Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Melempar Matahari Merekah karya Aji Ramadhan

20 Januari 2018

Aji Ramadhan


Melempar Matahari Merekah

Matahari merekah dan
bulan bergegas ke kantung waktu.

Embun-embun kehilangan
bayangan bulan.

Sebelum lenyap di ketinggian daun,
embun-embun
mulai terbuka meminang tanah.

Embun-embun cepat terjun
melengkungi sekuen kehidupan.

Di batas langit dan bumi, pagi
melempar matahari merekah
ke kembang-kembang.

Di tanah, para semut lega
selesai berpatroli memutari
kembang-kembang.

Punggung para semut yang pegal
habis berpatroli
perlu asupan vitamin K
milik matahari merekah.

Matahari merekah sempurna.

Sepasang mawar beradu argumen
tentang cara terbaik
bersatu dengan matahari merekah.

Melati punya pandangan lain:

Bulan bergegas ke kantung waktu
karena jarak-berjarak, bukan
tersaingi oleh matahari merekah.

Surakarta, 2017


Rugi


Kita kembali berjalan setelah berkemah
di perut gunung. Kita harus menemu pagi sebelum
langit mengirimnya. Semoga halimun
tak pergi ketika kita datang. Kita butuh halimun
untuk merangkum keletihan diri ini.

Puncak gunung ternyata jauh dari dugaan, meski
terpandang dekat di mata kita. Api unggun
yang semalam kita buat belum mati
di hati. Jangan kita menyeka peluh. Kita membawa
peluh masing-masing sebagai kado untuk pagi.

Nyanyian perjalanan ke puncak gunung telah kita
nyaringkan. Sesekali kita melihat ke bawah: Aneka
warna lampu menjadi repetisi halus. Murni
direkam mata kita. Kadang kita mengalami sangsi
kenapa bisa sekecil ini.

Di sela-sela pohon sana, kita bertemu ular yang
sedang mengawas. Kita takut tapi tinggal berpuluh
langkah akan sampai ke puncak gunung. Tapi
kita mulai menangis ketika terompet langit telah
mengirim pagi. Kita mematung rugi.

Surakarta, 2017



Datang


Pagi datang menyelamatkan aku
setelah memasang
daur ulang ekor matahari
dan membuang selimut malam.

Hangat sahaja pagi datang:

Aku belajar menggapai awan
hingga menepuki waktu
biar lambat memasuki gerakku.

Kamar mimpi kehilangan aku
setelah pagi datang. Tapi tersisa
goresan kamar mimpi
di dalam benak lunakku:

Bantal membudak kepalaku dan
hantu kolong ranjang menakut
mataku.

Pagi datang memberi aspirasi
kepadaku lewat moncongnya:

“Kubur masamu yang redup itu,
lalu tinggikan tiang lagu.”

Pagi datang membuka
petualangan baru denganku. Dan
aku berlagu:

Seorang anak enggan lagi tidur
karena pagi datang
menghiasi dinding hari harunya.

Surakarta, 2017

Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Mahasiswa Desain Interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Buku puisinya adalah Sang Perajut Sayap (2011) dan Sepatu Kundang (2012).



Inggit Putria Marga

Festival Purnama


november, entah hari keberapa
setelah kelopak matahari mengatup
dari balik bukit berpohon sedikit
kepala purnama menyembul
matanya menabur cahaya
serupa cakra mata ketiga yang mekar sempurna
seperti tangan petani menebar benih
di tanah yang matang oleh doa

ke yang halus dan yang kasar, cahaya menyebar:
ke tangan istri yang sedang mencengkram leher kekasih suami
ke tangan ibu yang gemetar menghapus keringat dingin di dahi bayi
ke kucing pincang yang tak henti mengeong
usai dilempari batu oleh penghuni rumah yang disinggahi, ke anjing
yang berbaring di rumput menunggu kedatangan tuannya, ke balita
yang lari ke sana ke mari, tanpa berpikir untuk apa ia lahir
dan ke mana kelak pergi setelah detak jantung berakhir, ke lelaki tua
yang sibuk merayu malaikat maut agar tak datang buru-buru
sebab dosa-dosa masa lalu belum sempat tersapu.

selama kelopak matahari terkatup
purnama menebar cahaya
tak seperti petani
tak berharap menuai yang ditabur di bumi.

2017


Tawa Maitreya

beberapa detik setelah dinyalakan, asap dupa meninggalkan dupa.
sebagian mengambang di bawah lampu gantung kristal berbentuk padma,
sebagian mencari celah menuju sumber cahaya, menuju langit nila.

memisahkan diri dari keriuhan pengunjung kuil, menjauh dari gelak tawa
para tamu yang berfoto bersama rupang-rupang dewa, genta raksasa, barisan lotus
yang sebagian telah tiba masa mekarnya, seorang perempuan berdiri sambil bersandar
di pilar altar. ia pandangi dupa-dupa mengabu, yang meski gerak asapnya menjalar
di dalam dan di luar ruangan, tak sebatang pun ada yang diajak foto bersama,
tak seorang pun peduli makhluk halus itu berpencar ke mana. di hadapan mereka
perempuan menangkupkan tangan, menundukkan kepala, menyembunyikan air mata.

dari atas altar, menyaksikan yang tertawa berbinar dan yang menangis samar,
yang riuh berkelompok dan yang sendiri mematung setegak batang rokok,
garis tawa di bibir maitreya semakin lebar.

2017


Pengasih Kedasih

telah hamba patahkan sepasang sayap kedasih, sebab telur-telur kesedihan
yang bertahun dieram ulu hati hamba, menetas usai teringat takdir sayap
adalah membuat kedasih melayang menuju hutannya sendiri,
memilih ranting tempatnya hinggap sesekali, menembus udara berdebu
yang bisa saja membuat burung itu mati di suatu pagi.

kemelekatan hamba pada burung itu, bahkan pada tiap bulu
yang tumbuh di pori-pori kulit kedasih itu, lebih erat dibandingkan
pada helai-helai uban yang tiap hari, dari kepala hamba, berjatuhan.

maka, hamba lakukan yang dapat membuat hamba dan kedasih tak terpisahkan
terlebih lepas menyaksikan televisi, di penghujung sebuah pagi, hamparkan
pemandangan ini: langit warna melon mengatapi bongkahan awan.
seekor burung besi membara di situ usai melepas ratusan telur
yang jatuh menghantam bumi, menghajar perkampungan, melantakkan hutan,
menumbangkan pepohonan. dari salah satu cabang pohon yang tumbang
helai-helai jerami terbang. seekor kedasih gagal membuat sarang.

beberapa menit sebelum patahkan sayap burung
hamba pandangi pigura-pigura yang berderet di dinding dekat televisi.
benda yang membingkai foto-foto kerabat lama. mereka mati
bersama rumah masa kecil hamba yang hancur tertimpa telur burung besi
saat hamba menggoreskan krayon warna melon
di kertas bergambar ibu bapak
yang tergeletak di meja kelas taman kanak-kanak.

2017



Inggit Putria Marga bermukim di Bandar Lampung. Kumpulan puisinya berjudul Penyeret Babi (2010).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi