Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
17 November 2018
Mardi Luhung
Rancangan
: belajar dari Bahauddin Naqshband
Jika dia meluaskan tubuhnya, tentu punggung bukit terselimuti.
Dan jika dia menciutkan bayangannya, tentu lubang semut
termasuki. Dia bisa sewarna dengan merah, jingga, atau hijau.
Atau bisa juga dengan kebeningan. Tak tertebak ketika menjejak.
Tak terlihat ketika melekat. Dia paham bagaimana mesti membuang,
memilih, atau menyimpan. Menghitung, membagi, menambah,
atau mengurangi. Sebab soal jatuh dan bangun telah dilampaui.
Pada setiap sumur dia menimba. Pada setiap batu dan pasir
dia merancang. Merancang rumah atau gua. Gua atau hamparan
jalan. Jika malam diganti pagi, dan pagi diganti sore, dia mengalir
sesuka-sukanya. Naik-turun. Lurus-belok. Tak terpegang. Dia
menyapa yang tepekur di tepi telaga. Yang menuding kilau
matahari. Terus menceburkan diri dan selurup. Dia juga yang
menyimak tembok. Tembok yang katanya bermulut. Dari mulut
itu dia tahu, betapa aneh, jika ada kabar yang menyatakan, tentang
si anak yang dikutuk jadi karang. Hanya karena tak mengenal wajah
si ibu. Dan ada juga yang begitu percaya, bahwa apa yang tertulis di
kitab, bukan lagi milik si penulis. Sebab si penulis telah mati.
Dikubur di entah. Ibarat gajah di pelupuk mata tak terlihat, tapi
semut di seberang lautan terpandang, begitulah adanya dia.
Semacam titik yang jauh. Yang dianggap begitu mengganggu.
Padahal sebaliknya. Lalu lewat bebaris puisi, dia berbisik pada siapa
saja yang ingin memuji. Dan ringkasan bisikannya itu begini: ”Kita
memuji Yang Terpuji. Tapi pujian kita tak pernah menjadi
pujian. Sebab pujian kita cuma gaung pendek untuk mendengar
bagaimana sempurnanya Yang Terpuji memuji diri-Nya sendiri.”
(Gresik, 2018)
Merah Delima
Setiap aku tepekur. Setiap itu pula kau membayang. Kau yang
dekat tapi jauh. Jauh tapi rasanya tak henti-henti mengelus.
Mengelus dengan kedua tangan yang rahasia. Kedua tangan yang
pernah menancapkan sebatang lidi ke tanah. Terus ditarik. Dan
meluaplah sungai jernih yang segar di sebelahku. Sungai yang
ketika aku gunakan bercermin, kaulah yang terpantul. Sungai yang
ketika aku renangi, kaulah yang menyangga. Agar aku selalu
mengambang. Tak tenggelam.
Setiap aku telentang. Setiap itu pula kau meniup. Meniup kedua
kelopak mataku agar terkatup. Agar terkerut segenap yang
berkeriap. Padam segenap yang terpandang. Lalu membiarkan
apa-apa yang masih menempel. Melayang ke kamar. Kamar yang
selalu kau bersihkan. Dan selalu kau ganti warna dan hiasannya
dengan yang baru. Sebaru kamar pengantin. Sambil menukas:
”Biarkan yang baru jadi lebih-baru. Dan yang lebih-baru jadi yang
lebih-baru-lagi.”
Dan setiap aku terlelap. Setiap itu pula kau menyodorkan pintu.
Lalu tukasmu lagi: ”Ini pintu lain, masukilah.” Dan ketika masuk,
aku merasa rahimku menumbuh. Padahal, aku lelaki. Jadinya, aku
lelaki sekaligus perempuan. Lalu, manakah yang akan kau terima:
kelelakianku atau keperempuananku. Atau keduanya? Akh, kau
cuma tersenyum. Terus bersiul ceria. Seceria gesek fajar di ufuk
timur. Gesek fajar yang pelan-pelan meluas. Semeluas beludru
yang berwarna merah delima.
(Gresik, 2018)
Bintang Terang
: dari Nawang
Tidak Kakak, aku tidak datang. Tidak datang pada penungguanmu.
Sebab, setelah kau buka tutup kualiku, terbukalah jawaban dari
persoalan yang ada. Seperti persoalan buah tin yang berbuah tanpa
berbunga. Atau pohon rambat yang merambat dari arah kanan ke
kiri. Arah yang berlawanan dengan gerak jarum jam. Arah yang
membuat tiap praduga terhenyak. Dan si pendekar (tokoh di
komik yang pernah kau baca) tertegun. Karena (lewat arah yang
berlawanan itu), baru diketahui, bahwa pedang mustika, bukan
sekadar logam yang diolah. Tetapi juga balutan hati yang lembut
dan tulus. Dan jurus yang ampuh, bukan jurus yang menusuk atau
membabat. Tetapi yang mengalirkan. Yang membuat si pendekar
tak mengalahkan atau dikalahkan. Cuma berdiri luwes. Seluwes
bergulirnya embun di daun bambu. Ayo, Kakak, sudahilah
penungguanmu. Yang seperti penungguan seekor anjing pada
soosok tuannya yang saban sore pulang dengan sekantong daging
segar itu. Seekor anjing yang tak pernah habis menghirupi udara.
Dan udara yang tak bosan-bosan memanggili namaku. Seperti
memanggili hujan agar datang. Agar telaga yang kering kembali
terisi. Dan mujair-mujair pun kembali menetaskan telur-telurnya.
Mujair-mujair yang telah mengantarku menjelma jadi bintang
terang di langit malam. Bintang terang yang membuat para guru
menukas: ”Kegembiraan dan kesedihan bukan milik kita.
Keduanya tak lebih semacam busana. Yang silih-ganti kita
kenakan. Suka atau tidak.”
(Gresik, 2018)
Semua Telah Melihat
Padang luas yang meluas. Padang luas yang penuh mata. Ke mana
pun melangkah selalu ada yang mengikut. Dan paham apa-apa yang
bergerakan di bolak-baliknya hati. Dan apa-apa yang menjadikan
si pencatat tercekat. Mendekap kitab yang telah dicatatnya. Sebab
ada yang kurang lengkap ketika dihadapkan pada Sang Waktu.
”Tapi, ini sudah cocok dengan apa yang terlihat,” begitu bisik
si pencatat. Seperti bisik pada arah yang telah lepas. Tapi jawab
Sang Waktu: ”Sepertinya memang cocok. Tapi, itu masih sepertinya.
Bukan sebenarnya.” Si pencatat kembali tercekat. Terus mengubah
catatannya. Saat itu, padang luas yang meluas pun makin meluas.
Ke mana gerangan batas akhirnya. Ke mana juga nasib bagi yang kini
cuma menunggu arah turun, lurus, atau lompat itu. Memang, saat itu,
ada sepasang sayap terbang rendah. Warnanya putih. Putih memplak.
Lalu hinggap di punggung sosok yang buta. Yang dadanya terbuka.
Dan dari dada yang terbuka itu, siapa saja yang berkenan memasukkan
kepalanya, akan dapat melihat cuaca yang tenang, angin yang tenang,
dan taman yang juga tenang. Taman yang berpayung bianglala. Taman
yang berbisik: ”Apa yang akan tak terlihat, jika semua telah melihat.”
(Gresik, 2018)
Seiringan
Kepada penyulam tua seseorang bertanya:
”Mengapa sulamanmu begitu rumit. Sampai-sampai
imajinasiku tak mampu memasukinya.”
Penyulam tua menjawab:
”Soal imajinasimu yang tak mampu memasuki sulamanku,
itu soalmu sendiri. Bukan soalku atau soal sulamanku. Karena,
ketika aku menyulam, ketika itu pula, aku tak memasuki
imajinasi. Atau imajinasi memasukiku.
Aku dan imajinasi seiringan.”
(Gresik, 2018)
Mardi Luhung lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Cumcum Pergi ke Akhirat (2017) adalah buku puisi mutakhirnya.
Mardi Luhung
Rancangan
: belajar dari Bahauddin Naqshband
Jika dia meluaskan tubuhnya, tentu punggung bukit terselimuti.
Dan jika dia menciutkan bayangannya, tentu lubang semut
termasuki. Dia bisa sewarna dengan merah, jingga, atau hijau.
Atau bisa juga dengan kebeningan. Tak tertebak ketika menjejak.
Tak terlihat ketika melekat. Dia paham bagaimana mesti membuang,
memilih, atau menyimpan. Menghitung, membagi, menambah,
atau mengurangi. Sebab soal jatuh dan bangun telah dilampaui.
Pada setiap sumur dia menimba. Pada setiap batu dan pasir
dia merancang. Merancang rumah atau gua. Gua atau hamparan
jalan. Jika malam diganti pagi, dan pagi diganti sore, dia mengalir
sesuka-sukanya. Naik-turun. Lurus-belok. Tak terpegang. Dia
menyapa yang tepekur di tepi telaga. Yang menuding kilau
matahari. Terus menceburkan diri dan selurup. Dia juga yang
menyimak tembok. Tembok yang katanya bermulut. Dari mulut
itu dia tahu, betapa aneh, jika ada kabar yang menyatakan, tentang
si anak yang dikutuk jadi karang. Hanya karena tak mengenal wajah
si ibu. Dan ada juga yang begitu percaya, bahwa apa yang tertulis di
kitab, bukan lagi milik si penulis. Sebab si penulis telah mati.
Dikubur di entah. Ibarat gajah di pelupuk mata tak terlihat, tapi
semut di seberang lautan terpandang, begitulah adanya dia.
Semacam titik yang jauh. Yang dianggap begitu mengganggu.
Padahal sebaliknya. Lalu lewat bebaris puisi, dia berbisik pada siapa
saja yang ingin memuji. Dan ringkasan bisikannya itu begini: ”Kita
memuji Yang Terpuji. Tapi pujian kita tak pernah menjadi
pujian. Sebab pujian kita cuma gaung pendek untuk mendengar
bagaimana sempurnanya Yang Terpuji memuji diri-Nya sendiri.”
(Gresik, 2018)
Merah Delima
Setiap aku tepekur. Setiap itu pula kau membayang. Kau yang
dekat tapi jauh. Jauh tapi rasanya tak henti-henti mengelus.
Mengelus dengan kedua tangan yang rahasia. Kedua tangan yang
pernah menancapkan sebatang lidi ke tanah. Terus ditarik. Dan
meluaplah sungai jernih yang segar di sebelahku. Sungai yang
ketika aku gunakan bercermin, kaulah yang terpantul. Sungai yang
ketika aku renangi, kaulah yang menyangga. Agar aku selalu
mengambang. Tak tenggelam.
Setiap aku telentang. Setiap itu pula kau meniup. Meniup kedua
kelopak mataku agar terkatup. Agar terkerut segenap yang
berkeriap. Padam segenap yang terpandang. Lalu membiarkan
apa-apa yang masih menempel. Melayang ke kamar. Kamar yang
selalu kau bersihkan. Dan selalu kau ganti warna dan hiasannya
dengan yang baru. Sebaru kamar pengantin. Sambil menukas:
”Biarkan yang baru jadi lebih-baru. Dan yang lebih-baru jadi yang
lebih-baru-lagi.”
Dan setiap aku terlelap. Setiap itu pula kau menyodorkan pintu.
Lalu tukasmu lagi: ”Ini pintu lain, masukilah.” Dan ketika masuk,
aku merasa rahimku menumbuh. Padahal, aku lelaki. Jadinya, aku
lelaki sekaligus perempuan. Lalu, manakah yang akan kau terima:
kelelakianku atau keperempuananku. Atau keduanya? Akh, kau
cuma tersenyum. Terus bersiul ceria. Seceria gesek fajar di ufuk
timur. Gesek fajar yang pelan-pelan meluas. Semeluas beludru
yang berwarna merah delima.
(Gresik, 2018)
Bintang Terang
: dari Nawang
Tidak Kakak, aku tidak datang. Tidak datang pada penungguanmu.
Sebab, setelah kau buka tutup kualiku, terbukalah jawaban dari
persoalan yang ada. Seperti persoalan buah tin yang berbuah tanpa
berbunga. Atau pohon rambat yang merambat dari arah kanan ke
kiri. Arah yang berlawanan dengan gerak jarum jam. Arah yang
membuat tiap praduga terhenyak. Dan si pendekar (tokoh di
komik yang pernah kau baca) tertegun. Karena (lewat arah yang
berlawanan itu), baru diketahui, bahwa pedang mustika, bukan
sekadar logam yang diolah. Tetapi juga balutan hati yang lembut
dan tulus. Dan jurus yang ampuh, bukan jurus yang menusuk atau
membabat. Tetapi yang mengalirkan. Yang membuat si pendekar
tak mengalahkan atau dikalahkan. Cuma berdiri luwes. Seluwes
bergulirnya embun di daun bambu. Ayo, Kakak, sudahilah
penungguanmu. Yang seperti penungguan seekor anjing pada
soosok tuannya yang saban sore pulang dengan sekantong daging
segar itu. Seekor anjing yang tak pernah habis menghirupi udara.
Dan udara yang tak bosan-bosan memanggili namaku. Seperti
memanggili hujan agar datang. Agar telaga yang kering kembali
terisi. Dan mujair-mujair pun kembali menetaskan telur-telurnya.
Mujair-mujair yang telah mengantarku menjelma jadi bintang
terang di langit malam. Bintang terang yang membuat para guru
menukas: ”Kegembiraan dan kesedihan bukan milik kita.
Keduanya tak lebih semacam busana. Yang silih-ganti kita
kenakan. Suka atau tidak.”
(Gresik, 2018)
Semua Telah Melihat
Padang luas yang meluas. Padang luas yang penuh mata. Ke mana
pun melangkah selalu ada yang mengikut. Dan paham apa-apa yang
bergerakan di bolak-baliknya hati. Dan apa-apa yang menjadikan
si pencatat tercekat. Mendekap kitab yang telah dicatatnya. Sebab
ada yang kurang lengkap ketika dihadapkan pada Sang Waktu.
”Tapi, ini sudah cocok dengan apa yang terlihat,” begitu bisik
si pencatat. Seperti bisik pada arah yang telah lepas. Tapi jawab
Sang Waktu: ”Sepertinya memang cocok. Tapi, itu masih sepertinya.
Bukan sebenarnya.” Si pencatat kembali tercekat. Terus mengubah
catatannya. Saat itu, padang luas yang meluas pun makin meluas.
Ke mana gerangan batas akhirnya. Ke mana juga nasib bagi yang kini
cuma menunggu arah turun, lurus, atau lompat itu. Memang, saat itu,
ada sepasang sayap terbang rendah. Warnanya putih. Putih memplak.
Lalu hinggap di punggung sosok yang buta. Yang dadanya terbuka.
Dan dari dada yang terbuka itu, siapa saja yang berkenan memasukkan
kepalanya, akan dapat melihat cuaca yang tenang, angin yang tenang,
dan taman yang juga tenang. Taman yang berpayung bianglala. Taman
yang berbisik: ”Apa yang akan tak terlihat, jika semua telah melihat.”
(Gresik, 2018)
Seiringan
Kepada penyulam tua seseorang bertanya:
”Mengapa sulamanmu begitu rumit. Sampai-sampai
imajinasiku tak mampu memasukinya.”
Penyulam tua menjawab:
”Soal imajinasimu yang tak mampu memasuki sulamanku,
itu soalmu sendiri. Bukan soalku atau soal sulamanku. Karena,
ketika aku menyulam, ketika itu pula, aku tak memasuki
imajinasi. Atau imajinasi memasukiku.
Aku dan imajinasi seiringan.”
(Gresik, 2018)
Mardi Luhung lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Cumcum Pergi ke Akhirat (2017) adalah buku puisi mutakhirnya.
Komentar
Posting Komentar