Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
14 Juli 2018
Otahana
Rumbai-rumbai awan
Mengambang di angkasa
Ruap-ruap kesedihan
Mengepul di rawa-rawa
Kapuk-kapuk randu
Tersangkut pada ranting
Artefak-artefak bisu
Tinggal tanah dan puing
Lumut-lumut aksara
Mengurapi punuk bumi
Benteng-benteng terakota
Mengekalkan makna sunyi
2014
Klappertart
Kubuka jendela dan di luar nampak gerimis seperti keju
Yang diparut halus sekali. Jam seakan kehilangan detaknya
Ketika kebisuan melatari pertemuan kita yang tak terduga
Malam natal menjelma episode singkat bagi penuntasan luka
Besok pagi kau harus pergi. Begitu juga aku mesti kembali
Menyelesaikan sisa tahun di tempat-tempat yang tak tertera
Dalam peta. Sepotong klappertart yang kauberikan padaku
Ibarat monumen yang mengingatkan betapa manisnya rindu
Kuambil kamera saat gerimis mulai beranjak menjadi hujan
Butir-butir airnya yang berjatuhan kuabadikan dalam gambar
Lalu kubayangkan seandainya hujan itu berasal dari matamu
Tak ada kata-kata yang kauucapkan padaku, hanya senyum
Dan sepotong klappertart. Tak ada pula kata-kata dari mulutku
Keheningan merupakan bahasa yang paling dipahami waktu
2015
Dusun Bernama Ayabe
Di dusun yang selalu terbungkus kabut tipis
Kuil-kuil tua berjejer sepanjang lereng bukit
Di antara rumpun bambu dan pot-pot bonsai
Sayup kudengar bunyi murai. Awan melayang
Gerimis berguguran mirip putik-putik sakura
Awal musim yang penuh imaji, di mana hutan
Menyerupai gorden kuning, merah hingga jingga
Di mana dahan, ranting dan daun pelahan lindap
Pada sepertiga usia. Namun pagi menjadi sakral
Saat bulir-bulir embun menebarkan harum ajal
Jalan setapak seakan mengunci sisa langkahku
Nampak nisan-nisan pualam, guci-guci tembikar
Serta pokok-pokok sugi yang menunjuk ke langit
Menyatu dalam keabadian. Kumasuki sebuah kuil
Lalu kumaknai musim sebagai perihal yang muskil
2016
Musim Gugur di Kyoto
Langkahku tertatih setiap menapaki lapangan berbatu
Menyusuri pedestrian di antara rimbun hinoki dan momiji
Sedang pandanganku sering kali nanar apabila matahari
Meredupkan sinar. Diam-diam musim gugur menenungku
Dari balik rinai gerimis samar terlihat bayang-bayang kuil
Menyendiri dekat perigi. Di sana nampak bonsai-bonsai tua
Yang menyimpan kesedihan panjang di barik-barik kulitnya
Lama aku terpana dan lupa pada apa yang tengah kupijak
Lenganku menggenggam kerinduan yang telah dipadatkan
Selama berabad-abad. Hatiku melenting seperti ranting sugi
Disentuh angin yang bertiup pelan dari empat penjuru sunyi
Aku tidak merasa ditinggalkan meskipun sering kehilangan
Senyum adalah ujung penempuhan. Maka kujadikan semadiku
Sebagai pelukan bagi setiap kedatangan dan keberangkatan
2016
Arah ke Donggala
Aku berjalan sendiri menyusuri jalan setapak di bukit
Pohon-pohon pinus seperti penanda yang ditanam waktu
Sebuah tulisan nampak pada bagian kulit yang terkoyak
Ada namaku dan namamu. Kau yang mengukirnya dulu
Sudah lama kau pergi dan menjadi gema dari kehilangan
Gema dari sebuah puisi yang tersaruk-saruk mengarungi
Sungai dan hutan. Aku mencarimu hingga ujung ingatan
Tapi kau malah sembunyi di tengah kerumunan lambang
Aku berjalan sendiri menyusuri jalan setapak di bukit itu
Kesadaran ialah pohon yang getahnya disadap tanpa henti
Ada gambar hati di atas nama kita. Aku yang memahatnya
Ketika mendekati tebing aku melihat ufuk bukan lagi puisi
Ufuk telah berubah menjadi belantara kalimat tanpa ujung
Dan aku kehilangan jejakmu karena luput membaca isyarat
2016
Teluk Kendari
Kata-kata seperti lentik cahaya menjelang fajar tiba
Jauh di balik kabut buih-buih putih terus bergerak
Menuju ufuk. Kesepian bukan hanya milik angin utara
Suara tak bisa menyembunyikan apa yang disimpan hati
Tenggara merupakan bukti terdamparnya pulau-pulau
Bulir-bulir lampu menjadi penanda bagi sebuah keluasan
Sebagaimana langit yang menyerap nubuat-nubuat semesta
Jarak keterpisahan kita tidak disebabkan matinya bahasa
Pada lembaran ombak kutulis apa yang dibisikkan senyap
Ke telingaku. Betapa berkilauan cahaya dari kedalaman laut
Bagaikan kerinduan yang telah mengendap ribuan tahun
Kekasihku, jika suatu saat pulau-pulau menenggelamkan diri
Hanya pada rembang petanglah kita menggantungkan harap
Setiap kehancuran akan melahirkan daratan-daratan baru
2017
Lahundape
Ketika rembang mulai merumbaikan tirai suteranya
Cahaya matamu masih menerangi setiap langkahku
Nampak buih-buih putih merayapi pantai dan tebing
Mendorong pasir ke bukit. Membangun menara sunyi
Ketika petang menutup jendela di semua penjuru angin
Dan ufuk kehilangan garis batasnya pada permukaan air
Kulihat titik-titik cahaya masih bertetesan dari matamu
Seperti dawat yang bergerak sendiri menuliskan hikayat
Sejenak aku menghirup udara malam yang likat dan sepi
Daun-daun bakau yang menampung gemuruh angin barat
Menciptakan tembang yang hanya terdengar di telingaku
Sejenak aku membayangkan pelayaran-pelayaran panjang
Di mana kerinduan menjadi hamparan samudera tanpa tepi
Sedang titik-titik cahaya mengecil ditelan raksasa kegelapan
2017
Kasilampe
Kenanganku adalah sebuah gambaran tak langsung
Tentang angin yang masih akan berhembus dari selatan
Sedang perahu yang kukayuh semakin menunjukkan
Betapa kecilnya langkah yang ingin menandai keluasan
Segera aku meninggalkan pantai berkabut yang tak lain
Merupakan hatiku sendiri. Sekian lama hanya menunggu
Sekian lama hanya mengurai benang kusut masa lalu
Berlayar sama artinya dengan mempertaruhkan nurani
Ketika memanjat punggung ombak aku merasa disadarkan
Bahwa kata-kata tidak diturunkan seperti hujan dari langit
Kata-kata mengendap di dasar laut dan berpendar ke udara
Kekasihku, setelah kehilangan semua jejak dan alamat surat
Setelah mengembara di antara perpisahan dan keterluntaan
Di dalam air aku mendengar kembali suaramu yang murni
2017
Acep Zamzam Noor lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. Death Approaching and Other Poems (2015) merupakan antologi puisinya dalam terjemahan Inggris dan Jerman, sedangkan Ailleurs des Mots (2016) adalah antologi puisinya dalam terjemahan Perancis.
Acep Zamzam Noor
Senja di Iluta
Rambut-rambut hujan
Berjatuhan seperti cahaya
Aksara-aksara dituliskan
Di atas lembaran usia
Remang-remang kabut
Seakan menjadi batas
Danau dan rakit bertaut
Bagai dawat dengan kertas
Ciuman-ciuman angin
Mendarat di tepian sunyi
Jejak-jejak yang kemarin
Berdetak di jantung arloji
2014
Senja di Iluta
Rambut-rambut hujan
Berjatuhan seperti cahaya
Aksara-aksara dituliskan
Di atas lembaran usia
Remang-remang kabut
Seakan menjadi batas
Danau dan rakit bertaut
Bagai dawat dengan kertas
Ciuman-ciuman angin
Mendarat di tepian sunyi
Jejak-jejak yang kemarin
Berdetak di jantung arloji
2014
Otahana
Rumbai-rumbai awan
Mengambang di angkasa
Ruap-ruap kesedihan
Mengepul di rawa-rawa
Kapuk-kapuk randu
Tersangkut pada ranting
Artefak-artefak bisu
Tinggal tanah dan puing
Lumut-lumut aksara
Mengurapi punuk bumi
Benteng-benteng terakota
Mengekalkan makna sunyi
2014
Klappertart
Kubuka jendela dan di luar nampak gerimis seperti keju
Yang diparut halus sekali. Jam seakan kehilangan detaknya
Ketika kebisuan melatari pertemuan kita yang tak terduga
Malam natal menjelma episode singkat bagi penuntasan luka
Besok pagi kau harus pergi. Begitu juga aku mesti kembali
Menyelesaikan sisa tahun di tempat-tempat yang tak tertera
Dalam peta. Sepotong klappertart yang kauberikan padaku
Ibarat monumen yang mengingatkan betapa manisnya rindu
Kuambil kamera saat gerimis mulai beranjak menjadi hujan
Butir-butir airnya yang berjatuhan kuabadikan dalam gambar
Lalu kubayangkan seandainya hujan itu berasal dari matamu
Tak ada kata-kata yang kauucapkan padaku, hanya senyum
Dan sepotong klappertart. Tak ada pula kata-kata dari mulutku
Keheningan merupakan bahasa yang paling dipahami waktu
2015
Dusun Bernama Ayabe
Di dusun yang selalu terbungkus kabut tipis
Kuil-kuil tua berjejer sepanjang lereng bukit
Di antara rumpun bambu dan pot-pot bonsai
Sayup kudengar bunyi murai. Awan melayang
Gerimis berguguran mirip putik-putik sakura
Awal musim yang penuh imaji, di mana hutan
Menyerupai gorden kuning, merah hingga jingga
Di mana dahan, ranting dan daun pelahan lindap
Pada sepertiga usia. Namun pagi menjadi sakral
Saat bulir-bulir embun menebarkan harum ajal
Jalan setapak seakan mengunci sisa langkahku
Nampak nisan-nisan pualam, guci-guci tembikar
Serta pokok-pokok sugi yang menunjuk ke langit
Menyatu dalam keabadian. Kumasuki sebuah kuil
Lalu kumaknai musim sebagai perihal yang muskil
2016
Musim Gugur di Kyoto
Langkahku tertatih setiap menapaki lapangan berbatu
Menyusuri pedestrian di antara rimbun hinoki dan momiji
Sedang pandanganku sering kali nanar apabila matahari
Meredupkan sinar. Diam-diam musim gugur menenungku
Dari balik rinai gerimis samar terlihat bayang-bayang kuil
Menyendiri dekat perigi. Di sana nampak bonsai-bonsai tua
Yang menyimpan kesedihan panjang di barik-barik kulitnya
Lama aku terpana dan lupa pada apa yang tengah kupijak
Lenganku menggenggam kerinduan yang telah dipadatkan
Selama berabad-abad. Hatiku melenting seperti ranting sugi
Disentuh angin yang bertiup pelan dari empat penjuru sunyi
Aku tidak merasa ditinggalkan meskipun sering kehilangan
Senyum adalah ujung penempuhan. Maka kujadikan semadiku
Sebagai pelukan bagi setiap kedatangan dan keberangkatan
2016
Arah ke Donggala
Aku berjalan sendiri menyusuri jalan setapak di bukit
Pohon-pohon pinus seperti penanda yang ditanam waktu
Sebuah tulisan nampak pada bagian kulit yang terkoyak
Ada namaku dan namamu. Kau yang mengukirnya dulu
Sudah lama kau pergi dan menjadi gema dari kehilangan
Gema dari sebuah puisi yang tersaruk-saruk mengarungi
Sungai dan hutan. Aku mencarimu hingga ujung ingatan
Tapi kau malah sembunyi di tengah kerumunan lambang
Aku berjalan sendiri menyusuri jalan setapak di bukit itu
Kesadaran ialah pohon yang getahnya disadap tanpa henti
Ada gambar hati di atas nama kita. Aku yang memahatnya
Ketika mendekati tebing aku melihat ufuk bukan lagi puisi
Ufuk telah berubah menjadi belantara kalimat tanpa ujung
Dan aku kehilangan jejakmu karena luput membaca isyarat
2016
Teluk Kendari
Kata-kata seperti lentik cahaya menjelang fajar tiba
Jauh di balik kabut buih-buih putih terus bergerak
Menuju ufuk. Kesepian bukan hanya milik angin utara
Suara tak bisa menyembunyikan apa yang disimpan hati
Tenggara merupakan bukti terdamparnya pulau-pulau
Bulir-bulir lampu menjadi penanda bagi sebuah keluasan
Sebagaimana langit yang menyerap nubuat-nubuat semesta
Jarak keterpisahan kita tidak disebabkan matinya bahasa
Pada lembaran ombak kutulis apa yang dibisikkan senyap
Ke telingaku. Betapa berkilauan cahaya dari kedalaman laut
Bagaikan kerinduan yang telah mengendap ribuan tahun
Kekasihku, jika suatu saat pulau-pulau menenggelamkan diri
Hanya pada rembang petanglah kita menggantungkan harap
Setiap kehancuran akan melahirkan daratan-daratan baru
2017
Lahundape
Ketika rembang mulai merumbaikan tirai suteranya
Cahaya matamu masih menerangi setiap langkahku
Nampak buih-buih putih merayapi pantai dan tebing
Mendorong pasir ke bukit. Membangun menara sunyi
Ketika petang menutup jendela di semua penjuru angin
Dan ufuk kehilangan garis batasnya pada permukaan air
Kulihat titik-titik cahaya masih bertetesan dari matamu
Seperti dawat yang bergerak sendiri menuliskan hikayat
Sejenak aku menghirup udara malam yang likat dan sepi
Daun-daun bakau yang menampung gemuruh angin barat
Menciptakan tembang yang hanya terdengar di telingaku
Sejenak aku membayangkan pelayaran-pelayaran panjang
Di mana kerinduan menjadi hamparan samudera tanpa tepi
Sedang titik-titik cahaya mengecil ditelan raksasa kegelapan
2017
Kasilampe
Kenanganku adalah sebuah gambaran tak langsung
Tentang angin yang masih akan berhembus dari selatan
Sedang perahu yang kukayuh semakin menunjukkan
Betapa kecilnya langkah yang ingin menandai keluasan
Segera aku meninggalkan pantai berkabut yang tak lain
Merupakan hatiku sendiri. Sekian lama hanya menunggu
Sekian lama hanya mengurai benang kusut masa lalu
Berlayar sama artinya dengan mempertaruhkan nurani
Ketika memanjat punggung ombak aku merasa disadarkan
Bahwa kata-kata tidak diturunkan seperti hujan dari langit
Kata-kata mengendap di dasar laut dan berpendar ke udara
Kekasihku, setelah kehilangan semua jejak dan alamat surat
Setelah mengembara di antara perpisahan dan keterluntaan
Di dalam air aku mendengar kembali suaramu yang murni
2017
Acep Zamzam Noor lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. Death Approaching and Other Poems (2015) merupakan antologi puisinya dalam terjemahan Inggris dan Jerman, sedangkan Ailleurs des Mots (2016) adalah antologi puisinya dalam terjemahan Perancis.
Komentar
Posting Komentar