Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Selip oleh Mardi Luhung

7 Januari 2017
Mardi Luhung

Selip
: hari raya korbannya tuning

Seekor kambing dikorbankan. Ruhnya terbang ke langit. Bunyi keliningan di lehernya mengalun. Tapi, apa semua bisa
mendengar? Hanya yang pernah berbicara pada kran air yang mengucur. Pada geretas ikan di wajan penggorengan. Juga pada gemeresik daun kering yang rontok. Terus jatuh persis di lubang semut. Yang bisa mendengar. Lubang semut yang tiga hari lalu belum ada. Dan lubang semut yang mungkin seminggu ke depan
akan disapu banjir.

Memang, ruh seekor kambing yang dikorbankan adalah dunia yang tak terkira. Dunia tentang waktu yang terlipat. Waktu, di mana, kau bisa menemui diri-dirimu yang lain. Yang di umur tiga-belas, dua-lima, lima-satu, enam-tujuh, atau ketika yang pas bermuka-muka dengan si penjemput. Si penjemput yang pernah dikatakan sebagai si elok dengan senyum rahasia. Si penjemput yang uluran lengannya seluas jagat. Tapi selembut angin yang bertiup dari bukit.

”Jangan takut, Sayang, jangan takut,” begitu kata si penjemput. Tapi siapa yang bisa tidak takut, jika pintu baginya akan ditutup.

Ruh seekor kambing yang dikorbankan pun terus terbang. Dan yang tadi bisa mendengar alunan bunyi keliningan di lehernya, pelan-pelan mendongak. Terus menyaksikan: Awan-awan yang menggumpal. Rerumputan dan pepohonan yang tumbuh di permukaannya. Seperti tumbuhnya sebuah pulau yang baru. Dan pulau yang akan diturunkan ke hati siapa saja yang percaya: Jika
di celah sempit sebuah jurang, kerap terselip sekuntum bunga

yang luwes.

(Gresik, 2016)


Biduan
: bajak lautnya aji ramadhan

Biduan itu menyanyikan lagu untukmu. Lagu yang cuma tiga menit. Lagu tentang hidupmu yang abadi. Hidup yang berkitaran di pusaran ombak dan badai. Pusaran yang selalu kau tatap dari dek kapalmu. Sambil sedikit mabuk dan menyeru pada geludug yang tumpah. Sampai apa-apa yang ada di permukaan jadi menyala.

Dan menyalakan apa-apa yang semestinya tersembunyi. Biduan itu menyanyikan lagu untukmu. Lagu yang ditutup dengan bunyi degup jantung dari segenap awak kapalmu. Segenap awak kapal yang garang. Yang tak lelah-lelah menggayuti udara. Sambil mengibas-ngibaskan rerambut sendiri. Rerambut yang hidup dan berliukan.

Seperti liukan phoenix yang muncul dari sarang yang terbakar. Sarang yang penuh api. Sarang yang kelak akan menjadi
telisikan bagi yang menyangka, bahwa hidup abadimu adalah keberkahan. Padahal, itu adalah kerumitan. Yang membuat bulan tak lagi bundar. Tapi lonjong. Dan lewat kelonjongannya akan menukas:

”Lihat, si yang abadi itu. Betapa zigzag langkahnya. Betapa tak pernah selesai yang dikerjakannya!”

Biduan itu menyanyikan lagu untukmu. Sambutlah dengan
telinga yang melebar. Meski, setelah itu, lorong samudra kembali terbuka untukmu. Dan kembali pula mengarahkan kapalmu agar lebih masuk. Dan lebih masuk lagi ke dalamnya. Sebelum
akhirnya tertutup. Menempel di sepanjang keliman cakrawala
yang oranye.

(Gresik, 2016)


Sisipan
: wak nur hasyim menjenguk mardi

Ketika sayembara itu dimenangkan. Terserah padanya mau meminta apa. Ternak sekampung. Uang segumuk. Atau si pendamping titisan sorga: ”Bolehlah.” Tapi, anehnya, dia cuma tersenyum. Dan ditunjuklah lembu. Lembu yang kurus. Yang mungkin sebentar lagi mati. “Baiklah, jika itu yang kau pinta,” kata si raja. Dan setelah si raja menyerahkan lembu, dia pun menuntunnya pulang.

Tapi, menurut kitab, lembu memang mati. Mati dengan perut yang membesar. Yang saking besarnya, cukupan untuk dirinya berdiam di dalamnya. Dan lembu pun kintir di sungai. Bablas ke lautan. Sedang dia (yang berdiam di dalam perut lembu), terbawa serta. Mungkin ke utara, atau ke barat, atau ke timur, tak ada yang peduli. Sampai kemudian, di sebuah pantai, dia keluar dari
dalam perut lembu.

Waktu itu, tujuh ekor burung melintas. Sedang, di pinggiran pantai, lima puluh ekor ikan menyembul. Sambil menggigit pena, stempel, benang, jarum, mutiara, bulu, serta kelereng kristal. Apakah dia akan memungutnya? Ternyata, dia kembali cuma tersenyum. Terus beranjak pergi. Menurut kitab juga, di sebuah hutan. Hutan yang penuh duri. Tersiarlah kabar tentang si penyendiri.

Si penyendiri yang punggungnya agak sangkuk. Dan kepalanya sesekali berbinar. Yang ketika purnama tiba, dari telunjuknya memancar berliter-liter susu. Sedang dari dadanya menyembul lelaron warna-warni. Lelaron warna-warni yang berlayangan. Yang ketika melayang pas di atas kampung, pun disergah:
”“Lihat, itu percik keringat langit. Ayo ditadahi!”

Tapi anak-anak yang mendengarnya, malah membayangkan: Sebentang aliran susu yang manis, akan mengalir ke kaki-kaki mereka.

(Gresik, 2016)


Zet

Aku bersepeda. Bersepeda dari A ke Z. Bersepeda
dengan pelan. Sepelan bunga yang mekar di semak.
Bunga yang sendirian. Bunga tanpa pengagum. Bunga
yang, ketika akan rontok, cuma berbisik: Dalam satu
kedipan waktu, ada sekian denyut yang aku denyutkan.

Dan dari sekian denyut yang aku denyutkan itu, ada
sekian denyut yang lain, yang lain, dan lain. Karenanya,
jika ingin menghentikan sepedaku, cukup kau tentukan,
denyut yang mana, yang mesti dihentikan. Dan sepedaku
pun menjadi milikmu. Milikmu yang juga sendirian.

(Gresik, 2016)



Lama atau Sejenak

”Aku tak peduli. Kembali, kembalilah kau.”
Tapi, telah redup setengah tenagaku.

”Aku tak peduli. Kembali, kembalilah kau.”
Tapi, telah rabun setengah tatapanku.

”Aku tak peduli. Kembali, kembalilah kau.”
Tapi, telah tumpul setengah pikiranku.

”Aku tak peduli. Kembali, kembalilah kau.”
Tapi, telah habis setengah binar waktuku.

”Aku tak peduli. Kembali, kembalilah kau.”
Tapi, aku tinggal setengah. Setengah saja.

”Aku tak peduli. Kembali, kembalilah kau.”
Tapi, apa yang diharap dari yang setengah.

”Aku tak peduli. Kembali, kembalilah kau.
Setengah atau kurang. Lama atau sejenak.”

(Gresik, 2016)


Capung Jarum

Tak ada yang bisa dilambai. Tak ada
yang bisa direngkuh. Terlalu benar
jika aku tetap menantimu. Menanti
di warung telpon yang telah kosong
itu. Dan, dulu, di situ aku pernah
menelponmu. Agar kau tetap sabar.

Dan percaya, jika bebunyian yang
sesekali melingkupi dirimu itu cuma
khayalan. Yang pernah kau sangka
sebagai ilham. Ilham yang menukas,
jika kau adalah capung jarum yang
bertubuh sebesar gajah. Tapi seringan

balon yang diminta si bocah di hari
ulang tahunnya yang ketujuh. Hari
ulang tahun yang dipenuhi pelukan
dan ciuman dari ayah, ibu, paman,
bibi, kakek, dan nenek. Padahal,
setelah semua selesai, kau tak lebih

kutu yang masuk ke dalam lubang.
Dan merasa, ada yang diam-diam
menantimu di sana. Dan membuka
pelan apa yang dulu tak berani kau
bayangkan. Bahwa dunia sebenarnya
begitu lembek. Tapi, yang berada

di atasnya, begitu ngotot untuk tetap
menegak dan melangkah. Membisik
dan mendesis. Menelusup dan melesap.
Seperti yang kerap dilakukan seorang
yang percaya, jika laut yang tampak,
semestinya berwarna belang telon.

Bukan hijau atau biru. Dan beburung
yang beterbangan adalah nyali gesit.
Nyali yang mudah diseru lidah. Juga
gampang disergap tatapan mata. Dua
organ indra, yang pernah kau duga,
sebagai hal yang biasa dipertukarkan.

“Halo, halo!” Aku telpon lagi kau dari
warung telpon yang telah kosong itu.

(Gresik, 2016)


Mardi Luhung lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Buku puisinya yang terbaru adalah Jarum, Musim dan Baskom (2015) dan Teras Mardi (2015). Ia tinggal dan bekerja sebagai guru di kota kelahirannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi