Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Kurnia Effendi
Haiku tentang Tahun yang Baru
1.
Turun perlahan
Langit dan kembang api
Di awal pagi
2.
Waktu dan embun
Ingin terlambat bangun
Pun matahari
3.
Jatuh menebar
Sisa seru semalam
Di cakrawala
4.
Gemuruh mercon
Mencuri kesempatan
Mekar kemboja
5.
Yang mengudara
Doa akhir almanak
Ditinggal sepi
Cibubur, 2018
Tan Swat Hwa
Disisakan satu meja dengan vas
Ungu: semacam replika masa lalu
Tanganku gemetar menjangkau
Kenangan yang kaupajang
Di lemari kaca: tembus waktu
Kauletakkan sebuah cermin
di bawah cahaya. Hanya untuk menemukan
wajahku dengan mata rindu
Senyum yang didermakan di
Beranda itu sejenis feng shui
“Agar selalu kurasakan hangat pelukanmu.”
Di tempat lain aku menanam
Biji-biji (tanpa) harapan
Setiap hari Sabtu, kau mengganti
Taplak baru dengan sulaman namaku
Jakarta, 2018
Haiku tentang Tahun yang Baru
1.
Turun perlahan
Langit dan kembang api
Di awal pagi
2.
Waktu dan embun
Ingin terlambat bangun
Pun matahari
3.
Jatuh menebar
Sisa seru semalam
Di cakrawala
4.
Gemuruh mercon
Mencuri kesempatan
Mekar kemboja
5.
Yang mengudara
Doa akhir almanak
Ditinggal sepi
Cibubur, 2018
Tan Swat Hwa
Disisakan satu meja dengan vas
Ungu: semacam replika masa lalu
Tanganku gemetar menjangkau
Kenangan yang kaupajang
Di lemari kaca: tembus waktu
Kauletakkan sebuah cermin
di bawah cahaya. Hanya untuk menemukan
wajahku dengan mata rindu
Senyum yang didermakan di
Beranda itu sejenis feng shui
“Agar selalu kurasakan hangat pelukanmu.”
Di tempat lain aku menanam
Biji-biji (tanpa) harapan
Setiap hari Sabtu, kau mengganti
Taplak baru dengan sulaman namaku
Jakarta, 2018
Kopi dan Anggur
Kerap aku mengopi – tak cuma memindahkan
Lukisanmu dengan mesin pemindai – tetapi
Juga menyeduh bubuk arabika pada pagi
Sedingin ini
Percakapan mengalir dari interior ke interior
Setelah breakfast in bed
Digumul selimut tebal: bulu-bulumu
Aku masih mencari Raden Saleh, seolah
Pemburu yang dibujuk rasa ingin tahu
Memasuki hulu hutan, menduga
tempat sembunyi hewan
Acap aku menganggur – bukan semata
Mengeruk waktu dengan sekop besar – melainkan
Juga menuang anggur setengah piala, meneguknya
seraya merapatkan dadamu
Kutandai bercak hujan kopi dan ciuman sebagai
Senarai persinggahan. Langit masih menyadap
Gelap dari musim yang tiba terlambat
Jakarta, 2018
Cupido
Pada sebuah senja, aku memanah
Kedua matanya. Di jalan pulang
Ia meraba-raba arah
Meninggalkan jejak darah
Tetes-tetes merah ini bukan dari
Rahim Gendari. Taman sudah ditinggalkan
Dengan grafiti puisi setengah jadi
Ketika Sagitarius datang, ia
Mengetuk pintu dengan gendewanya
“Ini sepasang biji mata yang kaucari,”
Ujarnya tanpa salam. “Jangan lagi
Mencuri!”
Lalu ia pergi menyusul kekasihku
Serupa biskuit getas, hatiku
Patah jadi tujuh
Berserak jatuh
Jakarta, 2018
Kurnia Effendi mengumumkan puisi di media massa sejak 1978. Setelah menghasilkan lima kumpulan puisi—di antaranya Hujan Kopi dan Ciuman (2017) dan Percakapan Interior (2018)—kini sedang ia siapkan Mencari Raden Saleh (segera terbit), himpunan puisi yang ditulisnya selama residensi sastra di negeri Belanda pada 2017.
Kerap aku mengopi – tak cuma memindahkan
Lukisanmu dengan mesin pemindai – tetapi
Juga menyeduh bubuk arabika pada pagi
Sedingin ini
Percakapan mengalir dari interior ke interior
Setelah breakfast in bed
Digumul selimut tebal: bulu-bulumu
Aku masih mencari Raden Saleh, seolah
Pemburu yang dibujuk rasa ingin tahu
Memasuki hulu hutan, menduga
tempat sembunyi hewan
Acap aku menganggur – bukan semata
Mengeruk waktu dengan sekop besar – melainkan
Juga menuang anggur setengah piala, meneguknya
seraya merapatkan dadamu
Kutandai bercak hujan kopi dan ciuman sebagai
Senarai persinggahan. Langit masih menyadap
Gelap dari musim yang tiba terlambat
Jakarta, 2018
Cupido
Pada sebuah senja, aku memanah
Kedua matanya. Di jalan pulang
Ia meraba-raba arah
Meninggalkan jejak darah
Tetes-tetes merah ini bukan dari
Rahim Gendari. Taman sudah ditinggalkan
Dengan grafiti puisi setengah jadi
Ketika Sagitarius datang, ia
Mengetuk pintu dengan gendewanya
“Ini sepasang biji mata yang kaucari,”
Ujarnya tanpa salam. “Jangan lagi
Mencuri!”
Lalu ia pergi menyusul kekasihku
Serupa biskuit getas, hatiku
Patah jadi tujuh
Berserak jatuh
Jakarta, 2018
Kurnia Effendi mengumumkan puisi di media massa sejak 1978. Setelah menghasilkan lima kumpulan puisi—di antaranya Hujan Kopi dan Ciuman (2017) dan Percakapan Interior (2018)—kini sedang ia siapkan Mencari Raden Saleh (segera terbit), himpunan puisi yang ditulisnya selama residensi sastra di negeri Belanda pada 2017.
Bening Siti Aisyah
Aforisme
Bagai Nuh dengan kapal kayu yang besar,
Mari berlayar bersama, hingga nun ujung dunia.
Sang puan tercipta dari sebuah gelombang yang menggulung. Ia datang
bertelanjang kaki. Bermahkotakan rumput laut yang alum. Lalu duduk di atas batu
besar. Di dalamnya seakan kekasihnya bersemayam. Tertatah namanya dengan
sederhana: Jaka Banyu. Seorang nakhoda yang hilang. Dipenjara oleh laut selatan. Cakrawala tergelincir. Sembari mengiringi sang puan membaca pembuka surat
dari kekasihnya.
Kekasihku, Sri Wangi, perempuan berbau bunga. Aku akan
berlayar lurus. Melintasi netra. Kelak akan kutemui engkau saat
tangkai-tangkai cemara mulai basah.
Seraya melihat laut yang kayau. Angin bertiup meronai seluruh dadanya. Akar-
akar pandan yang kekar, berluruhan melagukan nyanyian laut yang berhembus
lembut. Selembut pasir pantai yang menyimpan jejak-jejak sepi. Sang puan
melepas kelompangnya dan menyempal menjadi semerbak hibiskus. Tumbuh dan
gugur. Meminang ciuman-ciuman kekasihnya yang asin. Sedang sepasang
kakinya berlarian menuruni bukit, menuju kaki langit.
Gresik, 2018
Otobiografi
Kepada Indah: aku ingin bersua denganmu. Tentu bukan di sebuah tempat yang
indah serupa muara pada matamu. Bukan pula di sebuah tempat yang lebih
nyaman ketimbang pelukanmu. Melainkan di sebuah pawon yang selalu
sederhana dan selalu kita sebut jantung rumah. Kita akan bercengkerama dengan
satuan ayam, belasan daging yang sudah diasapkan, ratusan kacang-kacangan,
hingga ribuan ikan. Tapi ribuan ikanlah yang lebih mengingatkanku padamu.
Ribuan ikan yang habis kau geledah isinya. Ribuan ikan yang tergeletak karena
kalah perang. Mereka harus rela menanggalkan sisik besinya untuk akhirnya
hidup kembali. Kau meriwayatkan padaku: Ikan-ikan itu dulunya pejuang yang
mati sebagai pahlawan di tangan seorang pemukat. Tapi ia tetap berenang bahagia
pada kedalamanmu. Mencari sisa-sisa saat yang kurang dan mendiaminya dengan
bumbu yang selalu mengingatkanmu pada cabai, jahe, bawang, dan daun jeruk.
Mereka bersatu membentuk suatu kesatuan. Mendobrak fluktuasi pada luar
angkasaku. Berpendar dengan aroma yang selalu membuatku lena. Jika kita
membahas ikan tentu aku akan teringat pada pohon waru yang perdu sepertimu.
Kepada Mardi yang selalu lihai dalam beraksara. Aku ingin bercerita padamu
dengan cerita yang tak akan terputus. Cerita tentang seorang anak perempuan
dengan rambut ikal yang mengendarai naga agar dapat mencapai kerinduannya
pada sang rembulan. Kita dapat menebak cerita selanjutnya tentang sang
rembulan yang tak lain adalah ibu kandungnya. Begitu cerita tersebut berlanjut.
Cerita yang tak pernah kita ketahui awal dan akhirnya. Cerita yang akan selalu
kau penggal. Lalu kau kumpulkan beberapa tagmem subjek, predikat, dan
objeknya. Kau kuliti satu per satu dan memberikannya padaku sembari tertawa,
“Hahaha ini dia. Kau lihat. Kau kalah. Kau tak bisa. Kau harus menyerah karena
tak akan menemukan jawabannya.” Kemudian aku mengeja lebih dalam dengan
otak yang mendidih. Lalu kita berdua pun menjadi kera. Aku sebagai kera yang
kalah akan memilih untuk menggaruk punggungmu. Punggung yang luas dan
kuat. Aku pernah mengukur pungungmu dengan jariku. Mungkin aku perlu seribu
jari atau bahkan sepuluh ribu jari. Ah, aku sudah tidak tahu lagi. Karena yang aku
tahu hanya tentang bercerita padamu dengan suara yang keras.
Dan untuk Indah dan Mardi: dapatkah aku tetap mengenang kalian dengan
keterbatasan. Dengan rindu yang selalu mengaksara. Atau dengan cinta yang
selalu beraroma?
Jember, 2018
Bening Siti Aisyah lahir di Gresik, Jawa Timur, 7 Maret 1996. Ia belajar di Jurusan Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. Perohong (2014) adalah kumpulan puisi perdananya. Saat ini ia tengah mempersiapkan buku puisi terbarunya, Bedadung Bahasa Cahaya.
Aforisme
Bagai Nuh dengan kapal kayu yang besar,
Mari berlayar bersama, hingga nun ujung dunia.
Sang puan tercipta dari sebuah gelombang yang menggulung. Ia datang
bertelanjang kaki. Bermahkotakan rumput laut yang alum. Lalu duduk di atas batu
besar. Di dalamnya seakan kekasihnya bersemayam. Tertatah namanya dengan
sederhana: Jaka Banyu. Seorang nakhoda yang hilang. Dipenjara oleh laut selatan. Cakrawala tergelincir. Sembari mengiringi sang puan membaca pembuka surat
dari kekasihnya.
Kekasihku, Sri Wangi, perempuan berbau bunga. Aku akan
berlayar lurus. Melintasi netra. Kelak akan kutemui engkau saat
tangkai-tangkai cemara mulai basah.
Seraya melihat laut yang kayau. Angin bertiup meronai seluruh dadanya. Akar-
akar pandan yang kekar, berluruhan melagukan nyanyian laut yang berhembus
lembut. Selembut pasir pantai yang menyimpan jejak-jejak sepi. Sang puan
melepas kelompangnya dan menyempal menjadi semerbak hibiskus. Tumbuh dan
gugur. Meminang ciuman-ciuman kekasihnya yang asin. Sedang sepasang
kakinya berlarian menuruni bukit, menuju kaki langit.
Gresik, 2018
Otobiografi
Kepada Indah: aku ingin bersua denganmu. Tentu bukan di sebuah tempat yang
indah serupa muara pada matamu. Bukan pula di sebuah tempat yang lebih
nyaman ketimbang pelukanmu. Melainkan di sebuah pawon yang selalu
sederhana dan selalu kita sebut jantung rumah. Kita akan bercengkerama dengan
satuan ayam, belasan daging yang sudah diasapkan, ratusan kacang-kacangan,
hingga ribuan ikan. Tapi ribuan ikanlah yang lebih mengingatkanku padamu.
Ribuan ikan yang habis kau geledah isinya. Ribuan ikan yang tergeletak karena
kalah perang. Mereka harus rela menanggalkan sisik besinya untuk akhirnya
hidup kembali. Kau meriwayatkan padaku: Ikan-ikan itu dulunya pejuang yang
mati sebagai pahlawan di tangan seorang pemukat. Tapi ia tetap berenang bahagia
pada kedalamanmu. Mencari sisa-sisa saat yang kurang dan mendiaminya dengan
bumbu yang selalu mengingatkanmu pada cabai, jahe, bawang, dan daun jeruk.
Mereka bersatu membentuk suatu kesatuan. Mendobrak fluktuasi pada luar
angkasaku. Berpendar dengan aroma yang selalu membuatku lena. Jika kita
membahas ikan tentu aku akan teringat pada pohon waru yang perdu sepertimu.
Kepada Mardi yang selalu lihai dalam beraksara. Aku ingin bercerita padamu
dengan cerita yang tak akan terputus. Cerita tentang seorang anak perempuan
dengan rambut ikal yang mengendarai naga agar dapat mencapai kerinduannya
pada sang rembulan. Kita dapat menebak cerita selanjutnya tentang sang
rembulan yang tak lain adalah ibu kandungnya. Begitu cerita tersebut berlanjut.
Cerita yang tak pernah kita ketahui awal dan akhirnya. Cerita yang akan selalu
kau penggal. Lalu kau kumpulkan beberapa tagmem subjek, predikat, dan
objeknya. Kau kuliti satu per satu dan memberikannya padaku sembari tertawa,
“Hahaha ini dia. Kau lihat. Kau kalah. Kau tak bisa. Kau harus menyerah karena
tak akan menemukan jawabannya.” Kemudian aku mengeja lebih dalam dengan
otak yang mendidih. Lalu kita berdua pun menjadi kera. Aku sebagai kera yang
kalah akan memilih untuk menggaruk punggungmu. Punggung yang luas dan
kuat. Aku pernah mengukur pungungmu dengan jariku. Mungkin aku perlu seribu
jari atau bahkan sepuluh ribu jari. Ah, aku sudah tidak tahu lagi. Karena yang aku
tahu hanya tentang bercerita padamu dengan suara yang keras.
Dan untuk Indah dan Mardi: dapatkah aku tetap mengenang kalian dengan
keterbatasan. Dengan rindu yang selalu mengaksara. Atau dengan cinta yang
selalu beraroma?
Jember, 2018
Bening Siti Aisyah lahir di Gresik, Jawa Timur, 7 Maret 1996. Ia belajar di Jurusan Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. Perohong (2014) adalah kumpulan puisi perdananya. Saat ini ia tengah mempersiapkan buku puisi terbarunya, Bedadung Bahasa Cahaya.
Komentar
Posting Komentar