Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
6 Januari 2018
WAYAN JENGKI SUNARTA
Setrika Arang
ayam jago itu masih bertengger di situ
menunggu tanganmu memasukkan bara
hidup membosankan dimulai
mondar-mandir dari pakaian satu ke pakaian lain
dari kenangan satu ke kenangan lain
mungkin suatu waktu
tanganmu akan berhenti
pada lipatan saku baju
memeriksa rahasia
yang sembunyi
di ujung setrika arang
yang setia hanya ayam jago
begitu sabar menunggu tanganmu
ia berkukuruyuk dari masa lalu
berharap dunia tidak sekelam
abu dalam setrika
2017
Kamera
tak ada yang lebih indah
selain matamu, kamera
gambar-gambar tak kukenal
membentang bagai fatamorgana
pohon-pohon bercahaya
seakan dilahirkan matahari pagi
seorang bocah duduk
di atas bongkah batu
menatap sungai
yang mengalir ke dalam dirinya
aku tak mengenali mataku lagi
semua muncul begitu saja
serupa bayang-bayang
di penghabisan siang
tak ada yang lebih indah
selain matamu, kamera
kucipta gambar dari kelam
agar mereka paham
apa yang semayam
di kedalaman jiwa
2017
Mesin Tik
mesin tik karatan bergumam:
sungguh letih menjadi tua
jari-jari gemetar, suara parau,
napas tersengal
seperti mesin tik lainnya
ia mengenang suatu masa
puisi-puisi lahir seirama
nyanyian tombol-tombol huruf
surat-surat pun bertaburan
dari negeri-negeri jauh
kini, ia hanya membisu dan makin renta
tak ada lagi mata kagum melihatnya
tak ada tangan rindu menyentuhnya
ia tahu sebentar lagi tuan rumah
membawanya ke tukang loak
berkumpul bersama besi-besi tua lainnya
menatap hampa pada atap seng gudang kumuh
berhimpitan dengan sepi dan dingin malam
tentu ia telah siap dilebur dalam tungku api
lahir kembali menjadi bentuk berbeda
tapi, hanya satu pintanya:
tak ingin menjadi mesin tik lagi
2017
Telepon
kuangkat gagang telepon
”hallo, ini siapa?”
tak ada suara di seberang
jam dinding berdetak lambat
gerimis bernyanyi lirih
bersama daun-daun
”hallo, hallo…”
tak ada suara menyahut
kutaruh gagang telepon
dingin malam membekas
di meja kayu
telepon kembali berdering
”halloo, siapa di sana?”
tak ada suara. hening
malam sedingin pualam
gagang telepon menempel di kupingku
berdebar aku menunggu suara di seberang
hanya gemerisik angin terdengar
2017
Jam Dinding
sebelum malam usai
dalam halusinasi
jantung jam dinding itu
berdetik berkali-kali
ia tahu kau akan pergi
ketika kau buka pintu
dan melangkah ke beranda
mata jam dinding itu
menatap lekat tengkukmu
ia mengasihi denyut nadimu
terdengar bunyi pagar dikunci
mendadak jam dinding itu
berhenti menghitung waktu
yang meleleh di lantai
tak jadi pergi
kau termangu
menatap jam dinding
berdetik-detik seirama
debar hatimu
2017
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Di antara sejumlah kumpulan puisinya adalah Pekarangan Tubuhku (2010) dan Montase (2016). Ia tinggal di kota kelahirannya.
A MUTTAQIN
Nasi Goreng untuk Abban
Minyak dan telur adalah saudara seiman. Mereka saling memandang
dengan cinta yang cepat matang, tak gampang iri pada teri dan kentang.
Sosis dan udang adalah saudara seperjuangan. Sosis meminjam gurih
dari udang sementara si udang meminjam kulit sosis agar kau tenang.
Nasi dan piring adalah saudara sejalan. Nasi melipur piring agar tidak
terbang. Piring menampung kerumunan nasi agar tentram terpahamkan.
Lapar dan lahap adalah saudara sekamar. Lapar meminta lahap agar
makan pelan-pelan. Lahap meminta lapar agar sabar menunda kenyang.
(2017)
Tasawuf Buta Huruf
membaca kitab Raja Ali Haji
Ha, hamba berlindung dari duri yang membuat si mawar dimungkiri
Na, nasihat adalah ulat yang membuat daun cacat dan burung terjerat
Ca, camar dan mawar bertukar lapar di kiri candi, o duri, jadilah saksi
Ra, rawat ranting ini, supaya si kaki pandai mencari sulur sumber diri
Ka, kalaulah kau tak percaya dengan jalan tafsir-gathuk-matuk begini
Da, datangi orang alim untuk belajar kumur atau sekadar tali tawasul
Ta, tawasul adalah taat yang memberkati dua utusan dalam carakan ini
Sa, sahih tidak sahih tentu bukan tujuan inti bagi si pencari jalan sejati
Wa, walau La kuteruskan dengan tafsir dan tadabur dari kitab-kitab suwur
Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga-ku tak bisa melipur semua jumhur.
(2017)
Moto Seorang Santri saat Bertandang ke Warung Kopi
Kopi adalah kopiah yang debunya menyala menyigi malam dan mimpi.
Rokok adalah ruh yang disesap harap supaya sepi murup dan meragi.
(2017)
Perjuangan Mencintai Pagi Hari
05:30. Anakku berjuang membuka mata. Aku berjibaku melepas mimpi.
Istriku menggoreng kantuk hingga kriuk. Mertuaku merenungi gelap kopi.
06:30. Anakku berperang di kamar mandi. Istriku mengaduk tuwung sepi.
Aku memeluk kantuk. Mertuaku membungkuk, membujuk kicau manuk.
07:00. Handuk mengelap kantukku. Salam teruluk dari manuk mertuaku.
Kulempar dadar agar si manuk diam. Anakku geram digenggam seragam.
07:30. Istriku dikejar kerja. Mertuaku siap istighasah. Kugandeng anakku ke
madrasah: ”Aku mau jadi sapi perah!” katanya, sambil nyesap susu kotaknya.
(2017)
Drama Satu Babak
Panggung dibuka. Seorang lelaki bungkring menunggang kuda kayu.
Seorang perempuan gendut menunggang sapu. Keduanya berputar tiga kali.
”Apa yang kaucari Sinuhun, ke latu permaisurimu telah terjun?”
”Aku mencari panas pada api. Aku mencari alun pada unggun!”
Perempuan itu menghentikan sapunya, membuka kembennya, lalu melepas
jariknya. Lelaki itu melonjak-lonjak seolah kuda kayunya memberontak.
”Mendekatlah, wahai Sinuhun. Panas telah kuringkas ke puncak pahaku.
Unggun telah kutuntun ke dadaku. Mendekatlah, Sinuhunku yang pikun.”
Lelaki itu membuang kuda kayunya, membuang pakaiannya. Kedua
tangannya ia rentangkan lalu berputar dan menari ia seperti sufi pemula.
”Sesaplah unggunku Sinuhun, supaya kau tangkas melibas sisa sunyi.
Jilati panasku Sinuhun, supaya kau lepas dari letih dan kelatahan ini.”
Lelaki itu mendekat. Panggung murup redup. Seorang perempuan pemirsa
membekap mata anaknya. Dua muda-mudi berkecap-kecup. Layar ditutup.
(2017)
A Muttaqin lahir di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Buku puisinya adalah Pembuangan Phoenix (2010), Tetralogi Kerucut (2014), dan Tarekat Lembu (2016). Ia tinggal di Surabaya.
WAYAN JENGKI SUNARTA
Setrika Arang
ayam jago itu masih bertengger di situ
menunggu tanganmu memasukkan bara
hidup membosankan dimulai
mondar-mandir dari pakaian satu ke pakaian lain
dari kenangan satu ke kenangan lain
mungkin suatu waktu
tanganmu akan berhenti
pada lipatan saku baju
memeriksa rahasia
yang sembunyi
di ujung setrika arang
yang setia hanya ayam jago
begitu sabar menunggu tanganmu
ia berkukuruyuk dari masa lalu
berharap dunia tidak sekelam
abu dalam setrika
2017
Kamera
tak ada yang lebih indah
selain matamu, kamera
gambar-gambar tak kukenal
membentang bagai fatamorgana
pohon-pohon bercahaya
seakan dilahirkan matahari pagi
seorang bocah duduk
di atas bongkah batu
menatap sungai
yang mengalir ke dalam dirinya
aku tak mengenali mataku lagi
semua muncul begitu saja
serupa bayang-bayang
di penghabisan siang
tak ada yang lebih indah
selain matamu, kamera
kucipta gambar dari kelam
agar mereka paham
apa yang semayam
di kedalaman jiwa
2017
Mesin Tik
mesin tik karatan bergumam:
sungguh letih menjadi tua
jari-jari gemetar, suara parau,
napas tersengal
seperti mesin tik lainnya
ia mengenang suatu masa
puisi-puisi lahir seirama
nyanyian tombol-tombol huruf
surat-surat pun bertaburan
dari negeri-negeri jauh
kini, ia hanya membisu dan makin renta
tak ada lagi mata kagum melihatnya
tak ada tangan rindu menyentuhnya
ia tahu sebentar lagi tuan rumah
membawanya ke tukang loak
berkumpul bersama besi-besi tua lainnya
menatap hampa pada atap seng gudang kumuh
berhimpitan dengan sepi dan dingin malam
tentu ia telah siap dilebur dalam tungku api
lahir kembali menjadi bentuk berbeda
tapi, hanya satu pintanya:
tak ingin menjadi mesin tik lagi
2017
Telepon
kuangkat gagang telepon
”hallo, ini siapa?”
tak ada suara di seberang
jam dinding berdetak lambat
gerimis bernyanyi lirih
bersama daun-daun
”hallo, hallo…”
tak ada suara menyahut
kutaruh gagang telepon
dingin malam membekas
di meja kayu
telepon kembali berdering
”halloo, siapa di sana?”
tak ada suara. hening
malam sedingin pualam
gagang telepon menempel di kupingku
berdebar aku menunggu suara di seberang
hanya gemerisik angin terdengar
2017
Jam Dinding
sebelum malam usai
dalam halusinasi
jantung jam dinding itu
berdetik berkali-kali
ia tahu kau akan pergi
ketika kau buka pintu
dan melangkah ke beranda
mata jam dinding itu
menatap lekat tengkukmu
ia mengasihi denyut nadimu
terdengar bunyi pagar dikunci
mendadak jam dinding itu
berhenti menghitung waktu
yang meleleh di lantai
tak jadi pergi
kau termangu
menatap jam dinding
berdetik-detik seirama
debar hatimu
2017
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Di antara sejumlah kumpulan puisinya adalah Pekarangan Tubuhku (2010) dan Montase (2016). Ia tinggal di kota kelahirannya.
A MUTTAQIN
Nasi Goreng untuk Abban
Minyak dan telur adalah saudara seiman. Mereka saling memandang
dengan cinta yang cepat matang, tak gampang iri pada teri dan kentang.
Sosis dan udang adalah saudara seperjuangan. Sosis meminjam gurih
dari udang sementara si udang meminjam kulit sosis agar kau tenang.
Nasi dan piring adalah saudara sejalan. Nasi melipur piring agar tidak
terbang. Piring menampung kerumunan nasi agar tentram terpahamkan.
Lapar dan lahap adalah saudara sekamar. Lapar meminta lahap agar
makan pelan-pelan. Lahap meminta lapar agar sabar menunda kenyang.
(2017)
Tasawuf Buta Huruf
membaca kitab Raja Ali Haji
Ha, hamba berlindung dari duri yang membuat si mawar dimungkiri
Na, nasihat adalah ulat yang membuat daun cacat dan burung terjerat
Ca, camar dan mawar bertukar lapar di kiri candi, o duri, jadilah saksi
Ra, rawat ranting ini, supaya si kaki pandai mencari sulur sumber diri
Ka, kalaulah kau tak percaya dengan jalan tafsir-gathuk-matuk begini
Da, datangi orang alim untuk belajar kumur atau sekadar tali tawasul
Ta, tawasul adalah taat yang memberkati dua utusan dalam carakan ini
Sa, sahih tidak sahih tentu bukan tujuan inti bagi si pencari jalan sejati
Wa, walau La kuteruskan dengan tafsir dan tadabur dari kitab-kitab suwur
Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga-ku tak bisa melipur semua jumhur.
(2017)
Moto Seorang Santri saat Bertandang ke Warung Kopi
Kopi adalah kopiah yang debunya menyala menyigi malam dan mimpi.
Rokok adalah ruh yang disesap harap supaya sepi murup dan meragi.
(2017)
Perjuangan Mencintai Pagi Hari
05:30. Anakku berjuang membuka mata. Aku berjibaku melepas mimpi.
Istriku menggoreng kantuk hingga kriuk. Mertuaku merenungi gelap kopi.
06:30. Anakku berperang di kamar mandi. Istriku mengaduk tuwung sepi.
Aku memeluk kantuk. Mertuaku membungkuk, membujuk kicau manuk.
07:00. Handuk mengelap kantukku. Salam teruluk dari manuk mertuaku.
Kulempar dadar agar si manuk diam. Anakku geram digenggam seragam.
07:30. Istriku dikejar kerja. Mertuaku siap istighasah. Kugandeng anakku ke
madrasah: ”Aku mau jadi sapi perah!” katanya, sambil nyesap susu kotaknya.
(2017)
Drama Satu Babak
Panggung dibuka. Seorang lelaki bungkring menunggang kuda kayu.
Seorang perempuan gendut menunggang sapu. Keduanya berputar tiga kali.
”Apa yang kaucari Sinuhun, ke latu permaisurimu telah terjun?”
”Aku mencari panas pada api. Aku mencari alun pada unggun!”
Perempuan itu menghentikan sapunya, membuka kembennya, lalu melepas
jariknya. Lelaki itu melonjak-lonjak seolah kuda kayunya memberontak.
”Mendekatlah, wahai Sinuhun. Panas telah kuringkas ke puncak pahaku.
Unggun telah kutuntun ke dadaku. Mendekatlah, Sinuhunku yang pikun.”
Lelaki itu membuang kuda kayunya, membuang pakaiannya. Kedua
tangannya ia rentangkan lalu berputar dan menari ia seperti sufi pemula.
”Sesaplah unggunku Sinuhun, supaya kau tangkas melibas sisa sunyi.
Jilati panasku Sinuhun, supaya kau lepas dari letih dan kelatahan ini.”
Lelaki itu mendekat. Panggung murup redup. Seorang perempuan pemirsa
membekap mata anaknya. Dua muda-mudi berkecap-kecup. Layar ditutup.
(2017)
A Muttaqin lahir di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Buku puisinya adalah Pembuangan Phoenix (2010), Tetralogi Kerucut (2014), dan Tarekat Lembu (2016). Ia tinggal di Surabaya.
Komentar
Posting Komentar