Langsung ke konten utama

Postingan

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Anatomi Ketupat oleh Mustofa W Hasyim

24 Juni 2017 Mustofa W Hasyim Anatomi Ketupat Ini adalah doa yang sangat lama belitan waktu dimulai dari lembaga di pojok buah kelapa daun-daun bersahabat dengan langit membuat angin menari. Harapan menetas di bulir butir padi memecah kulit rindu dan menyelam di kedalaman air dusun menunggu matang bersama api yang tak sempat berduka. Binatang itu disembelih kulitnya diambil dagingnya dilembutkan bumbu dan santan mirip lagu harus dimainkan bersama nakalnya lombok dari arah pantai. Piring porselin, mangkuk porselin cangkir cawan porselin sendok perak dan serbet bersulam di atas taplak meja harum kata-kata dan kerupuk udang sama-sama renyahnya di perayaan hari kembali diri sendiri ini. 2017 Bibi Had Dia datang di masa kanak-kanak yang sejuk suka bercerita, masa merantau di kota Batu hari-hari libur, hari paling sibuk membuat manisan buah, mengadon kembang gula asam dan jahe membuat rengginang gurih dan manis meracik rempah wedang secang

Fatamorgana Sagu, 1 oleh Riki Utomi

10 Juni 2017 Riki Utomi Fatamorgana Sagu, 1 dalam tubuhku sagu menggiring. menjalar akar tunjang ke daging. menancap lekat geram ke sungging. meruap harap tekad julang reranting. menancap rasa takdir ke singsing. akulah budak sagu, bersampan mengikuti alir muara, berlabuh ke pelan riuh mendera. mengungkap hidup dari alam resam. berpantun riang di aroma malam. bersirih merah di mulut, cecap asin, pahit, manis, dan pedas ke hulu pikir: puah! tubuhku tubuh sagu, hatiku naluri sagu. mencari ’ku selalu genggam di tangan yang hilang di tanah penuh marwah. menggali diam yang terkunci di ruang tanah. mencuri harap yang terhimpit dari hal tak tercurah. akulah budak sagu. mengamati tiap waktu di rumpun bakau. gelak dan serak adalah hidup. golek dan gulung adalah tindakan. ucap demi laku adalah ikatan. mengalirlah sari sagu di tiap helaan nafas. memasaknya dengan bumbu marwah di hati yang paling curam. 2017 Lepaskan pandang mataku, tuan. cermati

Jubah oleh Mardi Luhung

3 Juni 2017 Mardi Luhung Jubah : belajar dari al-busairi Kaulah matahari. Kaulah bulan. Kaulah awan, gunung, dan udara. Kaulah yang membuat yang ada jadi merunduk. Menyebut namamu. Menyebut dengan suara lirih atau patah-patah. Suara yang terdahulu atau yang terkemudian. Seperti suara si terusir ketika mesti bersujud. Membenamkan wajah ke pasir. Untuk menunggu kapan langkahmu melintas. Langkah yang pernah membelah waktu dan menjahitnya ulang. Langkah yang pernah memanjat tujuh lapis ketinggian. Lalu, kembali turun ke tempat asal. Tempat yang semerbak dengan aroma kasturi. Tempat yang meruah dengan sepasang janji dan kesaksian. Yang membuat si pendusta bersedia untuk sekali saja berkata jujur. Meski, setelah itu kembali berkobar. Dan kembali lagi menjulang. Seakan ingin menyergapi bebintangan. Bebintangan yang dalam senyummu menjelma jadi hasrat yang tak sudi mundur. Hasrat yang mencari, di mana nanti kau sampirkan jubah itu. Jubah yang membuat si lumpuh seketika terhen

Di Depan Patung Garam Men Brayut oleh Sindu Putra

27 Mei 2017 Sindu Putra Di Depan Patung Garam Men Brayut ceritakan lagi padaku, Ibu… anak-anakmu yang tidak akan pernah kembali bukankah kau adalah ibu dari lima pandawa… dan . . . bukankah kau juga adalah ibu dari seratus korawa… hingga kini kau hanya mengakui melahirkan empat anak anak-anak yang menyusu di tubuhmu, seumur hidup: wayan kaja menghilangkan diri ke gunung mencari puncak senyap mencari kepundan kosong mencari kaldera hampa made kangin menutup mata mematikan mata api matahari berjalan dalam gelap membuka pintu cahaya nyoman kelod menghanyutkan diri ke laut lepas menyelam sejauh palung paling rahasia rahasia segitiga: lahir-hidup-mati ketut kauh menempuh megatruh bulan sabit, . . bintang padam, matahari gerhana di separuh waktu menempuh megatruh waktu paruh ceritakan perihal anak-anakmu, Ibu cerita tentang penjaga empat penjuru angin angin timur laut, . . . . . angin tenggara angin barat daya, . . . . . angin barat laut anak

Gratiagusti Chananya Rompas: Perempuan di Bawah Naungan Ki Hujan

Mohammad Hilmi Faiq 21 Mei 2017 Kompas/Yuniadhi Agung Gratiagusti Chananya Rompas Gratiagusti Chananya Rompas (38) mengandaikan dirinya terwakili oleh “Kota Ini Kembang Api” dan “Non-Spesifik”. Keduanya adalah kumpulan puisi karyanya yang menampung sisi terang di satu buku, dan sisi gelap di buku yang lain. Anya, begitu dia biasa disapa, bernaung di bawah Ki Hujan untuk menemukan dirinya. Pagi itu kami janjian bertemu di Saudagar Kopi, kafe di Jalan Sabang, yang sudah buka sejak pukul 07.00, melayani orang-orang kantoran yang tak sempat sarapan. Namun, bukan Anya. Dia menghabiskan banyak waktu menulis di kafe itu sekaligus sebagai tempat melihat dunia luar. Kompas/Yuniadhi Agung Gratiagusti Chananya Rompas Dengan agak kikuk, dia menyodorkan tangan. Kami bersalaman. Anya memakai kemeja kotak-kotak. Anting berbentuk prisma menambah pesona potongan rambut mullet -nya, berponi, tipis di bagian samping, dan memanjang di bagian belakang. Ada sedikit sepuhan warna merah tat

bahu batu oleh Zen Hae

20 Mei 2017 Zen Hae bahu batu ia sampai ke sebuah danau – setelah berlari kecil sembilan putaran, dari kanan ke kiri. ahlan! ia berlari kecil hingga seluruh jalan dan kedai, pelat reklame dan spanduk, juru rupa pemandangan, menyalin mimpi masa kanaknya: dunia segi empat 12 warna. ia berlari kecil hingga segala yang nyata oleh terang, bergetar, pelan-pelan menjauhinya, menabrak cakrawala. hingga segala yang silam menjerit-jerit dalam cengkeraman sepia, minta dikinikan. maka ia berhenti, memejam dengan dua tangan terentang. si kanan menata kembali letak benua dan arah angin, muasal bahasa, silsilah keluarga, jarak antara ekaliptus dan kayu manis, bunyi sumbang di sela merdu rima. si kiri – yang lebih pucat dari paras hantu jepun – membangkitkan kembali kapal kayu dan guci arak, kata belayar , pembakar loji, humus harum, pemetik gitar di hari hijau: ”dapatkah ketua menghidu harum buah kalam musafir lata?” pelan-pelan ujung kedua tangannya memanjang seraya matanya yang berjub

Ombak Tiris di Bengkalis oleh Boy Riza Utama

13 Mei 2017 Boy Riza Utama Ombak Tiris di Bengkalis I. Ombak tiris di Bengkalis Buaian ikan-ikan Temu kilat permulaan bulan Lepas dayung terigau sampan Lekas hari berkemas Tiap ambang pertemuan Kau baungku, menampik santan Gurih cerita mendadak rasan Mungkin kau lebih dulu kutinggalkan Atau sejak lama aku kau lupakan II. Ombak tiris di Bengkalis Jeda buih dan getaran Kangen menghala ke ulu batin Debur ranjang riang pengantin Tapi tahun ringkas, cemas bersisian Cekikik lemah kandas dalam rasian Amboi, terbelah sudah dua daratan Meski lautmu pasirku bersebadan Mungkin kau lebih dulu kulupakan Atau sejak lama aku kau tinggalkan Anjangsana Antonio, 2011 Tak lagi terikat pada tembuni Usai terlilit ke inti bumi, tujuh Petala zaman kini kumasuki, dan Angin abad 18 tiba-tiba merambati Lekuk pulau hingga gigir bandar ini Maka menyelamlah aku, di Selat Baru Menunggu sebelas juta pasang mata Ikan sakit di celah berhantu itu Memberi isyarat m