Langsung ke konten utama

Postingan

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Nabi karya Triyanto Triwikromo

27 Januari 2018 Triyanto Triwikromo Nabi : cermin Cervantes, cermin Kundera 350 tahun ia bertempur dengan kincir angin. 450 tahun ia bersengketa dengan sebongkah batu. “Kematian telah memanggilku dari gunung salju,” ia berkata. “Kematian telah memanggilku.” Ia tidak mengenakan topi saat salju turun. Balkon membeku. Kastil membeku. Museum menyimpan kisah perang yang terlupakan itu. Cermin menyimpan kesedihan wajahnya di bawah lampu. Genta-genta berhenti berbunyi. Genta-genta hanya ilusi. Ia tidak berkuda saat berangkat ke stasiun. Musuh berada 15 mil di luar Praha. Ia berjalan kaki tetapi membayangkan terbang bersama gagak. Gagak yang melupakan namanya. Gagak yang melupakan sayapnya. “Sejak kematian memanggilku aku telah melupakan namaku. Melupakan kotaku. Kota iblis. Kota hantu dililit salju.” Pada akhirnya ia harus bertempur juga. Bertempur dengan waktu. Jantungnya ditusuk. Kepala dipenggal. Mata dicungkil. Telinga dipotong. Kaki

Melempar Matahari Merekah karya Aji Ramadhan

20 Januari 2018 Aji Ramadhan Melempar Matahari Merekah Matahari merekah dan bulan bergegas ke kantung waktu. Embun-embun kehilangan bayangan bulan. Sebelum lenyap di ketinggian daun, embun-embun mulai terbuka meminang tanah. Embun-embun cepat terjun melengkungi sekuen kehidupan. Di batas langit dan bumi, pagi melempar matahari merekah ke kembang-kembang. Di tanah, para semut lega selesai berpatroli memutari kembang-kembang. Punggung para semut yang pegal habis berpatroli perlu asupan vitamin K milik matahari merekah. Matahari merekah sempurna. Sepasang mawar beradu argumen tentang cara terbaik bersatu dengan matahari merekah. Melati punya pandangan lain: Bulan bergegas ke kantung waktu karena jarak-berjarak, bukan tersaingi oleh matahari merekah. Surakarta, 2017 Rugi Kita kembali berjalan setelah berkemah di perut gunung. Kita harus menemu pagi sebelum langit mengirimnya. Semoga halimun tak pergi ketika kita datang. Kita butuh hal

seseorang yang mengapung di atas tubuhku oleh Afrizal Malna

13 Januari 2018 AFRIZAL MALNA seseorang yang mengapung di atas tubuhku dia membuat sore dari sebuah rancangan busana jahitan udara antara yang terbuka dan tertutup guntingan pada bahu. kulit tropis di musim semi buatlah aku dari air liur burung gereja yang memberi minum anaknya, dan sebuah kamus yang tak punya ancaman jangan bercerita, ketika kupu-kupu terbang dalam suaramu dan sebuah senja yang tak bisa dimasuki batas malam tubuhnya mengapung di atas tubuhku seperti laut pasang bulan yang tergenang dalam cahayanya buatlah aku kembali tidak mengerti apa itu takut ketika menyusuri bibirmu, pelukan, yang meninggalkan senja pada lampu jalan sebuah kafe, belum tutup untuk seorang tamu yang masih menyanyikan cinta. para pemusik telah pergi meninggalkannya. sebuah lagu elvis presley, fever , link: https://youtu.be/dNsU5edolvk seperti suara bibir dalam anggur merah buatlah aku dari sebuah sudut malam seolah-olah aku sedang menunggumu di sebuah titik yang meledak

Setrika Arang oleh Wayan Jengki Sunarta

6 Januari 2018 WAYAN JENGKI SUNARTA Setrika Arang ayam jago itu masih bertengger di situ menunggu tanganmu memasukkan bara hidup membosankan dimulai mondar-mandir dari pakaian satu ke pakaian lain dari kenangan satu ke kenangan lain mungkin suatu waktu tanganmu akan berhenti pada lipatan saku baju memeriksa rahasia yang sembunyi di ujung setrika arang yang setia hanya ayam jago begitu sabar menunggu tanganmu ia berkukuruyuk dari masa lalu berharap dunia tidak sekelam abu dalam setrika 2017 Kamera tak ada yang lebih indah selain matamu, kamera gambar-gambar tak kukenal membentang bagai fatamorgana pohon-pohon bercahaya seakan dilahirkan matahari pagi seorang bocah duduk di atas bongkah batu menatap sungai yang mengalir ke dalam dirinya aku tak mengenali mataku lagi semua muncul begitu saja serupa bayang-bayang di penghabisan siang tak ada yang lebih indah selain matamu, kamera kucipta gambar dari kelam agar mereka paham apa yang semayam

Duyung oleh Tjahjono Widijanto

30 Desember 2017 TJAHJONO WIDIJANTO Duyung Tuhan, aku ingin berenang, bisikmu. Seketika air matamu luruh bersama hujan yang turun semalam di bukit-bukit karang yang gelisah. Selat basah di matamu menjelma hutan bakau yang perlahan merapuh dimangsa taring laut. Tapi di kedalaman biji matamu yang telaga, dan subur dadamu yang lapang, nelayan- nelayan makin tabah memanen benih ikan-ikan di antara surut dan pasang badai lautan. Di alis matamu, bisa dibaca bentang perjalanan. Denting sunyi para pelaut dan teriakan parau nakhoda menyeru-nyeru rindu daratan. Secuil tanah yang diimpikan saban malam di tengah deru taufan dan jerit gelombang. Kini angin laut menghadirkan cuaca- cuaca dan cakrawala untukmu. Percakapan-percakapan para nelayan memujamu, menggantungkan riwayatmu pada menara- menara salib gereja, kleneng gentanya menjulur ke jalan-jalan pelabuhan yang bisu ditinggal kapal melepas jangkar. Dan saat purnama, bulan menjadi jembatan masa silam, cahayanya menjelma kilatan-

Di Teater Dionysos, Athena oleh Seno Joko Suyono

23 Desember 2017 SENO JOKO SUYONO Di Teater Dionysos, Athena               : Pius Sigit dan Melati Suryodarmo Oedipus mati meninggalkan wasiat. Aku tahu ini bukan kuburannya. Tak ada nisan dan kalimat RIP di sini Namun sore itu aku memaksa diri menjenguk tilas jenazahnya ”Sudah tutup. Besok saja,” kata seorang penjaga. ”Aku hanya ingin melihat tebing Parthenon,” desakku. ”Aku hanya ingin memercikkan abu doa.” Ketika ia mengizinkan, yang pertama kucari Adalah kalimat terakhir koor pendita Tiresias yang tak jadi diucapkan Ia dirahasiakan menjelang festival, dan suaranya disemen di celah-celah Tempat duduk melingkar, entah barisan mana Aku maju ke titik tengah Kutatap kursi-kursi batu yang separuh remuk dan kering Kucari, kira-kira di mana telinga penonton paling jelas mendengar Tatkala pemeran Ismene di teater itu dulu berteriak: Ayah, matamu buta. Untuk apa kemari. Tinggallah di hutan! Ular Kecil            : St Teresa dari Avila Mendaraslah, sayang. Akar deda

Kertas oleh Mardi Luhung

MARDI LUHUNG Kertas Anak itu menunggu. Menunggu menjadi remaja. Dan remaja itu pun menunggu. Menunggu anak itu menjadi dewasa. Setelah dewasa, dia (anak yang pernah remaja itu) menikah dan punya anak. Setelah punya anak, tiba-tiba ketuaan nongol di pintu. Ketuaan yang sederhana. Ketuaan yang menenteng koper. Dan menukas: “Hai, telah lama aku menunggumu untuk berangkat” Berangkat ke mana? Tujuan tak terduga. Hanya peluit sepur yang memekik di kejauhan. Sepur yang dulu selalu dipandangnya dengan gemas. Dan yang dibayangkannya sebagai naga besi yang tak pernah lelah. Setelah perbekalan disiapkan, berangkatlah dia dengan ketuaan. Dan siapa pun yang pernah disebutnya sebagai ingatan, berdikit-dikit menjadi mendung. Terus turun dalam rupa gerimis. Gerimis menjadi hujan. Dan hujan pun melunturkan apa-apa yang telah ditulisnya di kertas. Sebelum menghilang ditelan belokan, dia dengan ketuaan sempat melantunkan bait begini: “Kami tak tahu, apakah nanti akan sampai di