Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Radhar, Melembutkan yang Garang

Radhar, Melembutkan yang Garang

Mohammad Hilmi Faiq

Kompas/Riza Fathoni
Pentas teatrikal puisi karya Radhar Panca Dahana, “Manusia Istana”, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (27/1).
Puisi-puisi Radhar Panca Dahana dalam buku “Manusia Istana” begitu garang, penuh kemarahan, dan banyak luka. Marah dan luka itu mewakili perasaan banyak orang terhadap penguasa. Dalam puisi teatrikal bertajuk “Manusia Istana” yang dipentaskan di Teater Jakarta, Sabtu (28/1), enam perempuan cantik mampu memiuhkan kesan garang dan marah.


Manusia Istana yang dipersembahkan oleh Teater Kosong bekerja sama dengan OZ Production dan Kasni Indonesia menampilkan Olivia Zalianty, Marcella Zalianty, Maudy Koesnaedi, Cornelia Agatha, Prisia Wulandari Nasution, dan Dinda Kanya Dewi. Juga ada Slank, Tony Q Rastafara, dan Radhar Panca Dahana. Radhar merangkap penampil sekaligus sutradara.




Kompas/Riza Fathoni
Pentas teatrikal puisi karya Radhar Panca Dahana, “Manusia Istana”, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (27/1).

Manusia Istana memanggungkan 20 puisi yang diambil dari 36 puisi dalam buku Manusia Istana. Dua puisi di antaranya digubah menjadi lagu, yakni “Indonesia Jalanan” oleh Tony dan “Kabut Sebuah Negeri” oleh Slank. Puisi-puisi itu penuh kritik dan reflektif.

Radhar seolah membangkitkan kembali kesadaran eksistensial kita sebagai rakyat yang telah begitu lama dibodohi penguasa. Dalam “Sejilid Komik Kritik-Politik” yang dia bacakan sendiri, Radhar menyoroti perilaku para elite politik, wakil rakyat, dan aparatur negara tak ubahnya hiburan murah. Bagaimana mereka menggulirkan perdebatan tentang kebijakan yang dibalut retorika demi kesejahteraan rakyat. Namun, di balik itu mereka menggelar tawar-menawar harga. Juga dibalut tekanan dan ancaman demi keuntungan seseorang.

Maka, tata negara tak ubahnya tata kapita. Rakyat menjadi tumbal konstitusi demi pengumpulan modal. Yang tersisa tinggallah kebodohan dan kemiskinan. Rakyat selalu menjadi obyek penderita. Itu semua berulang seperti tontonan.

//di kursi penonton/sinema itu tetap memesona/wanita cantik hero yang tampan/negeri kini tinggal hiburan/direproduksi untuk bisnis sampingan// betapa lucu gaya pimpinan/pahlawan lugu tidur kemalaman/rakyat senang menjadi korban//komik ini, komik politik/entertainment tak ada habisnya/kesenangan di sisa jiwa//.

Radhar membaca puisi itu dengan busana seolah koki, sambil memasak. Dia sekenanya saja mencacah kol, menumis wortel, dan memasukkannya ke dalam air yang dia jerang. Di akhir puisinya, Radhar membanting pisau disusul gambar percikan darah di latar belakang panggung. Adegan itu sebagai simbol betapa rakyat selalu menjadi mainan penguasa.

Hari-hari ini, permainan itu antara lain terkuak ketika Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan kasus suap. Lebih banyak orang yang tega daripada iba kepadanya. Inilah yang disebut Radhar sebagai tontonan.

Apakah rakyat tidak marah? Rakyat marah, tetapi sering kali tidak menemukan saluran yang pas. Mereka butuh katarsis untuk menyalurkan energi marah yang demikian memuncak itu. Pada saat itu, rakyat malah sering terjebak oleh elite politik yang sibuk menebar janji demi kekuasaan.
Dinda Kanya Dewi secara satire lewat “Kampanye Hari Ke-5” menjabarkan cara politisi membela rakyat dengan cara seolah-olah. Membangkitkan semangat rakyat untuk melawan yang ujung-ujungnya demi keuntungan si elite politik.

Kemunafikan dan muka dua menjadi tabiat bagi para penguasa. Mereka memasang wajah tanpa dosa dan bahkan seperti penghuni surga. Padahal, kelakuan tak jauh lebih suci daripada mucikari pinggiran kota. Ini serupa gambaran dalam “Kamar 608 Hotel M” yang dibaca Prisia.

//ahh…denting anggur memecah merdu/melon kristina. tubuh mengilap tanpa kain/tanpa sungkan berenang di ranjang: “pagi ini, kita tentukan kepala keuangan, malam nanti kita ketuk palu presiden, mitnait, haus musik dan janda sinetron”//dan besok pagi, upacara agama” hahaha….”//.

Rakyat ditipu habis-habisan oleh mereka. Orang-orang istana makin kaya, sementara di bawah sana tersisa ribuan Misna. “Yang Sisa di Daster Misna” bercerita tentang Misna perempuan berusia 36 tahun yang harus menghidupi diri dan kedua anak belianya, Lili (6) dan Tata (4). Mereka tinggal di rumah dengan atap yang runtuh, lantai terjungkit, dan dapur tersedak.

Ketika kesulitan hidup tak mampu lagi dia panggul, Misna membuka dasternya untuk, “dedemit yang tersenyum di lipatan lemak 83 kilo, bau nikotin, dan air liur peradaban tua”. Dia rela mengoyak harga dirinya demi kedua anaknya. Sementara para manusia Istana menjalani hidup dengan biaya serba ekstra.

“Bahkan kertas tisyu, harga sebulan susu anakku,” kata Maudy saat membaca “Di Toilet Istana”.

Membunuh bosan
Bisa dibayangkan menonton pembacaan 20 puisi selama hampir dua jam. Bagi penonton yang tak begitu suka dengan rima berpotensi dibelit bosan menonton Manusia Istana. Apalagi, bahasa puisi-puisi Radhar cenderung filosofis yang maknanya tak bisa ditangkap begitu saja. Radhar sangat sadar itu sehingga meramunya dengan beberapa variasi pemanggungan.

Peran Azis Dyink sebagai penata cahaya, Yandi pada visual maping, dan Aidil Usman pada tata artistik sangat menentukan. Multimedia yang begitu variatif didukung dengan tata cahaya yang artistik menjadikan panggung malam itu ramah di mata. Penampil sering kali muncul dari kegelapan dengan sorot lampu spot sehingga fokus penonton terjaga.

Bahkan, penonton sempat diberi kejutan dengan penampilan Marcella yang muncul dari kerumunan penonton saat membaca “Air Mata Umara 2” pada puisi ke-14. Saat itu, tiba-tiba lampu teater yang gulita menjadi terang. Dia duduk dengan baju longgar dan kerudung serba putih. Lalu, perlahan bangkit menuju panggung. Lena penonton sejenak hilang.

Variasi lain yang cukup segar dihadirkan Tony lewat lagu “Indonesia Jalanan” dengan irama reggae. Lirik lagu ini diambil dari puisi berjudul sama. Begitu juga dengan Slank yang mentransformasi puisi “Kabut Sebuah Negeri” menjadi lagu rancak.

Dua lagu itu turut mengurangi energi marah dalam kata-kata puisi Radhar. Yang lebih efektif mereduksi kesan marah itu tentu saja enam perempuan cantik tadi. Inilah alasan sadar Radhar.
Dia ingin meninggalkan tradisi sastrawan lama yang cenderung frontal ketika melontarkan kritik kepada penguasa. Bahasanya penuh amarah dan disampaikan dengan garang. Dengan menghadirkan wajah-wajah ayu, Radhar mengubah pesan yang garang menjadi lebih lembut. “Ada penghalusan dalam bentuk, meskipun retorika dan diksinya berat. Supaya pesan itu sampai dengan baik, tidak diterima dengan marah. Siapa yang mau marah kalau yang baca Maudy, Cornelia, atau Ollivia,” kelakar Radhar.

Begitulah, yang ayu memiuhkan yang keras dan kaku. Keanggunan meredam kemarahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi