
Kawih Angin Kawali : Godi Suwarna
1
Kawih angin, kawih angin Kawali
Tak letih menenun halimun ngungun
Rumpun mendung ratusan tahun limbung
Kandungan tunggul berselimut lumut
Kawih angin yang barangkali sudah
Compang-camping. Ingin singgah
Ingin istirah. Di tubuh yang melulu
Menghitung belatung luka
Samar paras hutan renta berkaca pada
Jejak air di batu. Seperti mencari
Jirim yang terus bernyanyi
Melilitkan tangis
Pohon-pohon menggugurkan daun
Menabuh batu menabuh tanah
Menabuh akar menabuh urat
Patilasan. Bunyi berlumuran
Memburu wujud
Waktu memercik perih
Tubuh tugur ke kubur
Tabur abu
Kawih angin Kawali
Mendekap, menikam
Menggali ulu hati seorang putri
Mencari runcing bisik Gusti
Berhembus lagu menembus tubuh
Yang kian mabuk rahasia kematian
Yang kuncup di pucuk tiga batu
Bergelantungan di ramat airmata
Kesadaran tinggal bunga api
Melesat hendak membakar langit
Pulang melayang menjelma hujan kunang
Hujan lambang menerangi lebam dendam
O, tuba angkara bumi dibalas susu welas asih langit
O, berlayarlah, tanggalkan jangkar amarah, berlayarlah
Kelip beterbangan menuju muara batu tulis
Kelip beterbangan meninggalkan lubuk batu tangis
2
Kawih angin mengepak
Di pucuk-pucuk cungkup
Samar terdengar tembang
Geber-geber Hihid Aing
Bangkit dari ramat airmata
Gelombang makam dan karang nisan
Berenang dari akar ke akar
Memanjat perahu Batu Tapak
Semadi meraih kemudi diri
Memadamkan gemuruh dada dan kepala
Telapak kaki dan tangan kiri melesak
Menahan beban kesedihan
Tangan kanan menanggalkan helai demi helai
Pakaian angkara. Menuntun ubun-ubun bersujud
Di kening hening kelopak aksara
Yang mekar menyerap memar
Di sebrang, di sebrang sana
Lingga Hyang bukan sekadar batu
3
Terjaga di pangkuan Batu Palinggih
Hamparan batu-batu adalah sajadah
Ibadah aksara menggeliat di mana-mana
Serbu tampar kata-kata para penyair
Kepedihan ternyata air terjun penyucian
Gerbang pengembaraan baru
Di Astana Gede
Mengeja keberanian membaca ketangguhan
Yang digurit dari batu tulis ke batu tulis. Kata-kata
Melesak. Mekar dalam tulang dalam daging
Dalam darah dalam napas. Menyerap wangi diri
Menapaki jalan sajak di buana
4
Kawih angin, kawih angin Kawali
Irama suara yang senantiasa rahasia
Kini bening seperti alir yang menghanyutkan
Halimun ngungun. Mengusir gerhana sepatilasan
Pelan nampak berlembar-lembar lumar
Dari sela-sela lumut kandungan tunggul
Deras meluap ke jalan-jalan sepi
Pohon-pohon gemerlap. Ada geliat bulan
Geliat bulan purnama benderang bayangNya
Setelah ratusan tahun pucat tersesat
Ratusan lapis aisan rahim kesedihan
2018
Toni Lesmana tinggal di Ciamis, Jawa Barat. Tamasya Cikaracak (2016) adalah buku kumpulan puisinya dan Tamasya Kota Pernia (kumpulan cerpen, 2018) merupakan buku terbarunya.
Dadang Ari Murtono
dongeng sangkelat
sepi yang ia cintai barangkali tak ada lagi,
tepat ketika sunan kali memindahkannya dari akadiyat
ke tengah babad yang benderang, dan empu supa,
dengan tiga kali pijitan, mengubahnya dari biji kemiri
jadi sebilah keris penanggung wahyu
ia mabuk, ia benci
tapi pada halaman itu, pembaca mulai tidak sabar
”masukkan ambisi kekuasaan, masukkan nujum-nujum,
beri kami perang yang meriah”
*
bau maut pada tembok batu bata
ketika malam jatuh seperti dibanting
ia ingin lelap, sebenarnya, dalam warangka
tapi kiai condongcatur memanggil-manggilnya
ke sebuah paragraf berisi pertempuran singkat
”tapi aku tak mau,” katanya
”tapi pembaca menginginkannya”
”tapi aku tak peduli dengan pembaca”
”tapi kau harus menghentikan kali yang menaburkan
bibit mati lewat lekuk pamorku”
*
keesokan paginya, sebelum sarapan, brawijaya tahu
wabah telah reda
dan sebilah keris padam dalam peti jati
dan seonggok wahyu yang tak ada
wahyu yang dititipkan dari khazanah pararaton
*
”kami butuh melankoli,” teriak pembaca
”kami ingin kisah cinta yang sedih”
*
maka untuk mereka, semata untuk memuaskan dahaga mereka,
blambangan dilatarkan pada sebuah sub bab, berikut siung lautan
yang telah dibisiki sekalimat muslihat
hanya mereka yang memegang keris kiai sangkelat yang
bakal mampu duduk di puncak takhta jawa
*
tuban
malam dilekatkan pada tepi-tepi halaman
juga sirep dalam kemasan biru
lewat sebuah kalimat majemuk, seorang maling mengendap,
meski ia tak harus mengendap
sebab pada ujung paragraf yang tak merdu, semua sudah jelas
: caluring melarikan sangkelat ke blambangan
*
tuhan, barangkali, tak pernah cukup kuat untuk dipercayai begitu saja
maka kepadanya – sebilah logam meteor berlekuk – orang-orang
menggantung harapan
ampuni hamba yang telanjur disalahpahami sebagai pemangku
wahyu ini, tuhan, ampuni hamba yang telah disekutukan denganmu,
ampuni dirimu sendiri yang tak pernah cukup terang atau nyata
*
tapi tuhan, dalam kisah ini, adalah ia yang gampang menyahut
hujat atau hujah, dan ia meminjamkan suaranya pada sunan kali
: serak dan kering namun nyaring
dan bertitah pada empu supa – sang pemijit sangkelat itu
untuk pergi ke blambangan
: mengembalikan apa yang seharusnya berada di bintara
*
baiklah ki, tak ada hari baik untuk menumpahkan darah,
maka menyarulah, seperti laku setiap orang suci yang rendah hati
menyarulah sebagai pitrang yang menjanjikan siung lautan sebuah
tiruan sangkelat, semata agar raja yang tertipu itu kian terbuai mimpi
mengangkangi pulau jawa
*
sepi yang pernah ia cintai
barangkali
sekadar ilusi
pada sebuah puisi yang tak ada
*
beginilah yang ditulis empu supa dalam sebuah prosa pendek
yang terlampau gaduh:
malam itu, telah kukelabui seantero blambangan,
kuciptakan dua kembaran sangkelat dan bahkan
penguasa bodoh itu tak tahu apa yang terjadi,
kusembunyikan sangkelat asli, dan penguasa itu,
yang terlena kegembiraan, menghadiahiku
seorang putri dan sebuah kadipaten
lalu gerimis turun sepanjang waktu, dan aku
seperti melihat istriku, jauh di tuban, jatuh dalam
duka dan luka, tapi aku tak mampu menolak,
sebab begitulah drama berlangsung
*
tapi supa akan kembali ke tuban, membawa
sangkelat asli yang ia sembunyikan di balik batu tepi kali
ia memang akan kembali,
tapi bukan demi menunaikan tugas, bukan pula
demi cinta sejati yang menunggu di tuban
melainkan karena pembaca menghendaki demikian
juga sunan kali – dan perempuan hadiah itu melambai,
menangis, seraya mengelus perut yang menggembung,
mencoba mematikan harap
pada seonggok catatan kaki
*
lantas semacam epilog:
”di tuban, sunan kali menjemput keris itu dan
membawanya ke demak, di mana tuhan tengah membangun pondasi”
lalu sebuah tanda titik, dan seorang pembaca perempuan jatuh haru,
lalu menangis seraya mengelus perut yang menggembung
tapi tak ada yang memedulikannya
Dadang Ari Murtono lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016) dan Samaran (novel, 2018).
Komentar
Posting Komentar