Langsung ke konten utama

Postingan

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...

Berburu Kijang Pincang oleh Fariq Alfaruqi

25 Februari 2017 Fariq Alfaruqi Berburu Kijang Pincang Kalau sudah lepas kijang ke rimba padang datar akan kupinta untuk segera melupakan bercak jejaknya selayaknya rahasia yang dikubur dalam mulut para pendusta. Dengan semak ilalang, aku kaburkan segala gelagat yang mampu diringkus oleh udara bau amis dari robekan tungkainya yang luka suhu ketakutan yang menguar sebagai panas-dingin tubuhnya. Jalinan akar, tanah gambut, tebal rumput serta lembab lumut adalah serikatku bakal peredam rintih, erang, engah juga gemerincing rasa bersalah pada pincang langkahnya. Agar pengintai bermata elang pun silap membidik bayangannya pengendus berhidung anjing pun kalap melacak persembunyiannya. Kalau sudah melintas kijang di ambang pintu rimba aku katupkan segala celah bagi cahaya dan membiarkan gelap menaunginya. Perburuanmu telah usai sebelum tunai ujung tombak tak akan pernah tertancap anak panah tak bakal sempat melesat. ”Tapi jerat mana yang digulung sebelum...

Apostolos oleh Erich Langobelen

18 Februari 2017 Erich Langobelen Apostolos : untuk Subagio Seharusnya dalam berlayar Tak perlu mereka memiuhkan ketakutan Pada lerai angin ataupun musim Dan mendaraskan Pater Noster atau Mea Culpa Dengan liat lidah seorang mempelai Namun fasih menusukkan kelat lembing ke uluhati ”Akankah ada pagi Di ujung mata ini?” Telah pecah cahaya di langit Dan ada yang tak kembali dari angin ”Maka berdoalah Jika doa bisa menceritakan dengan amat hati-hati Berita yang lain daripada kesepian kepadamu, Seperti ujung sebuah lagu yang merdu tetapi pilu!” Sebab tubuh gerimis yang dingin Sejak subuh dikikis Kaki malam yang hitam Dan 99 ganggang remang Kolong langit yang gelap Dan setiap siasat yang menyesak Ketika batuk menjelma Ombak yang pecah dalam dada Telah menyiratkan peperangan Dan menelurkan kehilangan ”Mungkin pernah didengar di sini, Laut tempatMu berbagi. Atau hidup atau mati. Tapi kami menagih janji Dalam kitab tua ini.” Kemudian riak air yan...

ajisaka oleh Dadang Ari Murtono

11 Februari 2017 Dadang Ari Murtono ajisaka ”jangan sentimentil, dora,” junjungan kaum shaka itu berkata, panggung panjang dan lengang, cahaya menyanyikan madah dari negeri kematian dan tiga detik sebelumnya, dora berujar, ”aku tak tahu bila cahaya bisa bernyanyi” sementara di tapal pemberangkatan, sembada menambal kapal yang berlubang, ia sudah habis airmata, ia sudah habis kata-kata meski sejak jauh hari, ajisaka telah berulang mengingatkan ”kelak kau harus berkata keras dan berhati keras dan berkepala keras dan menendang keras” keesokan harinya sauh diangkat, angin menggembungkan layar ”jangan bersedih, abdi, ini hanyalah drama dengan naskah yang ditulis di ujung” panggung penuh air dan tak ada lambaian *** di pulau muda itu, konon, gunung-gunung baru ditanam, magma baru dijinakkan, dan para raksasa hanya tahu cara memakan manusia di puncak salah satunya, sebilah keris ditinggal dalam liang gelap gua ”kau harus tinggal di sini, sembada, bersama ...

Aku Merindukan Wajahmu oleh Acep Zamzam Noor

4 Februari 2017 Acep Zamzam Noor Aku Merindukan Wajahmu Aku merindukan wajahmu seperti halnya putik bungur Menanti datangnya pagi. Di pematang aku memetik kecapi Ketika burung-burung berkicau bersama hangat matahari Siang bergerak menapaki gunung yang memanjang ke barat Aku mengenangkan wajahmu seperti halnya bunga kemboja Rindu pada gundukan tanah. Bukankah cinta dan kematian Ibarat saudara kembar? Sebelum rembang petang menutup Rumbai-rumbai kabut mengambang di atas perkebunan teh Kadang aku melukiskan wajahmu seperti halnya bulir embun Memberikan tekstur pada daun. Aku menyusuri ladang tomat Membayangkan segala kesegaran di bumi adalah rona pipimu Kadang aku melupakan wajahmu seperti halnya kelelawar Memilih pohon besar. Berbulan-bulan sembunyi di kuburan Sambil merumuskan bahwa aku sesungguhnya kembaranmu 2016 Amanat Galunggung Kuikuti langkah kabut yang samar di antara deretan pinus Daun-daun yang runcing nampak berserakan di atas tanah Siang teras...

Radhar, Melembutkan yang Garang

Radhar, Melembutkan yang Garang Mohammad Hilmi Faiq 29 Januari 2017 Kompas/Riza Fathoni Pentas teatrikal puisi karya Radhar Panca Dahana, “Manusia Istana”, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (27/1). Puisi-puisi Radhar Panca Dahana dalam buku “Manusia Istana” begitu garang, penuh kemarahan, dan banyak luka. Marah dan luka itu mewakili perasaan banyak orang terhadap penguasa. Dalam puisi teatrikal bertajuk “Manusia Istana” yang dipentaskan di Teater Jakarta, Sabtu (28/1), enam perempuan cantik mampu memiuhkan kesan garang dan marah. M anusia Istana yang dipersembahkan oleh Teater Kosong bekerja sama dengan OZ Production dan Kasni Indonesia menampilkan Olivia Zalianty, Marcella Zalianty, Maudy Koesnaedi, Cornelia Agatha, Prisia Wulandari Nasution, dan Dinda Kanya Dewi. Juga ada Slank, Tony Q Rastafara, dan Radhar Panca Dahana. Radhar merangkap penampil sekaligus sutradara. Kompas/Riza Fathoni Pentas teatrikal puisi karya Radhar Panca Dahana, ...

Amsal Gerabah oleh Kurnia Effendi

21 Januari 2017 Kurnia Effendi Amsal Gerabah – dari penyair penggemar kartu pos kepada penyair pemuja keramik Tiada hari libur bagi segunduk lumpur Dia patuh pada mantra yang tak utuh Berputarlah, meniru penari dengan satu kaki Gemetarlah, sekujur tubuhnya diremas jemari Tak terungkap niat awal Hendak menyamar guci tempat menginap arwah Atau cawan kemilau bagi sesaji rempah Di ceruk ini, cahaya lahir dan mati, silih berganti Ketika timur menjadi tujuan perjalanan Sungai dan rawa mempersembahkan petuah Sebuah rahasia yang tak ingin mengubah nasib Disimpan kekal di bawah glazur: bening yang menipu Paso demi paso bercerita melalui tattoo demi tattoo Selingkar jejak naga berhenti di ambang kuil Hujan, angin, dan telengas matahari Memadatkan pengetahuan tentang kematian Setelah kujinakkan adonan tepung, santan, dan gula Kupinjam tungku gerabah kesayanganmu Di atas bara kayu yang terus mrengangah Kucetak wajahmu, kupanggang setengah matang Jakarta, 2016 ...

Selip oleh Mardi Luhung

7 Januari 2017 Mardi Luhung Selip : hari raya korbannya tuning Seekor kambing dikorbankan. Ruhnya terbang ke langit. Bunyi keliningan di lehernya mengalun. Tapi, apa semua bisa mendengar? Hanya yang pernah berbicara pada kran air yang mengucur. Pada geretas ikan di wajan penggorengan. Juga pada gemeresik daun kering yang rontok. Terus jatuh persis di lubang semut. Yang bisa mendengar. Lubang semut yang tiga hari lalu belum ada. Dan lubang semut yang mungkin seminggu ke depan akan disapu banjir. Memang, ruh seekor kambing yang dikorbankan adalah dunia yang tak terkira. Dunia tentang waktu yang terlipat. Waktu, di mana, kau bisa menemui diri-dirimu yang lain. Yang di umur tiga-belas, dua-lima, lima-satu, enam-tujuh, atau ketika yang pas bermuka-muka dengan si penjemput. Si penjemput yang pernah dikatakan sebagai si elok dengan senyum rahasia. Si penjemput yang uluran lengannya seluas jagat. Tapi selembut angin yang bertiup dari bukit. ”Jangan takut, Sayang, jangan takut,” be...