Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
13 Oktober 2018
Surya Gemilang
Masalah Radio
radio selalu mengikutimu. kau tak tahu apakah ia berkaki
tapi ia selalu ada di sekitarmu – entah itu di toilet umum,
di meja makan kantin kampusmu,
di antrean menuju atm saat kau mesti membayar sisa hidupmu,
bahkan di dalam kekosongan mimpi dan batok kepalamu.
radio selalu mengikutimu, dan perlahan-lahan menjadi
bagian tubuhmu. kau pun mulai mencoba membalas
segala kata dari mulutnya, tanpa menyadari bahwa radio
telinga pun tiada punya.
(Jakarta, April 2018)
Senapan
dan di malam yang panas ini
tubuhku digenggam
untuk kesekian kali
dan di malam yang jahanam ini
kudengar lagi ada yang memohon
ampunan pada sang tuan
yang menguasaiku sepenuhnya
dan di malam yang mulai mendung ini
lelaki itu memohon agar tak dihujani peluru
dari tubuhku, sembari menghujani tanah
dengan air mata penyesalan
yang hampir sehangat moncongku
dan di malam yang mulai hujan ini,
untuk kesekian kalinya,
disadarkannya bahwa aku hanyalah
alat untuk memuntah peluru
tanpa bisa memuntah
air mata
saban sebutir peluru
termuntah
menembus
tubuh
yang
tunduk
*
dan di malam yang mulai pergi itu
sengsara datang kala aku diistirahatkan:
menanti tangan dinginnya
kembali menggenggamku
(Jakarta, Juli 2018)
Celengan Tanah Liat
meski tubuhnya hanya separuh isi
ia tahu tak lama lagi
setelah terdengar erang
dari usia yang tipis
tubuhnya akan menemu takdir
yang dulu pernah hampir hadir:
dipecahkan dengan harap
usia menebal, meski maut tetap beribu kali
lebih liat ketimbang tanah yang membuat
dirinya ada
(Jakarta, Agustus 2018)
Surya Gemilang lahir di Denpasar, Bali, 21 Maret 1998. Cara Mencintai Monster (2017) dan Mencicipi Kematian (2018) adalah dua buku puisinya.
Inggit Putria Marga
Saat Pagi Diserang Hujan
pohon-pohon pisang
berdaun koyak berbatang lotak
tali-tali jemuran
mengendur ditumpangi jamur
bambu-bambu pagar
lapuk nyaris ambruk
ayam, kambing, sapi
kurus dikandangi terus
tiang-tiang listrik
sekarat penuh karat
genteng-genteng rumah
semaput didera lumut
suami istri bagai ular
melingkar di bawah selimut
anak lelaki dan anak perempuan
lupa jalan menuju sekolah
ruang-ruang kelas
mati digerogoti gigi sepi
jalan-jalan aspal
ditumbuhi lengang terjal
kebun-kebun sayur
menjelma rumah air
bunga-bunga kecipir
rontok untuk bonyok
bulu-bulu bangau
mengapung di danau
cahaya matahari sembunyi
di jantung seorang yogi
2018
Kado Istimewa
benda-benda di bait kedua terhampar dalam lukisan
yang pagi tadi diantarkan tukang pos padaku.
sebilah jarum seperti mencucuk jantungku
saat nama pengirim sekilas terbaca. nama yang sama
dengan yang kuberikan pada seorang putra.
dengan dia, telah puluhan tahun aku tak bertatap muka.
lantai kayu berdebu setebal beledu, dinding warna akar tuba
plafon mengibarkan benang laba-laba, rombongan rayap
berumah di kusen jendela, tirai berwarna semuram ketam
meja dan kursi hilang kaki, lemari kaca dihuni tumpukan panci
jam dinding ditumbuhi fungi, televisi nyala tanpa warna, sofa busa
koyak pembungkusnya, dua gulungan wol hijau jeruk purut,
perempuan keriput duduk merajut.
aku kenal perempuan di lukisan itu sebagaimana aku kenal
seluruh benda yang tergambar di situ. tidak, tidak seluruhnya.
tergeletak di meja tak berkaki, buket mawar dengan kartu ucapan
bertuliskan ”untuk ibu” adalah yang asing di antara semua yang akrab itu.
seasing perasaanku menerima kado dari anakku: ia yang dikubur
usai kulahirkan puluhan tahun lalu.
2018
Inggit Putria Marga menetap di Bandar Lampung. Buku puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).
Binhad Nurrohmat
Relung Penempuhan
Masa depan tak bergayut di pucuk rambut
Tak sirna rencana demi rencana yang batal
Tunas rambut menyembulkan akar harapan
Dan betapa sabar menunggu di pori waktu
Helai kuyu rebah tak bersedu di bugil bahu
Pernah bertanya: apakah cinta bisa menua?
Kemesraan tersandar bantal selepas senja
Seperti godaan di luar nujum atau ramalan
Rambut terberai serupa raut malam lautan
Dan lampu kamar memijari deburan angan
Selepas pelukan saling pandang penuh arti
Merambati lengan waktu dan kehangatan
Ada yang membekas abadi di ujung bisikan
Ada yang tak sungguh selesai selamanya
Setelah hanya angin dan cinta menuntunnya
Daun pintu terbuka dan tertutup sekian kali
Seperti putaran nasib muram dan tenteram
Perjalanan hari-hari merangkak atau berlari
Menera tanda fana keriput di lingkar mata
Dan yang kekal di mana pun tak sembunyi
Di balik ucapan terperam isyarat rahasia
Terbata meraih cakrawala tak terkatakan
Seperti debu dalam rengkuhan semesta
Di ujung bisikan tak tersimak akhir masa
Hanya menerka dan menapaki alur usia
Berjalan bersama kesedihan yang padam
Langit terbentang tersaput gerumbul awan
Bumi sabar terlangkahi kelam dan terang
Bayangan di belakang tak berucap apa-apa
Seperti ketabahan diam memeluk semesta
Lari Pagi di Trowulan
Tanah dan udara bersekutu
Akar trembesi merengkuh pori bumi
Angin merisik rimbun daunnya
Tiada raja berpeluh di bawah naungannya
Ruang dan waktu membisu
Matahari di atas reruntuhan istana
Adalah bintang yang dulu menghangati
Bahu permaisuri yang tersibak di taman
Kata dan ucapan berbaur
Dari masa lalu sejarah berbisik
Seperti prasasti dan ingatan
Menunggu di sudut kenangan
Almanak dan usia tak terlerai
Pagi tak merayapi arah yang lain
Ke mana pun kaki melangkah
Menjamah bumi yang sama
Binhad Nurrohmat bermukim di Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Buku puisinya antara lain Kuda Ranjang (2004) dan Kwatrin Ringin Contong (2014).
Surya Gemilang
Masalah Radio
radio selalu mengikutimu. kau tak tahu apakah ia berkaki
tapi ia selalu ada di sekitarmu – entah itu di toilet umum,
di meja makan kantin kampusmu,
di antrean menuju atm saat kau mesti membayar sisa hidupmu,
bahkan di dalam kekosongan mimpi dan batok kepalamu.
radio selalu mengikutimu, dan perlahan-lahan menjadi
bagian tubuhmu. kau pun mulai mencoba membalas
segala kata dari mulutnya, tanpa menyadari bahwa radio
telinga pun tiada punya.
(Jakarta, April 2018)
Senapan
dan di malam yang panas ini
tubuhku digenggam
untuk kesekian kali
dan di malam yang jahanam ini
kudengar lagi ada yang memohon
ampunan pada sang tuan
yang menguasaiku sepenuhnya
dan di malam yang mulai mendung ini
lelaki itu memohon agar tak dihujani peluru
dari tubuhku, sembari menghujani tanah
dengan air mata penyesalan
yang hampir sehangat moncongku
dan di malam yang mulai hujan ini,
untuk kesekian kalinya,
disadarkannya bahwa aku hanyalah
alat untuk memuntah peluru
tanpa bisa memuntah
air mata
saban sebutir peluru
termuntah
menembus
tubuh
yang
tunduk
*
dan di malam yang mulai pergi itu
sengsara datang kala aku diistirahatkan:
menanti tangan dinginnya
kembali menggenggamku
(Jakarta, Juli 2018)
Celengan Tanah Liat
meski tubuhnya hanya separuh isi
ia tahu tak lama lagi
setelah terdengar erang
dari usia yang tipis
tubuhnya akan menemu takdir
yang dulu pernah hampir hadir:
dipecahkan dengan harap
usia menebal, meski maut tetap beribu kali
lebih liat ketimbang tanah yang membuat
dirinya ada
(Jakarta, Agustus 2018)
Surya Gemilang lahir di Denpasar, Bali, 21 Maret 1998. Cara Mencintai Monster (2017) dan Mencicipi Kematian (2018) adalah dua buku puisinya.
Inggit Putria Marga
Saat Pagi Diserang Hujan
pohon-pohon pisang
berdaun koyak berbatang lotak
tali-tali jemuran
mengendur ditumpangi jamur
bambu-bambu pagar
lapuk nyaris ambruk
ayam, kambing, sapi
kurus dikandangi terus
tiang-tiang listrik
sekarat penuh karat
genteng-genteng rumah
semaput didera lumut
suami istri bagai ular
melingkar di bawah selimut
anak lelaki dan anak perempuan
lupa jalan menuju sekolah
ruang-ruang kelas
mati digerogoti gigi sepi
jalan-jalan aspal
ditumbuhi lengang terjal
kebun-kebun sayur
menjelma rumah air
bunga-bunga kecipir
rontok untuk bonyok
bulu-bulu bangau
mengapung di danau
cahaya matahari sembunyi
di jantung seorang yogi
2018
Kado Istimewa
benda-benda di bait kedua terhampar dalam lukisan
yang pagi tadi diantarkan tukang pos padaku.
sebilah jarum seperti mencucuk jantungku
saat nama pengirim sekilas terbaca. nama yang sama
dengan yang kuberikan pada seorang putra.
dengan dia, telah puluhan tahun aku tak bertatap muka.
lantai kayu berdebu setebal beledu, dinding warna akar tuba
plafon mengibarkan benang laba-laba, rombongan rayap
berumah di kusen jendela, tirai berwarna semuram ketam
meja dan kursi hilang kaki, lemari kaca dihuni tumpukan panci
jam dinding ditumbuhi fungi, televisi nyala tanpa warna, sofa busa
koyak pembungkusnya, dua gulungan wol hijau jeruk purut,
perempuan keriput duduk merajut.
aku kenal perempuan di lukisan itu sebagaimana aku kenal
seluruh benda yang tergambar di situ. tidak, tidak seluruhnya.
tergeletak di meja tak berkaki, buket mawar dengan kartu ucapan
bertuliskan ”untuk ibu” adalah yang asing di antara semua yang akrab itu.
seasing perasaanku menerima kado dari anakku: ia yang dikubur
usai kulahirkan puluhan tahun lalu.
2018
Inggit Putria Marga menetap di Bandar Lampung. Buku puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).
Binhad Nurrohmat
Relung Penempuhan
Masa depan tak bergayut di pucuk rambut
Tak sirna rencana demi rencana yang batal
Tunas rambut menyembulkan akar harapan
Dan betapa sabar menunggu di pori waktu
Helai kuyu rebah tak bersedu di bugil bahu
Pernah bertanya: apakah cinta bisa menua?
Kemesraan tersandar bantal selepas senja
Seperti godaan di luar nujum atau ramalan
Rambut terberai serupa raut malam lautan
Dan lampu kamar memijari deburan angan
Selepas pelukan saling pandang penuh arti
Merambati lengan waktu dan kehangatan
Ada yang membekas abadi di ujung bisikan
Ada yang tak sungguh selesai selamanya
Setelah hanya angin dan cinta menuntunnya
Daun pintu terbuka dan tertutup sekian kali
Seperti putaran nasib muram dan tenteram
Perjalanan hari-hari merangkak atau berlari
Menera tanda fana keriput di lingkar mata
Dan yang kekal di mana pun tak sembunyi
Di balik ucapan terperam isyarat rahasia
Terbata meraih cakrawala tak terkatakan
Seperti debu dalam rengkuhan semesta
Di ujung bisikan tak tersimak akhir masa
Hanya menerka dan menapaki alur usia
Berjalan bersama kesedihan yang padam
Langit terbentang tersaput gerumbul awan
Bumi sabar terlangkahi kelam dan terang
Bayangan di belakang tak berucap apa-apa
Seperti ketabahan diam memeluk semesta
Lari Pagi di Trowulan
Tanah dan udara bersekutu
Akar trembesi merengkuh pori bumi
Angin merisik rimbun daunnya
Tiada raja berpeluh di bawah naungannya
Ruang dan waktu membisu
Matahari di atas reruntuhan istana
Adalah bintang yang dulu menghangati
Bahu permaisuri yang tersibak di taman
Kata dan ucapan berbaur
Dari masa lalu sejarah berbisik
Seperti prasasti dan ingatan
Menunggu di sudut kenangan
Almanak dan usia tak terlerai
Pagi tak merayapi arah yang lain
Ke mana pun kaki melangkah
Menjamah bumi yang sama
Binhad Nurrohmat bermukim di Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Buku puisinya antara lain Kuda Ranjang (2004) dan Kwatrin Ringin Contong (2014).
Komentar
Posting Komentar