Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Dadang Ari Murtono
fragmen negarakertagama
/ pisowanan
mendekatlah, mendekatlah padaku, para
raja taklukan, para panglima,
lampu-lampu terlalu temaram untuk kesunyianku,
kedamaian menyakiti tanganku
kubutuhkan amis darah,
kudambakan luas wilayah
penuhi dahagaku,
usir kejenuhanku
merapatlah, merapatlah padaku, para
pujangga, para pendeta,
gambarkan keagunganku, jelaskan
kemilau kemuliaanku
sebab begitulah kehendak dewata
/ kota bacok
ada, memang, perkara-perkara yang jadi lebih indah
bila tetap berada dalam bayang-bayang
maka dari sadeng, pujangga itu memintas ke utara,
menunggu di tanpahing seraya berharap sang raja
bakal ia temui dalam perjalanan dari jayakreta menuju wanagriya
ia bayangkan karang disiram riak gelombang yang seperti hujan
di kota bacok, dan maharaja itu menari di pantai, dan seorang perempuan,
yang diambil entah dari kota mana – mungkin jenggala, mungkin kediri –
keluar dari tenda dengan mata bengkak, dengan dada sesak, dan bergumam serak,
“semoga ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil”
“tak mudah menjadi penyair,” pujangga itu berkesah pada bintang-
bintang, “apalagi bila penamu lembek dan kata-kata hanyalah
milik raja-raja”
ia tak ingin abadi, maka ia lenyapkan namanya sendiri, dan
ia sangga nama samaran yang penuh kesedihan dan kebingungan: prapanca
sebab ia, yang konon tak mampu mengisap dan mengolah keindahan
sepenuhnya dan hanya mampu menceritakan desa serta jalan,
tak kuasa lepas dari kuasa kata-kata
tangannya gemetar ketika menulis bagaimana sang raja mengatur dunia,
bagaimana para pendeta dan pejabat memuja-muja, dan bagaimana kerajaan
tersusun dari desa-desa yang diliputi kebahagiaan dan rasa aman sentosa,
meski ia mendengar jerit seorang suami yang istrinya diambil paksa, meski
ia tergetar oleh sakit perempuan yang dipisahkan dari lelakinya –
barangkali di jenggala, barangkali di kediri, barangkali dari negeri taklukan
ia melihat langit tinggi; rembulan bersinar terang pada bulan bhadra,
ia menggurat sengkalan tahun; sasanka naga rawi
lumajang masih jauh; ia tahu, ia akan menulis sebuah kitab
yang bakal membuatnya terus terikat
/ pesanggrahan patukangan
jangan-jangan sang arya suradhikara telah
menyadarkan prapanca: parade bunga dari tengah samudra,
rumah-rumah dengan halaman luas dan pagar aneka warna
yang seperti pulau-pulau, jalanan sehijau pagi dan samar-samar
tampak bergetar seperti ombak
“berkahmu yang menjadikan semua mungkin, paduka,” ujar
adipati itu sewaktu hayam wuruk tiba, setelah perjalanan panjang
melintasi palayangan, melintasi bangkong, melintasi sarana, melintasi
surabhasa, melintasi padang alang-alang di mana sapi-sapi penarik
kereta tumbang, melintasi turayan, sebelum tiba di patukangan
“namun di hadapan arak-arakanmu yang serupa rombongan
dewa-dewi, segala kebesaran ini seakan buih di samudra belaka,” adipati itu
meneruskan, “dan alangkah damai hatiku melihat panji-panji siwa buddha itu,
mendengar kidung-kidung siwa buddha itu”
malam harinya, di depan pesanggrahan, para jelata bergulat
dan mempersembahkan tari perang; seseorang terluka, seseorang
berdarah, dan sang raja tertawa
sewaktu prapanca mendengar semacam erangan,
ia mengira kupingnya kopokan
“mereka semua bahagia, yang mulia,” sembah arya suradhikara
/ perburuan
di nandaka, kera tua itu menangis, ia mengusap kepala betinanya, dan
betinanya menatapnya dengan mata berkaca, “aku ingin kau bercerita
tentang seekor kera berdarah putih yang dikhianati adiknya, yang
tumpas di mata panah seorang raja yang mengira dirinya titisan batara”
“ia yang menjaga rakyatnya, ia yang menjaga guakiskenda?”
“ia yang menjaga rakyatnya, ia yang menjaga guakiskenda”
mereka tahu, seorang raja yang mengira dirinya batara – siwa, bukan wisnu –
telah tiba di tanah mereka, raja yang lain namun dengan kelaliman yang serupa,
dan telah menyalin petaka di sekujur rimba
burung-burung menjauh, api menjilati langit
angin seakan mati, pohon dan semak putus asa
mereka menyaksikan biawak, sapi, banteng, kucing liar, badak, landak,
kijang, rusa, kerbau, dikungkung rasa ngeri, lantas berlarian menuju
tengah belantara, di mana seekor macan purba bergelung dalam takhtanya,
di sebelahnya, seekor serigala maju satu depa
“benarkah dia batara bila dia bertindak sesuka hatinya, memburu
demi kesenangan belaka, membasmi demi kepuasan semata?”
rusa, kijang hitam, dan cihna: tak ada lagi tempat, wahai paduka, raja rimba kami,
macan yang perkasa, mari kita pergi, mari kita tinggalkan tempat terkutuk ini
sapi, banteng, lembu, dan anjing hutan: makhluk seperti apa yang membiarkan
tanah airnya dijajah? tak ada kematian seindah kematian dalam perlawanan
atas kebiadaban
macan: bila kalian berhadapan dengan pendosa, kalian mesti kabur, bila
kalian berhadapan dengan orang saleh, semestinya kalian berjalan bersisian
dengannya, namun bila kalian berhadapan dengan raja titisan siwa,
hendaknya kalian persembahkan diri dan hidup kalian, sebab hanya dengan begitulah,
kalian bisa terlahir kembali sebagai makhluk yang lebih mulia
kera tua itu berbisik: apa yang dikira orang wahyu, kadang hanyalah bisikan
iblis, seperti yang didengar sugriwa
pada pukul sepuluh lebih lima, lima ekor babi hutan jantan mengasah kuku belah
dan taringnya; mata mereka merah dan mulut mereka berbusa,
telah mereka saksikan babi-babi betina dan babi-babi bayi, ditombak
dan dipenggal oleh sepasukan berkuda
di hadapan mereka, anjing-anjing geladak menyeringai, anjing-anjing
geladak yang bakal memandikan mereka dengan darah
“dan kehormatan,” dengus seekor babi
“tapi raja para binatang telah berfatwa,” seekor beo berkicau
dari ranting nagapuspa
angin membawa suaranya pergi sebelum singgah ke telinga siapapun
selepas tengah hari, hutan tua itu tumpas, api padam sebab tak ada lagi
yang bisa dirambati, langit masih merah, aroma daging hangus menyesaki
dada
kecuali tawa kemenangan para pemburu haus darah, segala bunyi telah mati
raja muda itu tersenyum, ia menyepak kepala seekor macan yang sepi sendiri
/ sraddha
dibayangkannya permaisuri tua itu datang ketika cuaca berwarna sepia
: kematian tak sesederhana yang kau kira
dewa-dewa merantai jiwaku
dan hanya upacara dengan banyak persembahan
yang mampu melepaskannya
maka pada bulan bhadra tahun masirah-warna
mereka haturkan makanan tak bercela, kain dukula dan kunyahan,
sapi jantan putih serupa nandini, paviliun dengan ornamen bermutu tinggi,
dan pesta sepanjang tujuh hari yang dipenuhi musik dan tari
di luar itu, seorang pemulung yang tak pernah mendongak
mengalap berkah seraya berpikir: kematian seperti apa
yang menantiku di hari nanti?
pada hari ketujuh, raja itu berujar, “sebab sudah kutunaikan kewajibanku,
maka berkahilah kesejahteraan padaku, jadikanlah aku mampu
menaklukkan musuh-musuhku selama masih ada bulan dan matahari”
keesokan harinya, dibayangkannya permaisuri tua itu – rajapatni – datang
: langit berwarna biru, dan permaisuri yang telah lama jadi mendiang itu
berkata, “kuharapkan sebuah bakti, bukan transaksi”
/ kamal pandak
sejarah adalah milikku sendiri, maka letakkan masa lalumu di sini,
airlangga, di sebatang pohon asam, di sebentang kali yang membagi
pulau menjadi dua
dan akan kuhadirkan baradha, seorang mpu dari bali yang sanggup
berjalan di atas samudra sebagai perantaraku belaka
seorang mpu yang berkata, “akan tiba suatu hari ketika seorang raja
agung, raja di antara para raja, membangun candi di tilas pohon asam
yang menyobek jubahku, dan pulau yang terbagi akan kembali menjadi
satu, bersujud di bawah dulinya”
Dadang Ari Murtono lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku karyanya antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016) dan Samaran (novel, 2018).
Komentar
Posting Komentar