Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
3 Maret 2018
Pengantar Terakhir Burung Layang-layang
– untuk Reda dan Jubing
Dari lintang kabel –
garis paranada itu,
seayunan sayap burung layang-layang
telah digenggam angin.
Pesawat kertas lepas
dari tangan masa kecil,
derit papan ayun di taman bermain
tinggal sepoi napas irama.
Dari jendela masa tuamu
memori menerbangkan
sekawan burung layang-layang
pada biola tengah dibelai
tangan-busur yang lirih
mengiring rinai senar gitar
dipetik bagai kereta pengantar terakhir
dari pelantun yang getir
mengalunkan rindu
bagimu tak lain hanya
bayang-bayang sayap di lantai cahaya
panggung ingatan itu.
Sejenak tersadar
kedua telapak tangan
tersingkap di wajah – kau telah abadi
disembunyikan waktu.
2017
Kupilih dua motif bagi dukamu
hakikat abu dari puja api
dan mendung sebentar tadi.
Sekuntum gua dalam batinmu
tangkai-rutenya dari kaki bukit
kususur sehelai benang
pikiran di dahi jarum sulam.
Masuk relung ingatanmu
latar dinding penuh relief
makna segenap sabda Laozi
bisa percik air disentuh sifat batu
atau hasrat elang pulang ke sarang.
Antara kelam dan jernih
nyata terasa saat senyum
menemukan terang.
Di luar bungkus kata
transmutasi
tercetus kupu-kupu
menafsirmu.
Atau cuma seulas tebing
pada sekitar latar kasa ini
bagi kau selepas tertawa
bagai dalam prinsip Dao
kepak sayap bangau
tengah mengelana.
2017
Nermi Silaban lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 17 Juli 1987. Buku puisinya bertajuk Bekal Kunjungan (2017).
Boy Riza Utama
Catatan Justus
Barangkali Justus akan mencatat
Menit awal dari eksekusi terakhir
Di Stadhuisplein itu begini,
”Apa yang tak terekam oleh mata, tapi
Tercatat oleh tinta adalah maut yang
Bertengger dua hasta dari batang leher.”
Justus kembali menarik pena, serupa busur,
Hingga dawat merebak di jantung kertasnya,
”Puluhan, bahkan, ratusan, tatapan
Milik para perempuan lintas ras yang
Belum sempat dikencani, tiba-tiba
Memberi makna bagi segunung sepi.”
Lantas, Justus menambahkan lagi begini,
”Mata yang sakit di kepala-kepala itu
Telah membunuhnya lebih dulu
Sebelum pisau melayari tubuh
Dan tali gantungan keparat itu
Menyeret jiwanya ke langit jauh.”
Namun, sembari ia selesaikan catatannya
Kita bayangkan Justus bergumam,
”Maafkan aku, Impeh, karena kadang
Asmara bikin kita punya lagak
Jadi sedikit aneh – dan nyeleneh.”
Meski begitu, Justus tentu tak mencatat itu
Semua, kecuali semata khayalannya sehingga
Kisah ini diterakannya buat kita semua,
”Seorang Totok mati-bonyok, sama
Itu mata perempuan habis dikeroyok.”
Mata pena Justus berkilat, seperti ujung bayonet
Dan sebuah sejarah menyembur begitu deras,
”Tjoe Boen Tjiang, 1896,
Kena pasal Bataviasche Ordonnanties
Lantaran tak ada aturan soal cinta dan asmara
Maka kita doa biar dia damai – damai di ’sana’.”
Hatta, agar kisah itu dikenang kembali, Justus
Menyisipkan alusi yang akrab di kuping kompeni,
”Yesus disalib karena dianggap membangkang
Tapi langit menerjemahkannya sebagai cinta
Yang tak lekang – aku tak tahu soal lelaki ini
Karena mungkin dia sedikit berbeda, barangkali.”
Di penghabisan dawat, Justus teringat
Di Holland, hukuman mati tak sebanyak di sini
Akan tetapi, apa yang bisa ia lakukan di negeri
Yang bahkan belum terhapus dari peta buta
Kerajaan-kejayaan negerinya, dari mabuk kuasa
Berkepanjangan keturunan Willem nun jauh di sana?
Kini, kita bayangkan Justus diam-diam menepikan
Catatan itu seraya bertanya sekaligus berdoa,
”Tuhan, apa kami tak seharusnya di sini?
Tuhan, apa kami juga akan diadili oleh
Puak tungau-pencuri ini, suatu hari?”
2017
Cekikik Sijundai sudah lama usai
Angin Sianok, lambung besar
Yang terluka, ke mari sampai
Di sini, nama Merkus
Lenyap dalam kobar api mendengus
Seakan-akan kompeni, si tuan gila,
Memantik lagi berahinya, seperih
Serdadu Jepang melecut romusha
”Di mana tanah rengkah
Yang mengubur jorong-jorong
Leluhurmu?” seseorang bertanya
Dalam Melayu
”Coba lihat siapa yang pulang, Wilhelmina –
Bujang galu-galu yang menampik cintamu!”
2017
Pacu Jalur Rantau Kuantan
Marie, saat bodial menjerit
Menjalarkan suara sampai
Ke urat air, kau akan lihat
Berpuluh jalur yang dikayuh
Waktu mengucur serupa peluh
Di antaranya: kita, terjebak teluh
Lantas, temukanlah di sana
Kipas nyonya yang terkembang,
Lebar, bagai layar kapal dagang
Milik maskapai leluhur yang hilang
Tapi tak lagi terpahat ukiran naga
Dan kepala ular atau roman harimau
Juga rupa-rupa buaya di mana-mana
Selain sebentuk gurat Wilhelmina
Turun manja, serupa langsai senja
Lantas, saat bodial menjerit kembali,
Juru mudi segera menyibak duka ini:
Di situ, datuk dulu memintas jalan
Mencari mentika para bangsawan
Cinta yang bukan lagi pampasan
Sedangkan di antara itu semua:
Jembatan patah, selebihnya arus
Berupaya membangkitkan ritus
Meninggikan kor ”Wilhelmus”
Tak akan ada hantu air dan romusha
Juga kereta terakhir bertapal duka
Kecuali masa lalu lepas dari junjung
Di punggung sungai terapung-apung
Tepat saat itu, kau tahu,
Tempik riang hilang sudah
Pada sunyi gulang-gulang
Di sungai yang piatu
Tanpa leluhurmu
2017
Potret Malam di Kota Tua, Jakarta
Turis-turis lokal bicara
Dengan logat serupa
Dan sejumlah gepeng
Menyuntuki purnama
Tempat ini seolah tak memberi makna
Kecuali ingatan soal kota masa kecilmu
Museum berbaris bagai serdadu yang
Menggorok leher para moyangku
Seperti lapak-lapak aksesori, gadis Shisha
Seolah juga bagian dari sejarah Belanda
Periksa merah gincu mereka, seperti darah
Kebuasan tumbuh seiring usia penindasan
Lalu dikarang indah sebagai kemerdekaan
Terpal-terpal membentang sepanjang
Trotoar dan bahu jalan semuram mural
Perjuangan dan seragam jagal Banda
Tak ada lagi roman Gubernur Jenderal
Dia mangkat, tapi hidup dalam khayal
Demi turis-turis lokal berlogat
Serupa yang membuat Fatahillah
Tersedak dalam tidur panjangnya
Tempat ini memang tak memberi
Apa pun kecuali tembok hitam
Luas bergrafiti masa silam, dan
Jauh sebelum kamu tiba
Lukisan sejumlah gepeng
Menyuntuki purnama
Sudah ada di sana
2017
Sipisang
Mooi Indie biarlah Mooi Indie
Meski di Sipisang, pernah
Orang-orang merah membangun
Gorong-gorong ke Utara
Mengampang sungai sejarah
Berharap revolusi
Belum akan selesai
Mooi Indie biarlah Mooi Indie
60 tahun kemudian cicit tiba
Mencari batang perawas tua
Dengan makam di bawahnya
Menemu tulang campur debu
Sambil berharap revolusi
Memang sudah tak ada lagi
Mooi Indie biarlah Mooi Indie
2017
Boy Riza Utama lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Mei 1993. Ia bergiat di Komunitas Paragraf, Pekanbaru.
Nermi Silaban
Pengantar Terakhir Burung Layang-layang
– untuk Reda dan Jubing
Dari lintang kabel –
garis paranada itu,
seayunan sayap burung layang-layang
telah digenggam angin.
Pesawat kertas lepas
dari tangan masa kecil,
derit papan ayun di taman bermain
tinggal sepoi napas irama.
Dari jendela masa tuamu
memori menerbangkan
sekawan burung layang-layang
pada biola tengah dibelai
tangan-busur yang lirih
mengiring rinai senar gitar
dipetik bagai kereta pengantar terakhir
dari pelantun yang getir
mengalunkan rindu
bagimu tak lain hanya
bayang-bayang sayap di lantai cahaya
panggung ingatan itu.
Sejenak tersadar
kedua telapak tangan
tersingkap di wajah – kau telah abadi
disembunyikan waktu.
2017
Menyulam Jejak Zhang Sanfeng
hakikat abu dari puja api
dan mendung sebentar tadi.
Sekuntum gua dalam batinmu
tangkai-rutenya dari kaki bukit
kususur sehelai benang
pikiran di dahi jarum sulam.
Masuk relung ingatanmu
latar dinding penuh relief
makna segenap sabda Laozi
bisa percik air disentuh sifat batu
atau hasrat elang pulang ke sarang.
Antara kelam dan jernih
nyata terasa saat senyum
menemukan terang.
Di luar bungkus kata
transmutasi
tercetus kupu-kupu
menafsirmu.
Atau cuma seulas tebing
pada sekitar latar kasa ini
bagi kau selepas tertawa
bagai dalam prinsip Dao
kepak sayap bangau
tengah mengelana.
2017
Nermi Silaban lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 17 Juli 1987. Buku puisinya bertajuk Bekal Kunjungan (2017).
Boy Riza Utama
Catatan Justus
Barangkali Justus akan mencatat
Menit awal dari eksekusi terakhir
Di Stadhuisplein itu begini,
”Apa yang tak terekam oleh mata, tapi
Tercatat oleh tinta adalah maut yang
Bertengger dua hasta dari batang leher.”
Justus kembali menarik pena, serupa busur,
Hingga dawat merebak di jantung kertasnya,
”Puluhan, bahkan, ratusan, tatapan
Milik para perempuan lintas ras yang
Belum sempat dikencani, tiba-tiba
Memberi makna bagi segunung sepi.”
Lantas, Justus menambahkan lagi begini,
”Mata yang sakit di kepala-kepala itu
Telah membunuhnya lebih dulu
Sebelum pisau melayari tubuh
Dan tali gantungan keparat itu
Menyeret jiwanya ke langit jauh.”
Namun, sembari ia selesaikan catatannya
Kita bayangkan Justus bergumam,
”Maafkan aku, Impeh, karena kadang
Asmara bikin kita punya lagak
Jadi sedikit aneh – dan nyeleneh.”
Meski begitu, Justus tentu tak mencatat itu
Semua, kecuali semata khayalannya sehingga
Kisah ini diterakannya buat kita semua,
”Seorang Totok mati-bonyok, sama
Itu mata perempuan habis dikeroyok.”
Mata pena Justus berkilat, seperti ujung bayonet
Dan sebuah sejarah menyembur begitu deras,
”Tjoe Boen Tjiang, 1896,
Kena pasal Bataviasche Ordonnanties
Lantaran tak ada aturan soal cinta dan asmara
Maka kita doa biar dia damai – damai di ’sana’.”
Hatta, agar kisah itu dikenang kembali, Justus
Menyisipkan alusi yang akrab di kuping kompeni,
”Yesus disalib karena dianggap membangkang
Tapi langit menerjemahkannya sebagai cinta
Yang tak lekang – aku tak tahu soal lelaki ini
Karena mungkin dia sedikit berbeda, barangkali.”
Di penghabisan dawat, Justus teringat
Di Holland, hukuman mati tak sebanyak di sini
Akan tetapi, apa yang bisa ia lakukan di negeri
Yang bahkan belum terhapus dari peta buta
Kerajaan-kejayaan negerinya, dari mabuk kuasa
Berkepanjangan keturunan Willem nun jauh di sana?
Kini, kita bayangkan Justus diam-diam menepikan
Catatan itu seraya bertanya sekaligus berdoa,
”Tuhan, apa kami tak seharusnya di sini?
Tuhan, apa kami juga akan diadili oleh
Puak tungau-pencuri ini, suatu hari?”
2017
Dalam Loods
Ke pusat tubuhmu, Loih Galuang
Hantu Aru-aru mengembalikankuCekikik Sijundai sudah lama usai
Angin Sianok, lambung besar
Yang terluka, ke mari sampai
Di sini, nama Merkus
Lenyap dalam kobar api mendengus
Seakan-akan kompeni, si tuan gila,
Memantik lagi berahinya, seperih
Serdadu Jepang melecut romusha
”Di mana tanah rengkah
Yang mengubur jorong-jorong
Leluhurmu?” seseorang bertanya
Dalam Melayu
”Coba lihat siapa yang pulang, Wilhelmina –
Bujang galu-galu yang menampik cintamu!”
2017
Pacu Jalur Rantau Kuantan
Marie, saat bodial menjerit
Menjalarkan suara sampai
Ke urat air, kau akan lihat
Berpuluh jalur yang dikayuh
Waktu mengucur serupa peluh
Di antaranya: kita, terjebak teluh
Lantas, temukanlah di sana
Kipas nyonya yang terkembang,
Lebar, bagai layar kapal dagang
Milik maskapai leluhur yang hilang
Tapi tak lagi terpahat ukiran naga
Dan kepala ular atau roman harimau
Juga rupa-rupa buaya di mana-mana
Selain sebentuk gurat Wilhelmina
Turun manja, serupa langsai senja
Lantas, saat bodial menjerit kembali,
Juru mudi segera menyibak duka ini:
Di situ, datuk dulu memintas jalan
Mencari mentika para bangsawan
Cinta yang bukan lagi pampasan
Sedangkan di antara itu semua:
Jembatan patah, selebihnya arus
Berupaya membangkitkan ritus
Meninggikan kor ”Wilhelmus”
Tak akan ada hantu air dan romusha
Juga kereta terakhir bertapal duka
Kecuali masa lalu lepas dari junjung
Di punggung sungai terapung-apung
Tepat saat itu, kau tahu,
Tempik riang hilang sudah
Pada sunyi gulang-gulang
Di sungai yang piatu
Tanpa leluhurmu
2017
Potret Malam di Kota Tua, Jakarta
Turis-turis lokal bicara
Dengan logat serupa
Dan sejumlah gepeng
Menyuntuki purnama
Tempat ini seolah tak memberi makna
Kecuali ingatan soal kota masa kecilmu
Museum berbaris bagai serdadu yang
Menggorok leher para moyangku
Seperti lapak-lapak aksesori, gadis Shisha
Seolah juga bagian dari sejarah Belanda
Periksa merah gincu mereka, seperti darah
Kebuasan tumbuh seiring usia penindasan
Lalu dikarang indah sebagai kemerdekaan
Terpal-terpal membentang sepanjang
Trotoar dan bahu jalan semuram mural
Perjuangan dan seragam jagal Banda
Tak ada lagi roman Gubernur Jenderal
Dia mangkat, tapi hidup dalam khayal
Demi turis-turis lokal berlogat
Serupa yang membuat Fatahillah
Tersedak dalam tidur panjangnya
Tempat ini memang tak memberi
Apa pun kecuali tembok hitam
Luas bergrafiti masa silam, dan
Jauh sebelum kamu tiba
Lukisan sejumlah gepeng
Menyuntuki purnama
Sudah ada di sana
2017
Sipisang
Mooi Indie biarlah Mooi Indie
Meski di Sipisang, pernah
Orang-orang merah membangun
Gorong-gorong ke Utara
Mengampang sungai sejarah
Berharap revolusi
Belum akan selesai
Mooi Indie biarlah Mooi Indie
60 tahun kemudian cicit tiba
Mencari batang perawas tua
Dengan makam di bawahnya
Menemu tulang campur debu
Sambil berharap revolusi
Memang sudah tak ada lagi
Mooi Indie biarlah Mooi Indie
2017
Boy Riza Utama lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Mei 1993. Ia bergiat di Komunitas Paragraf, Pekanbaru.
Komentar
Posting Komentar