Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Apostolos oleh Erich Langobelen

Erich Langobelen

Apostolos
: untuk Subagio

Seharusnya dalam berlayar
Tak perlu mereka memiuhkan ketakutan
Pada lerai angin ataupun musim
Dan mendaraskan Pater Noster atau Mea Culpa

Dengan liat lidah seorang mempelai
Namun fasih menusukkan kelat lembing ke uluhati

”Akankah ada pagi
Di ujung mata ini?”

Telah pecah cahaya di langit
Dan ada yang tak kembali dari angin

”Maka berdoalah
Jika doa bisa menceritakan dengan amat hati-hati
Berita yang lain daripada kesepian kepadamu,
Seperti ujung sebuah lagu yang merdu tetapi pilu!”

Sebab tubuh gerimis yang dingin
Sejak subuh dikikis
Kaki malam yang hitam
Dan 99 ganggang remang
Kolong langit yang gelap
Dan setiap siasat yang menyesak

Ketika batuk menjelma
Ombak yang pecah dalam dada

Telah menyiratkan peperangan
Dan menelurkan kehilangan

”Mungkin pernah didengar di sini,
Laut tempatMu berbagi.
Atau hidup atau mati.
Tapi kami menagih janji
Dalam kitab tua ini.”

Kemudian riak air yang koyak
Meski dengan rahasia yang tak dinyana
Menangkap sedikit garis cahaya
Dengan putih yang betah

”Maka sebagai kesempatan
Sesungguhnya cinta adalah lebih yang selalu
Dari segala yang kau ucapkan.”

Akan tetapi di lunas perahu yang sama
Semenjak Tiberias adalah masa lampau
Dan terus mengalir sebagai samudra
Yang menyentuh langit dari bumi

Dusta adalah cerita yang hidup
Dan tak habis dibagi

”Tetapi cinta kami, Yesua, seluas kehidupan
Bahkan laut bahkan langit.”

Demikian kepadaNya mereka kerap berhuja
Setiap kali kematian makin akrab

”Mengapakah cintamu hanya seluas kehidupan?
Maka berdoalah!
Pun jika dalam kesetiaan
Doa bisa menceritakan dengan amat hati-hati
Dosa dan kesedihan kepadamu!”

(2016)



Pelajaran Menghitung, 1

Demikianlah ia dengar lagu dari bayang-bayang
Ketika seekor burung mengecil di senja tenang

”Kutahu peta ini akan terbaca juga,”
Ia lihat telapak tangannya.
”Tidak dari koran atau cuaca esok lusa.”

Sementara tetinggi pohon
Di luar pintu

Tak terjumlah dari sini
Seperti selalu ada yang tak ingin dipilih

Baiklah ia turuti waktu yang menetak
Leher demi leher

Sebagai penjaga malam

(2016)



Pelajaran Menghitung, 2

Dengan senja yang sama
Ia temukan sisa usia

Meskipun tak dipastikannya jauh perjalanan
Dipahaminya betul apa itu perpisahan

Perjumpaan hanyalah perkenalan
Pada hidup dan kehilangan

Seperti pada peron lelah itu
Napas yang dingin adalah menunggu

Sebelum sederet jadwal terlepas
Sebelum kenyataan berkemas

Dan sebuah kereta akhirnya berangkat
Dengan sedikit fonasi

Dan sisa bunyi
Yang pelan-pelan tenggelam

(2016)



Oculus, 2

Sepasang cantik yang lahir tanpa upaya
Dan diam dalam matamu, ketika segala

Yang bersahaja dan bercahaya
Menyaru embun dari embung pertama

Serta binar terakhir sebelum petang menjelma
Gelap dari segala rahasia yang terbuka

Mengingatkan mereka akan barik dan selekeh
Penyusun dinding menara yang tumbuh belaka

Tempat di mana berdoa adalah pekerjaan tanpa batas
Kepada Entah, kepada yang tanpa arah dan jarak

Maka sesekali mereka menghela napas
Dan mendoakan setiap berhala

Sebab melupakanmu
Sebagai upaya mencintai tanpa mengingat
Adalah pekerjaan paling sia-sia

Seperti puisi yang selalu gagal
Setiap kali memisahkan masa lalu

(2016)



Ke Hadapan Rahasia

Berikanlah kepada kami, ya Entah
Yang lain dari harapan
Seperti basah hujan
Membasuh tanah yang subur
Sebelum panas memaksa mundur

”Tiada lagi sungai dari hulu
Tiada lagi yang mengalir sejak subuh.
Mungkinkah di dunia
Surga selalu terlambat?”

Sebab ketakutanku ialah waktu
Kian jujur menghitungku

Atau bekerja atau menunggu
Dengan putih uban yang gugur
Dan sisa hitam pada umur

Maka, berikanlah, ya Entah
Sudah pagi hampir siang

Sebelum tiba gelap dari seberang
Dan burung pulang ke sarang

(2015)

Erich Langobelen lahir 29 Januari 1994 di Lewoleba, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Ia bergiat di Komunitas Sastra Teater Tanya Ritapiret dan Komunitas KAHE Maumere. Bukunya yang telah terbit adalah Luna (2015) dan Mausoleum (2016).





Surya Gemilang

Kabar dari Buku

berita hari ini:
tak ada buku yang berjalan di tangan.
tak ada buku di pangkuan, bangku taman,
atau di ruang-ruang senyap.
tak ada buku pascamakan. tak ada buku
prapemesanan.

tak ada buku yang meminjam mata
– untuk berjalan –
setelah truk pengangkut ”masa kini”
menabrak logika yang menyeberang jalan
sembarangan.

(Jakarta, 2016)



Storyboard

kau sebelum menjadi ”kau”. warna gelap sebelum
sebuah cerita, secara diam-diam, menerobos belantara
sebuah kamera. kau sebelum menjadi ”kau” yang tak
lama kemudian akan di-”aku”-kan. kau sebelum menjadi
”kau” yang akan dirindukan oleh layar bioskop dan kapal
yang oleng berkat rasa mualmu.

(Jakarta, 2016)



Kepompong Kata

makna di dalam kepompong. kata yang membusuk
menghujani pinggiran jalan
seperti cahaya lampu kendaraan.
kulit definisi mengering. menipis. tumbuh retak di mana-mana
sedangkan makna seperti mencurangi waktu.

disetubuhi lidah dan liur, kata sanggup berganti pakaian.
berganti tubuh.
yang satu tetap aman di kapal kamus. sisanya
liar memangkas kultur.

(Jakarta, 2016)



Kartu dan Mayat-mayat

mayat-mayat bermain kartu:
selembar uang,
pipet-pipet ringkih,
asam udara yang purba.

langit sudah malam sejak beberapa jam
yang lalu
– sajakku tidak

keinginanku belum.

*

saku kemih oh, betapa penuh
melangkahlah ke toilet:
seonggok daging yang basi, yang bisu,
mengambang di air kloset,
kausangka kapal.

lidah lampu terjulur
menjilat kelamin kegelapan
mengecap pangkal rembulan di mata kakiku.
tembok satu tembok dua begitu retak
seumpama ubun-ubun:
apa yang kaupikirkan adalah
apa yang tak mungkin kaulakukan

apa yang kaurasakan adalah
apa yang tak mungkin kautuliskan!

(Denpasar, 2016)


Surya Gemilang lahir di Denpasar, Bali, 21 Maret 1998. Mengejar Bintang Jatuh (2015), sebuah kumpulan cerita pendek, adalah buku perdananya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi