Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Inggit Putria Marga
Pengayuh Rakit
sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari
sambil duduk mendekap lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh
wajah matahari, pengayuh rakit meratapi perannya di kelahiran kali ini
yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak ditanami sawi: tanah gembur
dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis-lapis lainnya.
tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup
tapi hidup seperti payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti:
belasan tahun akar menjalar, tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar
dengan daun telinga anak gajah, lingkar batang lebih ramping daripada lingkar pinggang
atlet renang. jati yang tumbuh terhambat kerap membuatnya ingat pada pohon cita-cita
yang sejak kecil tertanam di ladang dada: batang kerdil, daun mungil, tiada buah
meski sepentil.
sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya beberapa senti
mampu mencapai puncak hidup dalam puluhan hari. daun-daun muda tengadah
seperti tangan berdoa. daun-daun tua rebah di tanah bagai petualang istirah.
sayang, sebelum kembang-kembang sawi lahir, hubungan tanah dan tumbuhan berakhir.
sawi dicerabut. tanah melompong ditertawai kabut. melompong serupa wajahnya
saat segala yang mendatangi hanya singgah beberapa puluh hari, lalu pergi:
hewan atau manusia, malaikat atau hantu, bahagia atau pilu.
alih-alih menjemput penumpang
di tepi sungai untuk diantar menyeberang
pengayuh rakit terus-menerus meratap
buaya menyembul dengan mulut mangap
2018
Minggu Berdinding Ungu
buah busuk pohon hujan yang rontok di semua jalan
menghalangi langkah kami pergi ke taman hiburan.
namun, anakku bukanlah makhluk yang gemar mengubah
hatinya jadi kolam bagi ikan-ikan kesedihan.
tak jadi ke taman hiburan, tidak sama dengan
tidak dapat hiburan.
dengan krayon putih, di keping ungu dinding kamar
anakku menggambar pesawat. setelahnya,
ia menggambar awan, truk tanpa spion dan lampu,
bebek tak bermata tak bermulut, angka 1 sampai 25
bus bertingkat empat, sebilah tangga, serta
jalan naik-turun panjang dan berliku.
dia tidak menggambar ayam, botol susu,
labu siam, kembang kol, klakson mobil
atau palang pintu rel kereta api. sebagaimana
ia tak ingin melihat, mendengar, menyentuh,
dan menelan semua itu
di semua tempat termasuk dinding ungu
di semua hari termasuk minggu.
”aku hanya ingin menggambar yang kusuka saja.”
ia berikan jawaban itu, saat padanya hatiku bertanya
mengapa, bahkan dengan goresan paling semu
tak ada gambar diriku di situ,
tapi mulutku hanya sanggup bertanya
mengapa dia menggambar bebek
bukan menggambar ayam.
2018
Inggit Putria Marga bermukim di Bandar Lampung. Buku kumpulan puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).
Irwan Segara
Dewa-dewa yang Ditinggalkan
Di Gunung Pulasari
Pohon-pohon adalah saksi
Bagi dewa-dewa yang ditinggalkan,
Kerajaan tersembunyi
Dengan candi-candi tegak
Dalam ingatan arca Durga
Kini kaki-kaki menjauh
Dari altar pemujaan
Tangan-tangan tak lagi meminta
Kepadanya
Dari kejauhan angin menjerit
Langit berbisik pada awan
Segala sesuatu bercakap-cakap
Dalam rahasia
Masih kucari jejak-jejak waktu
Di sepanjang jalan sejarah,
Arca-arca yang berserak ini
Bertanya kepadaku melalui mimpi,
”Ke mana bibir yang melantunkan kidung
Mata yang berdoa, tangan yang dulu memuja
Kini tak lagi ada?”
Irwan Segara lahir di Lebak, Banten, 17 April 1989. Kini ia menetap di Yogyakarta. Perjalanan Menuju Mars (2018) adalah buku puisi perdananya.
Mashuri
Godaan Musim
di tepi musim, pawang hujan
mengutuk kemarau.
ia meratap parau,
”aku rindu langit
yang mengandung mendung
dan angin mendesau.”
2018
Seperti Puisi
ia datang kepadaku ketika puisi baru saja pamit ke kamar mandi.
wujudnya gembel, mirip seekor kera kebun binatang yang tidak
dipelihara, dengan luka sayatan memanjang di dada. ia
mengajakku salaman, tapi aku takut tertular kuman.
”mari kita bercakap sebentar saja, sebelum puisi itu kembali dan
menguasai dirimu yang congkak dan nisbi,” serunya.
tercium bau mulutnya yang lebih harum daripada timbunan tahi.
aku pun menolak uluran tangannya yang lebam dan bernanah. ia
diam, lalu pergi, seperti rembulan kesiangan yang terusir matahari.
aku melihat punggungnya yang koyak dan semakin menjauh,
dengan degup kemenangan. untunglah, puisi kemudian kembali.
”aku juga pamit pergi, karena kau telah berani menolak hatimu
sendiri,” kata puisi.
2018
Cita-cita
seorang anak menjual kayu bakar
di pasar
ranting-ranting mungil
yang dipanen dari hutan jati kecil
di seberang kali
meski ia mengerti
orang-orang memasak sayur dan opor
dengan nyala kompor
ia selalu berdoa
yang dinukil dari pelajaran
agama, biologi dan fisika:
”tuhan yang kuasa,
lekaskanlah minyak dan gas bumi
menguap dari sini
dan berganti musim reboisasi”
anak yang ahli memanjat itu
terus memanjatkan doa
setiap hari
2018
Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Buku puisinya antara lain Pengantin Lumpur (2005) dan Dangdut Makrifat (2018). Ia bekerja sebagai peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur.
Pengayuh Rakit
sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari
sambil duduk mendekap lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh
wajah matahari, pengayuh rakit meratapi perannya di kelahiran kali ini
yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak ditanami sawi: tanah gembur
dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis-lapis lainnya.
tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup
tapi hidup seperti payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti:
belasan tahun akar menjalar, tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar
dengan daun telinga anak gajah, lingkar batang lebih ramping daripada lingkar pinggang
atlet renang. jati yang tumbuh terhambat kerap membuatnya ingat pada pohon cita-cita
yang sejak kecil tertanam di ladang dada: batang kerdil, daun mungil, tiada buah
meski sepentil.
sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya beberapa senti
mampu mencapai puncak hidup dalam puluhan hari. daun-daun muda tengadah
seperti tangan berdoa. daun-daun tua rebah di tanah bagai petualang istirah.
sayang, sebelum kembang-kembang sawi lahir, hubungan tanah dan tumbuhan berakhir.
sawi dicerabut. tanah melompong ditertawai kabut. melompong serupa wajahnya
saat segala yang mendatangi hanya singgah beberapa puluh hari, lalu pergi:
hewan atau manusia, malaikat atau hantu, bahagia atau pilu.
alih-alih menjemput penumpang
di tepi sungai untuk diantar menyeberang
pengayuh rakit terus-menerus meratap
buaya menyembul dengan mulut mangap
2018
Minggu Berdinding Ungu
buah busuk pohon hujan yang rontok di semua jalan
menghalangi langkah kami pergi ke taman hiburan.
namun, anakku bukanlah makhluk yang gemar mengubah
hatinya jadi kolam bagi ikan-ikan kesedihan.
tak jadi ke taman hiburan, tidak sama dengan
tidak dapat hiburan.
dengan krayon putih, di keping ungu dinding kamar
anakku menggambar pesawat. setelahnya,
ia menggambar awan, truk tanpa spion dan lampu,
bebek tak bermata tak bermulut, angka 1 sampai 25
bus bertingkat empat, sebilah tangga, serta
jalan naik-turun panjang dan berliku.
dia tidak menggambar ayam, botol susu,
labu siam, kembang kol, klakson mobil
atau palang pintu rel kereta api. sebagaimana
ia tak ingin melihat, mendengar, menyentuh,
dan menelan semua itu
di semua tempat termasuk dinding ungu
di semua hari termasuk minggu.
”aku hanya ingin menggambar yang kusuka saja.”
ia berikan jawaban itu, saat padanya hatiku bertanya
mengapa, bahkan dengan goresan paling semu
tak ada gambar diriku di situ,
tapi mulutku hanya sanggup bertanya
mengapa dia menggambar bebek
bukan menggambar ayam.
2018
Inggit Putria Marga bermukim di Bandar Lampung. Buku kumpulan puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).
Irwan Segara
Dewa-dewa yang Ditinggalkan
Di Gunung Pulasari
Pohon-pohon adalah saksi
Bagi dewa-dewa yang ditinggalkan,
Kerajaan tersembunyi
Dengan candi-candi tegak
Dalam ingatan arca Durga
Kini kaki-kaki menjauh
Dari altar pemujaan
Tangan-tangan tak lagi meminta
Kepadanya
Dari kejauhan angin menjerit
Langit berbisik pada awan
Segala sesuatu bercakap-cakap
Dalam rahasia
Masih kucari jejak-jejak waktu
Di sepanjang jalan sejarah,
Arca-arca yang berserak ini
Bertanya kepadaku melalui mimpi,
”Ke mana bibir yang melantunkan kidung
Mata yang berdoa, tangan yang dulu memuja
Kini tak lagi ada?”
Irwan Segara lahir di Lebak, Banten, 17 April 1989. Kini ia menetap di Yogyakarta. Perjalanan Menuju Mars (2018) adalah buku puisi perdananya.
Mashuri
Godaan Musim
di tepi musim, pawang hujan
mengutuk kemarau.
ia meratap parau,
”aku rindu langit
yang mengandung mendung
dan angin mendesau.”
2018
Seperti Puisi
ia datang kepadaku ketika puisi baru saja pamit ke kamar mandi.
wujudnya gembel, mirip seekor kera kebun binatang yang tidak
dipelihara, dengan luka sayatan memanjang di dada. ia
mengajakku salaman, tapi aku takut tertular kuman.
”mari kita bercakap sebentar saja, sebelum puisi itu kembali dan
menguasai dirimu yang congkak dan nisbi,” serunya.
tercium bau mulutnya yang lebih harum daripada timbunan tahi.
aku pun menolak uluran tangannya yang lebam dan bernanah. ia
diam, lalu pergi, seperti rembulan kesiangan yang terusir matahari.
aku melihat punggungnya yang koyak dan semakin menjauh,
dengan degup kemenangan. untunglah, puisi kemudian kembali.
”aku juga pamit pergi, karena kau telah berani menolak hatimu
sendiri,” kata puisi.
2018
Cita-cita
seorang anak menjual kayu bakar
di pasar
ranting-ranting mungil
yang dipanen dari hutan jati kecil
di seberang kali
meski ia mengerti
orang-orang memasak sayur dan opor
dengan nyala kompor
ia selalu berdoa
yang dinukil dari pelajaran
agama, biologi dan fisika:
”tuhan yang kuasa,
lekaskanlah minyak dan gas bumi
menguap dari sini
dan berganti musim reboisasi”
anak yang ahli memanjat itu
terus memanjatkan doa
setiap hari
2018
Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Buku puisinya antara lain Pengantin Lumpur (2005) dan Dangdut Makrifat (2018). Ia bekerja sebagai peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur.
Komentar
Posting Komentar