Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Collegio del Verbo Divino oleh Mario F Lawi

Mario F Lawi

Collegio del Verbo Divino

In principio erat Verbum,
et Verbum erat apud Deum,
et Deus erat Verbum.
(Ioan, 1:1)

Dari tempat itu seorang pastor Styria dikirim
Ke sebuah tempat di ujung dunia.

Seorang bocah dari ujung dunia
Datang ke sana, di kemudian hari,
Mencari kata pertama yang dilupakan
Ketika si pastor meletakkan semua
Ingatannya di lembaran-lembaran kertas.

”Tak kami kenal huruf,” katanya
Kepada si pemimpin biara, orang yang
Menjemputnya di stasiun metro, dan
Menjamunya dengan pasta, parutan keju
Dan prosciutto.

”Tapi engkau membacanya dengan baik,”
Ujar si pemimpin biara menatapnya
Setelah menelan sepotong semangka.

”Ia berusia sebaya dirimu ketika diutus,
Dan kau tahu, selalu tidak mudah meratakan
Jalan yang bergelombang. Di sana, pada masanya,
Kupikir, bahkan belum ada domba untuk dicari.
Lihat dirimu, kau seekor domba sekarang.”

”Kami tak perlu menjadi domba
Jika hanya dibutuhkan untuk tersesat.”

”Siapa gembalamu?”

Bocah itu coba menebak, apa kemungkinan
Jawaban yang diberikan Yesus kepada Pilatus
Ketika pertanyaan tentang kebenaran belum
Sempat ia jawab, Pilatus malah keluar menemui
Orang-orang Yahudi dan mencuci tangannya.

Belum ia temukan kata pertama, tapi begitu
Banyak pertanyaan lain memenuhi kepalanya.

2017-2018



Jalan ke Koloseum

”Telah dihapusnya kata pertama dari nama kami
Ketika ia gurat buku permandian,
Ketika ia baca Kejadian, Tawarikh dan Matius.
Ia lenyapkan bunyi dari silsilah,
Ia gulung layar kami,
Ia tusukkan mesin Eropa pada lambung
Perahu kecil kami.”

2017


Pietà

Ia sudah kusut
Sebelum semua ditimpakan kepadanya,
Sebelum jiwa-jiwa zaitun di bukit itu
Berguguran seperti dikutuk.

Mundur 23 tahun.
Ia berusia 10 tahun, berdiri di depan ibu
Yang menghapus sisa-sisa pasir dari lututnya.
Ia jatuh, tapi tak takut.
Ia bangun dan tersenyum.
Ada ibu menjaganya.
Ia pikir untuk selamanya.

Tidak untuk selamanya, tentu saja.
Bahkan bapa pun sempat meninggalkannya.

Ia kini seekor keledai yang membongkar
Seluruh muatannya,
Dan sendiri menghadapi lubang jarumnya.

Di ujung lain adalah gelap.

Ia lihat gelap
Dan tak lihat apa pun
Sebelum kulit wajah ibu terkelupas
Seperti cat tua dari tangan Firenze
Di langit-langit sebuah kapela,
Tempat bapa, yang tangannya hendak
Meraih tangan sang perempuan,
Dibiarkan beku,

Sebelum ibu memeluknya.

2017-2018



Seperti Kartago
– buat Sitor Situmorang

Bahagia, o bahagia berlimpah, seandainya kapal-kapal
Troya tak pernah menyentuh pantai-pantai kami!
(Vergilius, Aeneis, buku IV, baris 657-658)

Seperti Kartago, habis dihancurkan,
Kulihat Dido mengarahkan pedang putus asa
Ke batang lehernya sendiri,
Tempat suara hilang tak kembali.
Adakah kesalehan Aeneas memancar dari sana?

Seperti Kartago, dibajak lalu tandus digarami,
Apakah yang mesti Vergilius katakan kepada si malang,
Yang dadanya berlubang ditembusi pedang,
Saat sepasang mata beradu sebelum angin melenyapkan pandang?

Adakah Kristus bagi si perempuan yang dirajam?

Seperti Kartago bagi Roma, siapakah lawan, siapakah kawan
Bagi Kristus ketika si mempelai mengabaikan derita kekasihnya?
Apakah cinta jika tak ada bahagia?

2018

Mario F Lawi bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Buku puisi terbarunya adalah Keledai yang Mulia dan Puisi-Puisi Lainnya (2019).



Saddam HP

Yudas

Ia biji sesawi, jatuh di batu-batu
rindu mengecup mulut matahari.
Ia pukat, terbang dengan jerat perangkap
ke pelukan laut meski tak bisa menjaring
lengan sendiri. Ia benih gerimis jatuh di tanah subur,
tertulis di antara epitaf batukarang dan
saraf burung-burung. Ia ragi orang ibrani, koyak di dalam
roti dua sukat dan berkhamir kehilangan.
Ia lalang di antara gandum, kesementaraan yang tersesat
dalam belukar masa lalu. Ia mutiara yang berharga,
tertelan dalam mulutnya sendiri. Ia harta terpendam,
menggali diri dalam keping-keping perak.
Ia seorang penabur, alpa pada musim yang
menjatuhkan khianat di mana-mana. Ia pohon ara
yang tak berbuah, hanya kutuk tanpa pupuk dan sejuk
tangan Bapa. Ia satu dari 99 domba, yang pandai menghilangkan diri
tapi tak menemukan lapang hati sang gembala.

Berpilin seperti jubah romawi
Kau lupa mengurai tali
menyalakan lilin, lilin menggigil
pada lorong gelap
menggantung diri
di labirin ingatan ini.

(Lasiana, 2018)


Komuni

Altar yang rapuh
Merayakan memoria.

Di baris keempat depan sibori
Kunanti mukjizat ekaristi.

Perjamuan bukan cuma roti,
Tapi TubuhMu batu hidup,

Merajam sarang-sarang
Penyamun dalam tubuhku.

(Lasiana, 2018)

Saddam HP lahir di Kupang, NTT, 21 Mei 1991. Ia aktif di Komunitas Sastra Dusun Flobamora dan Komunitas Sastra Filokalia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi