Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
10 Maret 2018
Hasan Aspahani
Aku Peta Tak Jadi
AKU peta tak jadi
terobek
pertarungan
monster dan hantu-hantu
yang aku
dan yang bukan diriku
Tak ada waktu melipat lembar waktu
Perjalanan dekat ini
musti lekas kuselesaikan
sampai batas yang
tak bisa kutuntaskan
Aku peta tak jadi
menggali sendiri lubang dalam dan besar
untuk makam bersama kami: aku
dan apa yang telah lama mati dalam diriku
Aku peta tak jadi
tercerai-berai oleh kuku-kuku
makhluk liar yang tak bisa menunggangiku
Dengan sesobek peta itu
mereka nanti sampai ke kuburku
tumpukan buku yang menulis sendiri
yang tak pernah selesai mereka baca
seribu halaman sudah
seribu halaman lagi
buku yang melahirkan waktu
dari peta yang tak jadi
yang tak henti
memetakan
aku.
Tentang Banyak Saat dan Aku Salah
SAAT marah dan saat menerima
saat pergi dan saat mengubah pikiran
saat melilitkan selendang dan saat memasang sepatu
saat menghapus gincu dan mencuci tangan
saat menyimpan cincin dan memandangi kulit jari yang memucat
saat mengenali bayangan dan melupakan bara cerutumu
saat menahan cemas dan aku menyebut namamu lagi
saat kuingat bau tubuhmu dan kulupakan bau tubuhku
saat kujilati es krim Italia dan kau menulis sesuatu
saat menonton propaganda Jepang dan kau menceritakan mimpimu
saat kau lapar dan aku tak punya apa-apa
saat gerimis yang cepat di luar dan hujan yang kelam di kamar
saat kubaca lagi sajakmu dan mengingat kau membaca sajakmu
saat aku menghilang dan terjebak di dalam puisimu
saat kau tiada lagi dan dalam diriku ada yang akan lama mengada
saat aku berpikir semua telah selesai
dan aku salah.
Maka Aku Mendakwamu
MAKA aku mendakwamu
sebagai orang asing yang keras bekerja
menerjemahkan keasinganmu sendiri
Kau tak sekuat itu!
Aku tahu sebab aku menanggung keasingan
yang sama denganmu (apa yang tak akan bisa
membuat kita jalan sama jalan)
Kita, dua orang asing yang bertemu
tapi tak saling menemukan
Kantor yang sesak dengan gagasan besar
kau hanya singgah untuk dua-tiga batang sigaret
dan beberapa judul buku yang hendak kau
pamerkan kepadaku – lalu kita mempertengkarkan
kata-kata yang tak memahami kita
Hidup adalah perburuan
menciptakan hewan liar dari diri kita sendiri
mengumpulkan jejak darah: kata demi kata
yang tak pernah cukup untuk menjelasan kepada mereka
tentang siapa kita
Tapi siapa yang peduli?
Kita, dua orang asing berselisih bahasa
tersisih dari jalan-jalan kota
berjumpa maut yang mengimla
dengan senyumnya yang menyebalkan itu
Karena Pernah Kutertawakan Diriku Sendiri
AKU akan menangis karena tak bisa menangis lagi
Aku menangis tapi ini bagiku bukan lagi tangisan
Aku mau habiskan tangis dan tak mau lagi menangis
Aku menangis juga untuk tangis yang kau rahasiakan
dalam sajak-sajakmu, segala yang lahir tanpa bidan,
impian-impian yang menjanin dan menembuni sendiri
Aku masih menangis karena dunia salah ‘nertawakanmu
Aku menangis karena pernah kutertawakan diriku sendiri
karena tak mengerti apa yang dulu kau tangiskan itu
Jika Kau Kutinggalkan
KUTERIMA cinta ini
dengan bangga dan sesal (sebagai bonusnya)
apa yang kubayangkan
bisa terselenggara
dengan sederhana
ternyata sedemikian rumitnya
Aku mencintai engkau, itu tentu
dan engkau mencintai aku
Pada kalender di dinding kamar kita
tak ada tanggal merah atau juga hari Minggu
bagi pertengkaran yang buntu
yang mempersoalkan hanya
soal itu
ke perkara itu
Di jalan depan pintu paviliun
yang tak pernah sampai jadi milik kita
becak menunggu
kau yang tenggelam
dalam buku
dan tinggi tumpukan kayu
sajak yang belum
kau beri api itu
Kuterima cinta ini
dulu sebagai pintu yang mulai terbuka
untuk memahami dugaan-dugaanmu
pertanyaan-pertanyaanmu
keyakinan-keyakinanmu
juga ketakutan-ketakutanmu
tapi hanya sekilas cahaya
yang bisa kukais
dari kelam malammu
dan aku tak sekuat itu
aku tersiksa
melihat kau terluka
oleh ketaklaziman kau yang memilih jalan
dan aku tak bisa bertahan lebih lama
Jika kau kutinggalkan
itu karena aku ingin
dalam diriku ada yang tersisa dari kita
yang tak akan pernah bisa bertahan
jika kita terus bersama
Transaksi yang Tak Pernah Terjadi
KITA bertukar-curiga
(tapi tidak cinta)
membenturkan filsafat dan pendapat
apa yang bisa diperas
dan menetes
dari rimbunan rumpun
timur dan barat,
tapi tak menemukan cinta.
Kita adalah kalimat panjang
yang ditulis terburu-buru
Lembar naskah kosong kita pandang
apa yang bisa mengabadi di situ
Dan… (puisi adalah kemewahan asing
yang ditulis dalam tanda kurung)
Kita adalah penonton bioskop
datang dengan pakaian necis dan pikiran perlente
mencari konsep tentang bangsa menjadi
dari cerita dan propaganda
mempersoalkan agama dan dogma
(tapi tidak cinta)
Kita mengadu-harga,
dua pedagang yang ingin saling membeli
dengan harga yang paling tinggi
tak pernah menyadari
betapa terlambatnya
transaksi yang tak pernah terjadi.
Kecemasan-kecemasan yang Berguguran
KAMI melihat adegan-adegan berlompatan mengepung tubuhnya
mengantarkan cerita-cerita dari nama dan zaman yang gelisah
tentang aroma mesiu di udara kota, jam malam, serangan udara,
lubang-lubang perlindungan, anjing lapar dan kuda liar, yang
mungkin lari dari sebuah pertempuran, setelah sebuah pasukan
dihancurkan, bom dijatuhkan, peluk tangis perempuan dilepaskan
*
Kami mendengar pernyataan-pernyataan dipernyatakan dari mulutnya
menebalkan kata-kata keras, bualan-bualan besar, caci maki bagi
kepengecutannya sendiri, juga keberanian menghantam kebutaan
dinding waktu, membayangkan lubang menganga di situ, dan dia masuk
berlari dikejar segerombolan tahun yang membawakannya mati
Kami menunggu kecemasan-kecemasan berguguran dari jam matanya.
Hasan Aspahani lahir 1971 di Sei Raden, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ia menulis buku biografi Chairil (2016) yang kemudian dipentaskan oleh Titimangsa Foundation dalam lakon Perempuan-perempuan Chairil (2017). Sajak-sajak ini adalah sejumlah rekaman kesan yang didapatnya selama latihan dan pementasan lakon tersebut.
Hasan Aspahani
Aku Peta Tak Jadi
AKU peta tak jadi
terobek
pertarungan
monster dan hantu-hantu
yang aku
dan yang bukan diriku
Tak ada waktu melipat lembar waktu
Perjalanan dekat ini
musti lekas kuselesaikan
sampai batas yang
tak bisa kutuntaskan
Aku peta tak jadi
menggali sendiri lubang dalam dan besar
untuk makam bersama kami: aku
dan apa yang telah lama mati dalam diriku
Aku peta tak jadi
tercerai-berai oleh kuku-kuku
makhluk liar yang tak bisa menunggangiku
Dengan sesobek peta itu
mereka nanti sampai ke kuburku
tumpukan buku yang menulis sendiri
yang tak pernah selesai mereka baca
seribu halaman sudah
seribu halaman lagi
buku yang melahirkan waktu
dari peta yang tak jadi
yang tak henti
memetakan
aku.
Tentang Banyak Saat dan Aku Salah
SAAT marah dan saat menerima
saat pergi dan saat mengubah pikiran
saat melilitkan selendang dan saat memasang sepatu
saat menghapus gincu dan mencuci tangan
saat menyimpan cincin dan memandangi kulit jari yang memucat
saat mengenali bayangan dan melupakan bara cerutumu
saat menahan cemas dan aku menyebut namamu lagi
saat kuingat bau tubuhmu dan kulupakan bau tubuhku
saat kujilati es krim Italia dan kau menulis sesuatu
saat menonton propaganda Jepang dan kau menceritakan mimpimu
saat kau lapar dan aku tak punya apa-apa
saat gerimis yang cepat di luar dan hujan yang kelam di kamar
saat kubaca lagi sajakmu dan mengingat kau membaca sajakmu
saat aku menghilang dan terjebak di dalam puisimu
saat kau tiada lagi dan dalam diriku ada yang akan lama mengada
saat aku berpikir semua telah selesai
dan aku salah.
Maka Aku Mendakwamu
MAKA aku mendakwamu
sebagai orang asing yang keras bekerja
menerjemahkan keasinganmu sendiri
Kau tak sekuat itu!
Aku tahu sebab aku menanggung keasingan
yang sama denganmu (apa yang tak akan bisa
membuat kita jalan sama jalan)
Kita, dua orang asing yang bertemu
tapi tak saling menemukan
Kantor yang sesak dengan gagasan besar
kau hanya singgah untuk dua-tiga batang sigaret
dan beberapa judul buku yang hendak kau
pamerkan kepadaku – lalu kita mempertengkarkan
kata-kata yang tak memahami kita
Hidup adalah perburuan
menciptakan hewan liar dari diri kita sendiri
mengumpulkan jejak darah: kata demi kata
yang tak pernah cukup untuk menjelasan kepada mereka
tentang siapa kita
Tapi siapa yang peduli?
Kita, dua orang asing berselisih bahasa
tersisih dari jalan-jalan kota
berjumpa maut yang mengimla
dengan senyumnya yang menyebalkan itu
Karena Pernah Kutertawakan Diriku Sendiri
AKU akan menangis karena tak bisa menangis lagi
Aku menangis tapi ini bagiku bukan lagi tangisan
Aku mau habiskan tangis dan tak mau lagi menangis
Aku menangis juga untuk tangis yang kau rahasiakan
dalam sajak-sajakmu, segala yang lahir tanpa bidan,
impian-impian yang menjanin dan menembuni sendiri
Aku masih menangis karena dunia salah ‘nertawakanmu
Aku menangis karena pernah kutertawakan diriku sendiri
karena tak mengerti apa yang dulu kau tangiskan itu
Jika Kau Kutinggalkan
KUTERIMA cinta ini
dengan bangga dan sesal (sebagai bonusnya)
apa yang kubayangkan
bisa terselenggara
dengan sederhana
ternyata sedemikian rumitnya
Aku mencintai engkau, itu tentu
dan engkau mencintai aku
Pada kalender di dinding kamar kita
tak ada tanggal merah atau juga hari Minggu
bagi pertengkaran yang buntu
yang mempersoalkan hanya
soal itu
ke perkara itu
Di jalan depan pintu paviliun
yang tak pernah sampai jadi milik kita
becak menunggu
kau yang tenggelam
dalam buku
dan tinggi tumpukan kayu
sajak yang belum
kau beri api itu
Kuterima cinta ini
dulu sebagai pintu yang mulai terbuka
untuk memahami dugaan-dugaanmu
pertanyaan-pertanyaanmu
keyakinan-keyakinanmu
juga ketakutan-ketakutanmu
tapi hanya sekilas cahaya
yang bisa kukais
dari kelam malammu
dan aku tak sekuat itu
aku tersiksa
melihat kau terluka
oleh ketaklaziman kau yang memilih jalan
dan aku tak bisa bertahan lebih lama
Jika kau kutinggalkan
itu karena aku ingin
dalam diriku ada yang tersisa dari kita
yang tak akan pernah bisa bertahan
jika kita terus bersama
Transaksi yang Tak Pernah Terjadi
KITA bertukar-curiga
(tapi tidak cinta)
membenturkan filsafat dan pendapat
apa yang bisa diperas
dan menetes
dari rimbunan rumpun
timur dan barat,
tapi tak menemukan cinta.
Kita adalah kalimat panjang
yang ditulis terburu-buru
Lembar naskah kosong kita pandang
apa yang bisa mengabadi di situ
Dan… (puisi adalah kemewahan asing
yang ditulis dalam tanda kurung)
Kita adalah penonton bioskop
datang dengan pakaian necis dan pikiran perlente
mencari konsep tentang bangsa menjadi
dari cerita dan propaganda
mempersoalkan agama dan dogma
(tapi tidak cinta)
Kita mengadu-harga,
dua pedagang yang ingin saling membeli
dengan harga yang paling tinggi
tak pernah menyadari
betapa terlambatnya
transaksi yang tak pernah terjadi.
Kecemasan-kecemasan yang Berguguran
KAMI melihat adegan-adegan berlompatan mengepung tubuhnya
mengantarkan cerita-cerita dari nama dan zaman yang gelisah
tentang aroma mesiu di udara kota, jam malam, serangan udara,
lubang-lubang perlindungan, anjing lapar dan kuda liar, yang
mungkin lari dari sebuah pertempuran, setelah sebuah pasukan
dihancurkan, bom dijatuhkan, peluk tangis perempuan dilepaskan
*
Kami mendengar pernyataan-pernyataan dipernyatakan dari mulutnya
menebalkan kata-kata keras, bualan-bualan besar, caci maki bagi
kepengecutannya sendiri, juga keberanian menghantam kebutaan
dinding waktu, membayangkan lubang menganga di situ, dan dia masuk
berlari dikejar segerombolan tahun yang membawakannya mati
Kami menunggu kecemasan-kecemasan berguguran dari jam matanya.
Hasan Aspahani lahir 1971 di Sei Raden, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ia menulis buku biografi Chairil (2016) yang kemudian dipentaskan oleh Titimangsa Foundation dalam lakon Perempuan-perempuan Chairil (2017). Sajak-sajak ini adalah sejumlah rekaman kesan yang didapatnya selama latihan dan pementasan lakon tersebut.
Komentar
Posting Komentar