Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
3 Juni 2017
Mardi Luhung
Jubah
: belajar dari al-busairi
Kaulah matahari. Kaulah bulan. Kaulah awan, gunung, dan udara.
Kaulah yang membuat yang ada jadi merunduk. Menyebut namamu. Menyebut dengan suara lirih atau patah-patah. Suara yang terdahulu
atau yang terkemudian. Seperti suara si terusir ketika mesti bersujud. Membenamkan wajah ke pasir.
Untuk menunggu kapan langkahmu melintas. Langkah yang pernah membelah waktu dan menjahitnya ulang. Langkah yang pernah memanjat tujuh lapis ketinggian. Lalu, kembali turun ke tempat asal. Tempat yang semerbak dengan aroma kasturi. Tempat yang meruah dengan sepasang janji dan kesaksian.
Yang membuat si pendusta bersedia untuk sekali saja berkata jujur. Meski, setelah itu kembali berkobar. Dan kembali lagi menjulang.
Seakan ingin menyergapi bebintangan. Bebintangan yang dalam senyummu menjelma jadi hasrat yang tak sudi mundur. Hasrat yang mencari, di mana nanti kau sampirkan jubah itu.
Jubah yang membuat si lumpuh seketika terhenyak dan menegak.
Terus memuji: ”Apa karena mengingatmu, sampai mata ini basah bercampur darah, hai, hai.”
(Gresik, 2017)
Turi-Turi Putih
: meminjam puji-pujian itu
Turi-turi putih ditandur di kebun agung. Ada cemleret jatuh
nyemplung. Kau kira itu kembang apa. Itu kembang
kenanga. Yang mekar di dalam gua. Ketika kau berangkat
atau diberangkatkan. Dengan kereta yang beroda
manusia. Dan ketika segala yang ada di sisimu melambai.
Terus berkata: ”Di suatu saat, kami pernah bersamamu.
Dan di suatu saat yang lain, kau hanya desir. Atau risik. Atau
kelebat enteng yang bergulir.” Tapi, waktu terus saja
bergerak. Dan kereta yang beroda manusia terus melaju.
Adakah hal yang masih kau kenang. Adakah hal
yang masih kau angan. Air matamu pun tergenang. Tapi, tak
ada lagi arah kembali. Lamat-lamat, kau pun mendengar
gumam si guru: ”Anak Gembala, panjatlah pohon belimbing
itu. Biar licin, biar susah, ayo, panjatlah. Petik belimbing
yang ranum. Untuk membasuh bajumu yang robek. Terus jahit,
jahitlah, agar nanti sore bisa menghadap. Dan malamnya,
kita pun menikmati purnama yang sempurna. Yang merona.
Purnama yang menjembar. Sorak, soraklah: ayo.”
(Gresik, 2017)
Pohon Tin
Pohon tin luka diberi tali. Tepilah yang akan dibawa mati.
Mungkin aku rabun dan tuli. Tapi tegak jiwa yang bakti.
Pelana jeriji dua tebu. Biji si gunung kelabu penuh pelita.
Mana janjimu padaku. Janji untuk selalu membawa serta.
Halaman sawah di pojok. Pesat melayangkan segelas jamu.
Padahal telah aku jolok. Pusat taman kahyangan untukmu.
Dini hari sirih merambat. Payung berbaris penuh kumbang.
Kini segalanya terlambat. Di ujung kerismu aku tumbang.
Melati terbelalak ranah merata. Mungil benar buah belewa.
Pasti kelak ada yang berkata: ”Lihat, si kecil yang kecewa.”
Penjaga buta daun cempaka. Loncat belanak kekal dipupus.
Untukmu, untukku, untuk mereka, ukuran tak akan terhapus.
(Gresik, 2017)
Ronce
Membingungkan. Sudah tua tetap mencari Tuhan.
Celingak-celinguk di jalanan. Menjawili yang
lewat. Dan berkata: ”Aku sedang mencari
Tuhan. Siapa yang tahu. Tolong beritahu
di mana adanya.” Waktu itu tak ada yang
menggubris. Apa yang terjadi seperti kisah
tentang gairah di mulut, pecah di kepala.
Membingungkan. Sudah tua tetap mencari Tuhan.
Meraba-raba tembok. Mengelupasi lubang bekas
paku. Terus bersaksi, jika jantungnya juga
berlubang. Lubang yang dalam. Lubang yang
jika ditiup akan mendengungkan bunyi sengau.
Seperti bunyi dari gerak-gerak yang melingkar.
Yang memukul-mukulkan batu ke lantai.
Membingungkan. Sudah tua tetap mencari Tuhan.
Terlentang di rerumput taman. Menatapi awan
berarak. Dan mengharap, suatu saat, dari tengah
awan itu, Tuhan akan turun. Turun dengan jubah
yang ujungnya tak berdepa. Yang akan melingkupi
setiap yang ada. Yang lurus atau mencong. Yang
samar atau gaib. Dan yang cuek atau tidak.
Membingungkan. Sudah tua tetap mencari Tuhan.
Pagi berangkat. Sore pulang. Malamnya gelisah
di tikar. Dan merasa bermimpi di dalam keraton.
Di mana Tuhan berdiri anggun. Di sebelahnya dia.
Lalu, seperti sepasang kekasih, pun bercengkerama.
Sayangnya, mimpi ini tak boleh berlanjut. Sebab,
akan banyak yang menyebut: ”Penyeleweng.”
(Gresik, 2017)
Menara Kaktus
: seperti harjuna sasrabahu
Dari negeri sebelah aku didatangkan. Dibungkus daun jati.
Diikat gelang rotan. Seperti tanda mata yang dihadiahkan
oleh si pencinta kepada yang dicintainya. Ketika ujung jauh
tak lagi punya arti. Bagi rasa sayang dan saling berbagi.
Dan di bandar itu. Tempat seratus kapal besar bersandar.
Seratus kapal yang mengingatkan sekawanan paus yang
berjemur. Setelah melintasi sekian samudra. Aku diserahkan
dan ditelisik. Apa aku luka. Atau gering. Atau mengusung
semacam jamur. Jamur, yang kabarnya ingin melepuhkan
setiap yang tumbuh dan menumbuh. Sampai taman, yang
diturunkan dari sorga oleh si adik panglima yang bermuka
buruk, pun hampir melepuh. Dan itu membuat nyali si raja
berderak. Terus bertitah: ”Apa yang telah terjadi. Kenapa
ada hal tak terduga yang luput dari jangkauanku?” Tapi, kini,
semuanya telah beres. Aku bebas dari semua arah telisikan.
Dengan sentuhan ajaib si tukang kebun pilihan, aku pun
menegak tinggi di pusat taman itu. Dan saking tingginya,
aku lebih mirip menara kaktus daripada gumuk. Menara
kaktus dengan duri-duri yang bertaburan. Menara kaktus
yang tersentak. Ketika dalam duel yang mendebarkan
itu, tersaksikan, bagaimana si raja membiarkan dadanya
terbuka. Terus tertembus senjata si penantang. Si penantang
yang sekaligus si ksatria. Si ksatria yang sekaligus si pencinta
ayah-ibu. Hanya karena ingin menyingkap sebait teka-teki:
”Siapakah dari keduanya yang memang bisa digugurkan?
Si raja ataukah si penantang? Sebab hidup sudah terlalu
lama. Dengan kuasa keabadian yang berbongkah-bongkah.”
(Gresik, 2017)
Malam Kenanga
Malam ini ke pantai. Pantai yang telah diuruk. Dijadikan terminal. Juga warung. Warung. Dan warung. Dan di salah satunya, orang-orang duduk santai. Ngomong tentang tangkapan ikan yang kurang. Sandaran perahu yang jauh dan dangkal. Serta bebintang yang satu per satu mulai tak kelihatan. Mungkin minggat. Mungkin rontok. Mungkin juga dimakan jin. Jin garang yang suka membikin gerhana. Tapi kerap bersembunyi di gelap langit. Ketika malaikat melintas. Menabur rezeki di permukaan laut. Rezeki bagi jaring-jaring yang ditebar. Yang kini mulai teronggok. Seperti onggokan sarang tikus yang kusam. Tikus tongtong dengan bulu sekasar tali ijuk. ”Sebentar lagi, kita tak mungkin lagi bisa ke laut,” kata seorang yang berwajah sedikit burik. Terus menyesap kopi. Dan orang-orang yang mendengar terdiam. Terbayang, laut adalah saudara. Saudara yang siap
menyambut kapan saja mereka datang. Lalu, dari warung sebelah kiri, menyeruak lagu dangdut koplo: ”Buka sitik, jos!” Lagu dangdut yang menyala. Seperti nyala lampu angkutan yang keluar-masuk terminal. Yang jika saja redup sedikit, akan mengingatkan pada nyala kunang- kunang. Kunang-kunang yang dulu diburui anak-anak. Dimasukkan ke toples. Terus disimpan di kolong ranjang. Berharap, jika pagi menjelang, akan menjelma jadi bebutir gundu warna-warni. ”Sudah, jangan ngelantur,” potong seorang yang lain lagi. Dan meledaklah tawa semuanya. Tawa yang melayang. Dan melayang. Terus
tersangkut di spiker sebuah masjid. Spiker yang pas mengumumkan berita, bahwa baru saja Wak Tumbar meninggal. Besok pukul 9 pagi akan dikubur. ”Padahal, tadi sore masih keluyuran. Benar-benar tak disangka,” sela orang-orang bersamaan.
(Gresik, 2017)
Mardi Luhung lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Buku puisinya antara lain Jarum, Musim dan Baskom (2015), dan Teras Mardi (2015).
Mardi Luhung
Jubah
: belajar dari al-busairi
Kaulah matahari. Kaulah bulan. Kaulah awan, gunung, dan udara.
Kaulah yang membuat yang ada jadi merunduk. Menyebut namamu. Menyebut dengan suara lirih atau patah-patah. Suara yang terdahulu
atau yang terkemudian. Seperti suara si terusir ketika mesti bersujud. Membenamkan wajah ke pasir.
Untuk menunggu kapan langkahmu melintas. Langkah yang pernah membelah waktu dan menjahitnya ulang. Langkah yang pernah memanjat tujuh lapis ketinggian. Lalu, kembali turun ke tempat asal. Tempat yang semerbak dengan aroma kasturi. Tempat yang meruah dengan sepasang janji dan kesaksian.
Yang membuat si pendusta bersedia untuk sekali saja berkata jujur. Meski, setelah itu kembali berkobar. Dan kembali lagi menjulang.
Seakan ingin menyergapi bebintangan. Bebintangan yang dalam senyummu menjelma jadi hasrat yang tak sudi mundur. Hasrat yang mencari, di mana nanti kau sampirkan jubah itu.
Jubah yang membuat si lumpuh seketika terhenyak dan menegak.
Terus memuji: ”Apa karena mengingatmu, sampai mata ini basah bercampur darah, hai, hai.”
(Gresik, 2017)
Turi-Turi Putih
: meminjam puji-pujian itu
Turi-turi putih ditandur di kebun agung. Ada cemleret jatuh
nyemplung. Kau kira itu kembang apa. Itu kembang
kenanga. Yang mekar di dalam gua. Ketika kau berangkat
atau diberangkatkan. Dengan kereta yang beroda
manusia. Dan ketika segala yang ada di sisimu melambai.
Terus berkata: ”Di suatu saat, kami pernah bersamamu.
Dan di suatu saat yang lain, kau hanya desir. Atau risik. Atau
kelebat enteng yang bergulir.” Tapi, waktu terus saja
bergerak. Dan kereta yang beroda manusia terus melaju.
Adakah hal yang masih kau kenang. Adakah hal
yang masih kau angan. Air matamu pun tergenang. Tapi, tak
ada lagi arah kembali. Lamat-lamat, kau pun mendengar
gumam si guru: ”Anak Gembala, panjatlah pohon belimbing
itu. Biar licin, biar susah, ayo, panjatlah. Petik belimbing
yang ranum. Untuk membasuh bajumu yang robek. Terus jahit,
jahitlah, agar nanti sore bisa menghadap. Dan malamnya,
kita pun menikmati purnama yang sempurna. Yang merona.
Purnama yang menjembar. Sorak, soraklah: ayo.”
(Gresik, 2017)
Pohon Tin
Pohon tin luka diberi tali. Tepilah yang akan dibawa mati.
Mungkin aku rabun dan tuli. Tapi tegak jiwa yang bakti.
Pelana jeriji dua tebu. Biji si gunung kelabu penuh pelita.
Mana janjimu padaku. Janji untuk selalu membawa serta.
Halaman sawah di pojok. Pesat melayangkan segelas jamu.
Padahal telah aku jolok. Pusat taman kahyangan untukmu.
Dini hari sirih merambat. Payung berbaris penuh kumbang.
Kini segalanya terlambat. Di ujung kerismu aku tumbang.
Melati terbelalak ranah merata. Mungil benar buah belewa.
Pasti kelak ada yang berkata: ”Lihat, si kecil yang kecewa.”
Penjaga buta daun cempaka. Loncat belanak kekal dipupus.
Untukmu, untukku, untuk mereka, ukuran tak akan terhapus.
(Gresik, 2017)
Ronce
Membingungkan. Sudah tua tetap mencari Tuhan.
Celingak-celinguk di jalanan. Menjawili yang
lewat. Dan berkata: ”Aku sedang mencari
Tuhan. Siapa yang tahu. Tolong beritahu
di mana adanya.” Waktu itu tak ada yang
menggubris. Apa yang terjadi seperti kisah
tentang gairah di mulut, pecah di kepala.
Membingungkan. Sudah tua tetap mencari Tuhan.
Meraba-raba tembok. Mengelupasi lubang bekas
paku. Terus bersaksi, jika jantungnya juga
berlubang. Lubang yang dalam. Lubang yang
jika ditiup akan mendengungkan bunyi sengau.
Seperti bunyi dari gerak-gerak yang melingkar.
Yang memukul-mukulkan batu ke lantai.
Membingungkan. Sudah tua tetap mencari Tuhan.
Terlentang di rerumput taman. Menatapi awan
berarak. Dan mengharap, suatu saat, dari tengah
awan itu, Tuhan akan turun. Turun dengan jubah
yang ujungnya tak berdepa. Yang akan melingkupi
setiap yang ada. Yang lurus atau mencong. Yang
samar atau gaib. Dan yang cuek atau tidak.
Membingungkan. Sudah tua tetap mencari Tuhan.
Pagi berangkat. Sore pulang. Malamnya gelisah
di tikar. Dan merasa bermimpi di dalam keraton.
Di mana Tuhan berdiri anggun. Di sebelahnya dia.
Lalu, seperti sepasang kekasih, pun bercengkerama.
Sayangnya, mimpi ini tak boleh berlanjut. Sebab,
akan banyak yang menyebut: ”Penyeleweng.”
(Gresik, 2017)
Menara Kaktus
: seperti harjuna sasrabahu
Dari negeri sebelah aku didatangkan. Dibungkus daun jati.
Diikat gelang rotan. Seperti tanda mata yang dihadiahkan
oleh si pencinta kepada yang dicintainya. Ketika ujung jauh
tak lagi punya arti. Bagi rasa sayang dan saling berbagi.
Dan di bandar itu. Tempat seratus kapal besar bersandar.
Seratus kapal yang mengingatkan sekawanan paus yang
berjemur. Setelah melintasi sekian samudra. Aku diserahkan
dan ditelisik. Apa aku luka. Atau gering. Atau mengusung
semacam jamur. Jamur, yang kabarnya ingin melepuhkan
setiap yang tumbuh dan menumbuh. Sampai taman, yang
diturunkan dari sorga oleh si adik panglima yang bermuka
buruk, pun hampir melepuh. Dan itu membuat nyali si raja
berderak. Terus bertitah: ”Apa yang telah terjadi. Kenapa
ada hal tak terduga yang luput dari jangkauanku?” Tapi, kini,
semuanya telah beres. Aku bebas dari semua arah telisikan.
Dengan sentuhan ajaib si tukang kebun pilihan, aku pun
menegak tinggi di pusat taman itu. Dan saking tingginya,
aku lebih mirip menara kaktus daripada gumuk. Menara
kaktus dengan duri-duri yang bertaburan. Menara kaktus
yang tersentak. Ketika dalam duel yang mendebarkan
itu, tersaksikan, bagaimana si raja membiarkan dadanya
terbuka. Terus tertembus senjata si penantang. Si penantang
yang sekaligus si ksatria. Si ksatria yang sekaligus si pencinta
ayah-ibu. Hanya karena ingin menyingkap sebait teka-teki:
”Siapakah dari keduanya yang memang bisa digugurkan?
Si raja ataukah si penantang? Sebab hidup sudah terlalu
lama. Dengan kuasa keabadian yang berbongkah-bongkah.”
(Gresik, 2017)
Malam Kenanga
Malam ini ke pantai. Pantai yang telah diuruk. Dijadikan terminal. Juga warung. Warung. Dan warung. Dan di salah satunya, orang-orang duduk santai. Ngomong tentang tangkapan ikan yang kurang. Sandaran perahu yang jauh dan dangkal. Serta bebintang yang satu per satu mulai tak kelihatan. Mungkin minggat. Mungkin rontok. Mungkin juga dimakan jin. Jin garang yang suka membikin gerhana. Tapi kerap bersembunyi di gelap langit. Ketika malaikat melintas. Menabur rezeki di permukaan laut. Rezeki bagi jaring-jaring yang ditebar. Yang kini mulai teronggok. Seperti onggokan sarang tikus yang kusam. Tikus tongtong dengan bulu sekasar tali ijuk. ”Sebentar lagi, kita tak mungkin lagi bisa ke laut,” kata seorang yang berwajah sedikit burik. Terus menyesap kopi. Dan orang-orang yang mendengar terdiam. Terbayang, laut adalah saudara. Saudara yang siap
menyambut kapan saja mereka datang. Lalu, dari warung sebelah kiri, menyeruak lagu dangdut koplo: ”Buka sitik, jos!” Lagu dangdut yang menyala. Seperti nyala lampu angkutan yang keluar-masuk terminal. Yang jika saja redup sedikit, akan mengingatkan pada nyala kunang- kunang. Kunang-kunang yang dulu diburui anak-anak. Dimasukkan ke toples. Terus disimpan di kolong ranjang. Berharap, jika pagi menjelang, akan menjelma jadi bebutir gundu warna-warni. ”Sudah, jangan ngelantur,” potong seorang yang lain lagi. Dan meledaklah tawa semuanya. Tawa yang melayang. Dan melayang. Terus
tersangkut di spiker sebuah masjid. Spiker yang pas mengumumkan berita, bahwa baru saja Wak Tumbar meninggal. Besok pukul 9 pagi akan dikubur. ”Padahal, tadi sore masih keluyuran. Benar-benar tak disangka,” sela orang-orang bersamaan.
(Gresik, 2017)
Mardi Luhung lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Buku puisinya antara lain Jarum, Musim dan Baskom (2015), dan Teras Mardi (2015).
Komentar
Posting Komentar