Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Seperti Pohon Tua oleh A Muttaqin

A Muttaqin

Seperti Pohon Tua

Seperti pohon tua, tinggi dan tua, kau diam dalam sunyi, sendiri
menunduk ke bumi, seperti nabi, atau sufi, atau orang-orang suci.

Seperti pohon tua, kau melahirkan petapa, melahirkan Buddha
burung-burung yang merdeka, juga semut yang tak lelah bekerja.

Seperti pohon tua, akarmu menancap ke bumi, daun-daunmu
merambah langit, jin-jin memelukmu bagai jelmaan kekasih gaib.

Seperti pohon tua, kepadamu Tuhan menitipkan tiga rupa sabda
untuk kau olah menjadi bunga, menjadi biji, menjadi buah-buah.

Seperti pohon tua, di daunmu sepi bekerja, matahari ialah kekasih
sejatimu yang kau cintai selapang berkah, setulus doa-doa.

Seperti pohon tua, kau karib dengan udara, oksigen, serta karbon
dioksida di mana cintamu yang lembut terpaut di tiap-tiap denyut.

(2019)



Mengerjakan Cinta

Semoga cinta

dan cium

dan kangenku

selalu tercurah

kepadamu.

Kau yang teberkahi, terjaga dari segala duli, buih dan birahi.
Kepadamu langit membuka diri. Pohon-pohon meliuk dan
menunduk. Kerikil dan batu menemukan ibu. Laut larut. Ikan-ikan
bergumam. Codot dan kelelawar melepas baju hitam. Tinggal
malam. Diam. Legam. Pelan-pelan kusebut namamu. Kata-kataku
menjadi capung-capung keemasan. Sebutir debu terbang dan
kembali ke bumi. Langit berlubang. Seberkas cahaya tumbuh dari
lubuk sepi. Meninggi. Menabur kelopak kembang putih. Di antara
tetaburan kembang itu kau berdiri. Sendiri. Berbaju cahaya putih.
Kelopak kembang bertaburan ke sana kemari. Menaburi letih.
Mengharumkan kuncup-kuncup mimpi. Sebagian menyerpih ke
puisi ini. Sebagian menjadi embun pagi. Sebagian lagi menyusul
siul burung-burung dan mengawal kaki-kaki si matahari.

Semoga cium

dan kangen

dan cintaku

selalu tercurah

kepadamu.

(2019) 



Kiai Gulung Kuming

Seuntai tasbih memutari sepi.

Sepasang terompah menjelma
menjadi dua ekor kuda.

Dua kuda itu berdiri
menoleh ke kanan ke kiri

lalu pergi mencari dokar lapar
yang tersesat di jalan pasar.

Seonggok jubah mangkak
menghadang dan berupaya

membujuk dua kuda itu
kembali.

Tapi kedua kuda hanya
meringkik tajam.

Bedug gemuk itu tersentak
dan meraih tabuhnya

lalu memukuli perutnya
sendiri.

Suaranya membuat genting-
genting surau itu bubar

tinggal usuk lapuk, reng-reng
kurus, dan batang belandar.

Langgar itu jadi lenggang,
gerompang, telanjang.

Angin lalu datang
menerbangkan tetirainya.

Seuntai tasbih berlepasan dan
biji matanya jatuh ke lantai.

Seorang orang tua berguling-
guling, gulung kuming

menyaksikan ini sembari
melihat helai-helai jenggotnya

terbang ke langit, seperti
hujan yang dipanggil kembali

oleh

Si Maha Sunyi.

(2019) 



Kafe 1

Kelak, jika kau mati, tubuhmu tumbuh menjadi tembakau, rohmu
mondok di batang-batang rokok, sakitmu meresap ke biji-biji kopi,
rindumu mengendap dan mendekap butir-butir asap, seperti puisi
mendekap bunyi, seperti mata mencari ruap kopi, seperti detak
jantung mencari juntrung di kerak-kerak cinta dan insomnia.

(2019) 


Kafe 2

”Jika rokok ini diracik dari tembakau dan cengkeh matang yang
dirajang perempuan tenang dengan doa dan cinta semata wayang,
bir ini pastilah diramu dari linang air mata, disuling dengan rindu
yang renggang dan rumpang, dicampur sedikit keringat dari birahi
perempuan genit serta banyu susu perawan rumit, agar kita dapat
leluasa menafsir cinta, menertawai bekas luka dan berkas buku
nikah yang hendak memenjarakan aku di kamar yang betapa indah
dan sia-sia,” begitu kau berkata, saat matamu masih murup
sementara lampu-lampu mulai redup dan kafe segera ditutup.

(2019) 



Kotak Sauna & Spa

Kancil coklat basah berlari di padang terbuka. Kelinci
merah muda mengajaknya ke sebuah telaga. Telaga uap.
Ada meja batu. Dan ranjang ungu. Dan semak-semak biru.
Dan payung sutra miring. Dan selembar langit kering.
Harimau mati meninggalkan sepi. Gajah mati
meninggalkan sepi. Kancil mati meninggalkan aku. Kelinci mati meninggalkan kau. Pohon mati meninggalkan burung.
Burung mati meninggalkan telur. Di kamar ini kita jaga
telur-telur itu. Jangan sampai mati. Jangan sampai menetas.
Jangan dikutuk menjadi tuntas. Sebutir telur telah kau
pecah di atas punggungku. Sembilan kepiting buta kau
bangkitkan di situ. Otot-ototku sekaku lidi sapu kau jadikan
bihun layu. Tiga ayam kate keluruk di tengkukku. Sinar
bulan bengkok ke kanan. Angin bengkok ke kiri. Jendela
separuh terbuka. Tirai putih. Tembok putih. Ranjang putih.
Asap tipis meninggi. Kuhadapkan wajahku lurus ke lukisan
lawas itu. Gambar samar dan kaligrafi yang ditulis dari atas
ke bawah. Bukan dari kanan ke kiri bukan dari kiri ke
kanan. Teh hijau dalam cawan. Badai telah diredakan.
Keringat tengah dikeringkan. Dupa hampir mati. Kutang
kembali sunyi. Sepasang susu menyusut lagi.

(2019) 



A Muttaqin lahir di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Pembuangan Phoenix (2010) dan Tetralogi Kerucut (2014) adalah dua buku puisinya. Ia menetap di Surabaya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi