Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Gunung Kupang oleh Hudan Nur

10 November 2018

Hudan Nur

Gunung Kupang


hanya satu rumah yang tersisa. tak ada tetangga. tak ada
yang mengetuk rumahmu di ketinggian ke kaki langit itu.

rumah-rumah di gunung kupang tak beralamat. surat-surat
kakek di peti tua sudah kehilangan pembaca. tanah merah yang membumbung di gunung kupang sudah menemu
ajalnya. dibagi-bagi, diurug untuk ruko-ruko yang perkasa.

kotaku hadir setelah bencana mampir melangsir takdir.
gunung-gemunung menjadi bayangan. mereka berbondong-
bondong menjadi danau. mereka dijadikan wisata yang
kering, kotaku seolah-olah menjadi siluman

: inilah kami kota sejuta ruko
seribu danau

Teras Puitika, 2018



Amaco

kami memulakan hidup dalam kindai yang setengah-
setengah. abad yang lalu gunung apam masih lekat
menyebut kami. daratan kariwaya, semak-semak
karamunting, burung-burung hutan tak bertuan hinggap di
aksaraku membekam jejak ayahku.

amaco mula hunian kami belajar berkemas mengejar pagi. tungku awal kami sebelum kota mekar menjadi barisan jamur-jamur perumahan. jalur ramuan hari yang saling menatap. memberi tanda pada ruang-ruang waktu.

kau sibak nyala usia yang memberai di setiap gerimis. amaco mengalir bak puan nan purna. seperti lampu-lampu dalam kobar yang menyilaukan. kami terperangkap dalam cahayamu, ke kedalaman matamu!

Teras Puitika, 2018



Guntung Paikat

mengalirlah air ke padang piatu
membebat masa tua datu van der vijl di halaman rumahnya

kun
jadilah paikat di guntung-guntung masa

aku tabur benih-benih kariwaya di dalam taman
aku dudus segala musim untuk bersilang

di guntung paikat embun-embun memberi tanda kepada pagi
ilalang-ilalang kemarau menguning di lanskap usia
: menjamu senja dengan tumpukan doa
yang kumal

Teras Puitika, 2018



Guntung Damar

di padang karamunting
kupu-kupu hinggut
dibelai suasana

belukar hari yang menyibak mimpi-mimpi tua
telah menemukan jalan pulang

guntung damar memeram kenang
: lewat jalan-jalan nuju baruh
swaka hati yang mengubur persinggahan
di setiap cuaca

kami mengayuh waktu dalam pijar
lampu-lampu petromaks
lewat kobar

kami tulis nama-nama bunga setiap pekan
kuhambur-hambur kelopaknya
di antara pusara kita

Teras Puitika, 2018

Hudan Nur lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 23 November 1985. Buku kumpulan puisinya Menuba Laut (2016).




Adi Zamzam

Rak Buku


Di tiap barisnya kuletakkan semua kenangan dengan rapi
Buku-buku serupa pelajaran yang sudah dipetimati
Sekian masa namun bisa hidup kembali
Tiap bab pernah kugarisbawahi atau kulipat halamannya
agar mudah kusambangi lagi

Rak paling bawah kuisi buku-buku usang namun isinya abadi
sebab hidup katanya hanyalah pengulangan
dari masa lalu
Meski buku-buku tersebut ada yang cetak ulang
isinya tetaplah sama

Di rak nomor dua kuletakkan referensi-referensi dari sahabat dan handai tolan
yang setiap saat masih sempat kujenguk dan menjengukku
Merekalah nasihat paling dekat
setelah buku harian sendiri
yang seringnya kuselipkan di sesela entah rak keberapa
bersembunyi dari para pembaca gelap
yang tak segan meminjam tanpa bilang-bilang

Di rak nomor tiga ada buku-buku humaniora yang merangkum
masa-masa pubertasku mengenali dunia
Tiap babnya penuh garis bawah merah penuh gelora
Itu kejadian-kejadian penting yang tak boleh dilupa

Di rak teratas ada buku-buku induk yang jadi rujukan utama
Dari sanalah sering kutemukan rumus-rumus ajaib
perihal hidup dan kematian
Yang satu ditambah satu bisa jadi sembilan
Yang empat dibagi dua belum tentu benar dua
Yang lima dikurangi tiga kadang tak bersisa dua
Dan dua dikali dua pun kadang membuat kita sibuk dan lupa

26/9/2018



Membaca Kitab Suci

Tuhan, maafkanlah aku
Yang selalu berbicara keras-keras
di depan telingaMu

26/9/2018

Adi Zamzam lahir di Jepara, Jawa Tengah, 1 Januari 1982. Buku terbarunya adalah kumpulan cerpen Menunggu Musim Kupu-kupu (2018).




Mustofa W Hasyim

Pasar Sederhana


Hanya ada penjual dawet dengan cendol dari tepung pohon
aren. Gorengan lenthuk ketela dan emping garut.
Selebihnya, penjual nasi pecel dengan bunga turi putih dan
combrang merah. Helai-helai daun kelapa dianyam, atap,
kursi potongan tonggak kayu sonokeling dan dongeng yang
berbiak setiap saat. Penjual sayur barusan pulang, demikian
juga penjual telur bebek dan tempe kara benguk dibungkus
daun waru. Ini hari bukan pasaran Legi atau Pon, tak ada
pande besi memanaskan besi dan tak ada penjual jamu dari
kota berpidato sampai tengah hari. Tak ada unggas
diperjualbelikan, juga mainan anak-anak.



Berjalan-jalan

Menempuh waktu. Di antara rumput dan pohon randu alas. Embun gemetar menjelang siang. Kupu-kupu menjadi
bendera musim. Bunga-bunga merdeka. Bau tanah harum
cinta. Jarak menyanyikan petualangan purba. Jejak dan
tapak menari-nari, pesona kenangan. Ingin rasanya
membaringkan bisumu. Dan burung-burung pengusir sepi
masih jauh, apalagi ikan yang menggemericikkan arus air.
Pada batu padas dan daun talas.



Ikan Asin

Ikan asin, berjejerlah kalian menghadap matahari. Bau khas memperpadat pantai dan kapal yang lelah butuh hiburan. Sekadar potongan musik dangdut dari telepon genggam
sepasang anak muda berpacaran di sela pohon pandan.
Kurasa, kalian merindukan gelombang. Kini bukan lautan,
tapi datang gelombang darah cinta yang disembunyikan
ketika di ruang kelas tadi. Atau, setelah kalian mengembara naik truk menyusuri pegunungan dan turun ke lembah di sebaliknya, banyak kota menyambut, dengan gelombang
minyak goreng yang panasnya mempermatang rindumu.
Rindu pesta.

2018



Menikah

Yang menikah ingin memasuki pasangannya. Rindu
melawan rindu. Sunyi melawan sunyi. Gairah pada mata
melawan gairah pada dada. Gairah pada dada melawan
gairah pada perut. Gairah pada perut melawan gairah pada kaki, ujung melawan pangkal. Napas berputar mengelilingi cakrawala seluas kamar tidur, dan langit-langit menyaring
sinar bulan purnama. Bisikan-bisikan terasa gaibnya. Kau
benarkah aku? Aku benarkah kau? Menghirup uap nyawa, terhirup serbuk bunga nasib. Drama yang kadang tak
mudah diselesaikan.


Mustofa W Hasyim adalah Ketua Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta. Pidato yang Masuk Surga (2018) adalah kumpulan puisi mutakhirnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi