Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

ajisaka oleh Dadang Ari Murtono

Dadang Ari Murtono


ajisaka

”jangan sentimentil, dora,” junjungan kaum shaka
itu berkata, panggung panjang dan lengang, cahaya
menyanyikan madah dari negeri kematian
dan tiga detik sebelumnya, dora berujar, ”aku tak
tahu bila cahaya bisa bernyanyi”

sementara di tapal pemberangkatan, sembada
menambal kapal yang berlubang, ia sudah habis airmata,
ia sudah habis kata-kata
meski sejak jauh hari, ajisaka telah berulang mengingatkan
”kelak kau harus berkata keras dan berhati keras dan berkepala
keras dan menendang keras”

keesokan harinya sauh diangkat, angin
menggembungkan layar
”jangan bersedih, abdi, ini hanyalah drama
dengan naskah yang ditulis di ujung”

panggung penuh air
dan tak ada lambaian

***

di pulau muda itu, konon, gunung-gunung baru
ditanam, magma baru dijinakkan, dan para raksasa
hanya tahu cara memakan manusia

di puncak salah satunya, sebilah keris ditinggal
dalam liang gelap gua

”kau harus tinggal di sini, sembada, bersama
keris ini
sebab beginilah, hanya dengan beginilah, naskah
itu tidak akan terkhianati

ini hanya drama”

mereka tahu, sekian tahun ke depan
dua kematian akan terjadi di situ

”katakan kata kuncinya, katakan
meski pilu, meski tak ingin kita lalui”
dora berbisik

”hanya aku yang boleh mengambil keris itu,
hanya aku,” kata ajisaka dengan mata terpejam
angin buruk mengibarkan rambutnya
angin buruk yang menuju medang kamulan

***

”kita pahlawan atau penjajah, tuanku?”

”dora, dora, kita pahlawan karena begitulah yang tertulis”

”kita datang ke negeri asing, dan kita mengusir penguasa pribumi”

”dora, dora, kita mengusir para raksasa dan membangun peradaban manusia
sebab begitulah yang tertulis”

”tapi benarkah mereka raksasa? dan benarkah mereka memangsa manusia?”

”dora, dora, mereka raksasa dan mereka memakan manusia
sebab begitulah yang tertulis”

***
”jangan sakit hati, dewata cengkar
ini hanyalah drama,” ujar ajisaka
panggung menciut
laut meluas
dan ia mengudar selipat kain

debur ombak memanggil-manggil penguasa
dengan taring tumpul itu
ia tahu ia akan segera tertelan ombak
lalu menjelma seekor buaya putih
tepat ketika kain mengembang
dan ujungnya disentak

”kenapa aku tidak langsung melompat saja?”
ia tak mampu tak penasaran

”sebab penonton ingin pertempuran, cengkar,
sebab begitulah kisah-kisah agung dibangun”

***

ajisaka harus lupa pada apa yang dikatakannya
pada sembada, dora harus lupa pada pesan yang
dikatakan ajisaka pada sembada,
tiga tahun kemudian

tapi ajisaka mesti ingat kepada sebilah keris yang ia
titipkan kepada sembada, dan dora harus menerima
perintah untuk mengambilnya

”ambil dengan tanganmu sendiri, dora,
tak peduli bila kau harus mati”

***

sembada mencium bau kematian
dan ia ingat bahwa ia harus berkata dengan keras,
berkepala keras, berhati keras dan menendang keras,
sewaktu dora tiba

”inilah saatnya, saudaraku,” teriaknya

tiga hari panggung menjelma jadi palagan
dan pada hari keempat
sembilan liter darah dan tujuh puluh tiga liter
keringat menggenangi lantai

keris itu ngungun, udara singun
tiga ribu gagak menatali daging dan tulang dan sumsum

***

drama selesai sewaktu ajisaka tiba
dan sebagai aktor terbaik
ia lihai menangis dan menyesal

ia kubur sisa makan malam para gagak
dan menulis sebuah kisah dengan aksara
yang belum pernah dikenal pulau belia itu

hana caraka, ada utusan
data sawala, punya perselisihan
padha jayanya, sama saktinya
maga bathanga, sama matinya

***

setelah panggung ditutup
para pemirsa membikin teater di ujung
lidah mereka sendiri
tentang riwayat aksara jawa
dan menggelincirkan saka menjadi soko

dan mengubah raja kaum shaka
sebagai raja jawa awal mula



candi itu diam

candi itu diam
masih diam

dan angin berhembus
dan tiga helai daun mauni jatuh

”namaku lelono,” terdengar suara
”dan aku pernah di sini
suatu pagi
ketika berketi kayu dibakar
dan latu terbang ke nirwana

tapi mungkin tak ada lagi yang mengingatku
atau sekadar namaku”

dan candi diam
masih diam

dan angin berhembus
dan tak ada daun jatuh

abad berlalu
kitab mencatat raja-raja,
panglima, pemberontak,
resi dan ulama
juga penulis kisah yang tak rela
dirinya tak ada

”namaku lelono
aku pernah di sini
dengan banyak yang sepertiku
setelah paregreg selesai

sebagai mayat yang dikremasi”

candi diam
masih diam

dan angin berhembus

dan si juru kunci diam
dan seperti hari yang lalu
tak ada peziarah singgah



minakjinggo seda

ia melambai
dan tersenyum

namun malaikat mautnya
– yang konon pernah mati sebagai manusia
dan bangkit sebagai tokoh agung sebuah serat –
bersumpah ia meronta
dan meringis kesakitan

”ia minta ampun
tapi seperti yang kalian tahu
seorang pendosa mesti menanggung karma”

ia mendengar sobekan kulit
sayatan daging
patahan tulang

lalu doa terakhir dari kerongkongan
yang bocor

pada waktu itulah ia meragukan semua hal dalam khazanahnya
”apakah aku ada, benar-benar ada,
juga kenconowungu, juga damarwulan, juga
layang seta layang kumitir, juga lohgender,
juga anjasmara, juga kebo marcuet?”

tiga detik sebelum kepalanya
lepas dan tubuhnya rubuh
ia malah terkenang pada bhre wirabumi
dan narasinga
dan kali yang mengalirkan darah

ia merasa ada yang salah

”aku tak tahu siapa namaku!”


Dadang Ari Murtono lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku puisinya berjudul Ludruk Kedua (2016).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi