Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
27 Oktober 2018
Afri Meldam
Kaki Air
Ikan-ikan diam di palung terdalam
Kerikil hijau lumut
Bunga-bunga lili dengan kuntum merah darah
Dari rumpunnya kaki air menetes
Muara masih penuh oleh penambang
Satu dua mati dalam lubang kubang
Tak ada ikan di sana
Emas sebongkah gajah memeluk mereka
Kalibata, 2018
Mewarnai Musim Kemarau
Sebuah garis cokelat tegas tebal
Di atas tanah kuning kering
Daun-daun keriput hitam
Burung-burung kelabu yang kaku
Kau cari krayon hijau yang dicuri musim lalu
Kalibata, 2018
Ujung Jalan Setapak
Pernah kau dengar cerita celaka itu
Dari pencari manau di Lurah Sembilan
Turun ia ke anak sungai berlintah berkutu
Jalan pulang dibalut sulur rotan
Sebuah jalan berbatu
Menuju entah yang tak kau tahu
Kalibata, 2018
Rusa Betina di Pinggang Ladang
Rusa gendut merah jambu di kaki ladang
Tak takut ia menatapmu
Karena kau bukan pemburu, Bujang!
Parang majal dan anjing pemalasmu
Hanya membuatnya menoleh sedikit panjang
Lalu memakan habis pakis-pakis
Rusa keramat rusa cincin jimat
Kabut ungu embun biru
Kalibata, 2018
Menamai Titik Terakhir Hujan Putih
Angin merah dalam pelukan batu-batu
Meliuk ke ceruk Lubuk Paraku
Tempat ikan-ikan meneteskan telur jingga mereka
Menunggui derap hujan jatuh dengan jantan
Ke ujung atap hujan putih jatuh
Pertama kali dalam musim ganjil
Kita ingin menamainya sebelum luruh
Tapi ciap burung hutan mengantar gigil
Lalu semua berderap serupa langkah tergesa
Ranting-ranting patah pada batu
Hujan terakhir telah tiba
Kita menamainya sebelum kelekatu
Kalibata, 2018
Panen Kopi
Kopiahmu hitam, tapi kopi-kopi lebih serupa ceri
Biji dikotil ranum dalam kuasa semut koloni
Para pemetik kopi berceloteh tentang hari esok
Baju seragam dan kain panjang baru dengan warna seronok
Nasib tak seputih cawan tak sehitam ampas kopi
”Mari kita penuhi keranjang-keranjang ini!”
Kalibata, 2018
Afri Meldam lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas. Kini menetap di Jakarta. Hikayat Bujang Jilatang (2005) adalah buku kumpulan cerpennya.
Ebi Langkung
Pisang Susu
ajari kami memulai waktu
berpinak dan meluangkan
kebaikan sunyi yang jamak
agar malam berkumandang dalam dagingku
kami hanya kaum (muda) pengkuh yang belajar
menyesap manis dalam batangnya
bila kuning hari-hari, aku mengulum rindu dari hati
dalam kitabmu sampai hitam layu menjemput tubuhku
bertandan potongan tarekat hausku
lumatlah, sebelum aku tinggal hayat
setiap yang pergi dan mengurai dari kulit tipisku
akan terbuka kandung binar mata dahagaku
2018
Kerupuk
dalam kering suaramu
kau disamak minyak
hingga garing di atas meja itu
sebenarnya tak ada yang mampu
tertahan dari kesaksian pesanmu
ketika bungkus dibuka, kau cepatlah melayu
sehabis dikunyah hanya selekat gigi
yang tertelan
tapi di lain meja begitu renyah nyaringmu
dipelihara dalam rentengan yang lebat
senyaring mulut berita pagimu
yang rimbun diberhalakan
2018
Kitab Ngopi
menyesap sepi
aku melambung tinggi
hitam dasar kami
memeluk dalam sunyi
bibir dan lidah
tak ngantuk menakbiri
kisah gelap para pencari
kupesan kopi biji malam hari
terlalu gelap untuk
tidak saling menyayangi dan menyuntuki
kututup sebelum matahari
terbit kembali
sebab barangkali
tak pernah ingin kutemukan janji
yang tegak dan terang justru
menipu mimpi
2018
Batik Lawas
sesampainya di deham
kain dibentang
di ujung canting
kencing kayu memawar
bau pesing pada baju anyar
memudar kembar selembar uban
luput dari warna asal
tubuhmu, kulit cokelat bau tanah
merah tua tak berkabar mekar
kecuali kematiannya
yang samar-samar melapuk
seraya terangkat
dari lekat pembaringannya
2018
Tungku Marhaban
siang di batang nyala kembang
api cinta menyebutmu
malam dalam gelembung terjerang
panas dan dingin menyambutmu
serpih debu yang tanggal di batin
air jernih darimu mengusap leher lembabku
kayu merah menyala
tak henti menyepuh hadirmu
2018
Tungku ”Hu”
Tak ada bara selain Hu
Tak ada junjung selain puncak Hu
Kayu kering digilas sepiNya
Matangkan hari di pucuk manisNya
Siklus yang memutar
Serpih debu memedihkan dasar mata
Bangun dari tidur
Ke mana jalanmu dibentang
Kembali menyala ke Hu
2018
Ebi Langkung lahir di Pasongsongan, Sumenep, Madura. Buku puisinya berjudul Siul Sapi Betina (2015).
Afri Meldam
Kaki Air
Ikan-ikan diam di palung terdalam
Kerikil hijau lumut
Bunga-bunga lili dengan kuntum merah darah
Dari rumpunnya kaki air menetes
Muara masih penuh oleh penambang
Satu dua mati dalam lubang kubang
Tak ada ikan di sana
Emas sebongkah gajah memeluk mereka
Kalibata, 2018
Mewarnai Musim Kemarau
Sebuah garis cokelat tegas tebal
Di atas tanah kuning kering
Daun-daun keriput hitam
Burung-burung kelabu yang kaku
Kau cari krayon hijau yang dicuri musim lalu
Kalibata, 2018
Ujung Jalan Setapak
Pernah kau dengar cerita celaka itu
Dari pencari manau di Lurah Sembilan
Turun ia ke anak sungai berlintah berkutu
Jalan pulang dibalut sulur rotan
Sebuah jalan berbatu
Menuju entah yang tak kau tahu
Kalibata, 2018
Rusa Betina di Pinggang Ladang
Rusa gendut merah jambu di kaki ladang
Tak takut ia menatapmu
Karena kau bukan pemburu, Bujang!
Parang majal dan anjing pemalasmu
Hanya membuatnya menoleh sedikit panjang
Lalu memakan habis pakis-pakis
Rusa keramat rusa cincin jimat
Kabut ungu embun biru
Kalibata, 2018
Menamai Titik Terakhir Hujan Putih
Angin merah dalam pelukan batu-batu
Meliuk ke ceruk Lubuk Paraku
Tempat ikan-ikan meneteskan telur jingga mereka
Menunggui derap hujan jatuh dengan jantan
Ke ujung atap hujan putih jatuh
Pertama kali dalam musim ganjil
Kita ingin menamainya sebelum luruh
Tapi ciap burung hutan mengantar gigil
Lalu semua berderap serupa langkah tergesa
Ranting-ranting patah pada batu
Hujan terakhir telah tiba
Kita menamainya sebelum kelekatu
Kalibata, 2018
Panen Kopi
Kopiahmu hitam, tapi kopi-kopi lebih serupa ceri
Biji dikotil ranum dalam kuasa semut koloni
Para pemetik kopi berceloteh tentang hari esok
Baju seragam dan kain panjang baru dengan warna seronok
Nasib tak seputih cawan tak sehitam ampas kopi
”Mari kita penuhi keranjang-keranjang ini!”
Kalibata, 2018
Afri Meldam lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas. Kini menetap di Jakarta. Hikayat Bujang Jilatang (2005) adalah buku kumpulan cerpennya.
Ebi Langkung
Pisang Susu
ajari kami memulai waktu
berpinak dan meluangkan
kebaikan sunyi yang jamak
agar malam berkumandang dalam dagingku
kami hanya kaum (muda) pengkuh yang belajar
menyesap manis dalam batangnya
bila kuning hari-hari, aku mengulum rindu dari hati
dalam kitabmu sampai hitam layu menjemput tubuhku
bertandan potongan tarekat hausku
lumatlah, sebelum aku tinggal hayat
setiap yang pergi dan mengurai dari kulit tipisku
akan terbuka kandung binar mata dahagaku
2018
Kerupuk
dalam kering suaramu
kau disamak minyak
hingga garing di atas meja itu
sebenarnya tak ada yang mampu
tertahan dari kesaksian pesanmu
ketika bungkus dibuka, kau cepatlah melayu
sehabis dikunyah hanya selekat gigi
yang tertelan
tapi di lain meja begitu renyah nyaringmu
dipelihara dalam rentengan yang lebat
senyaring mulut berita pagimu
yang rimbun diberhalakan
2018
Kitab Ngopi
menyesap sepi
aku melambung tinggi
hitam dasar kami
memeluk dalam sunyi
bibir dan lidah
tak ngantuk menakbiri
kisah gelap para pencari
kupesan kopi biji malam hari
terlalu gelap untuk
tidak saling menyayangi dan menyuntuki
kututup sebelum matahari
terbit kembali
sebab barangkali
tak pernah ingin kutemukan janji
yang tegak dan terang justru
menipu mimpi
2018
Batik Lawas
sesampainya di deham
kain dibentang
di ujung canting
kencing kayu memawar
bau pesing pada baju anyar
memudar kembar selembar uban
luput dari warna asal
tubuhmu, kulit cokelat bau tanah
merah tua tak berkabar mekar
kecuali kematiannya
yang samar-samar melapuk
seraya terangkat
dari lekat pembaringannya
2018
Tungku Marhaban
siang di batang nyala kembang
api cinta menyebutmu
malam dalam gelembung terjerang
panas dan dingin menyambutmu
serpih debu yang tanggal di batin
air jernih darimu mengusap leher lembabku
kayu merah menyala
tak henti menyepuh hadirmu
2018
Tungku ”Hu”
Tak ada bara selain Hu
Tak ada junjung selain puncak Hu
Kayu kering digilas sepiNya
Matangkan hari di pucuk manisNya
Siklus yang memutar
Serpih debu memedihkan dasar mata
Bangun dari tidur
Ke mana jalanmu dibentang
Kembali menyala ke Hu
2018
Ebi Langkung lahir di Pasongsongan, Sumenep, Madura. Buku puisinya berjudul Siul Sapi Betina (2015).
Komentar
Posting Komentar