Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

tabib perawan di ladang markisa karya Fitra Yanti

21 April 2018
Fitra Yanti

tabib perawan di ladang markisa

mintalah lagi aku datang padamu dalam hujan yang lain itu
sebagai gadis yang berdebar menujumu
menawar demam dan memijat sakit kakimu
sebagai tabib perawan beraroma rempah
menggebu di hidungmu

mintalah lagi, dengan puisi hujan
dengan begitu barangkali rambutku yang patah dan berdiri
dapat mengurai serupa mayang baru
kulitku yang berabu bakal bersinar bak pualam
di bawah nyala lampu, jelaga yang lekat di bibirku
kembali merah muda seperti dulu
saat kau mendengar derak markisa jatuh malu
cangkangnya retak dalam penyerahan haru
ketika kedua tanganmu
mengerkah dan mencucupi bulir-bulirnya
lencir semanis madu
kedua tanganku mengebatmu
serupa sulur akar biluru
menjalarimu hingga puas
hingga lepas
hingga diriku berbunga mekar ungu
lihatlah, diriku kini berbuah beribu
daun dan sulurku menyentuh tanah
buah menggelayuti seluruh diriku

sekali lagi saja
mintalah aku datang kepadamu
dalam hujan yang lain itu
meski kini tak lagi sebagai perawan
aku masih berdebar menujumu

bukit belimbing indah, 2018


gadis kecil perintis sunting

mengapa kau jatuh cinta pada angin dingin
melekati dahan pinus yang turun naik
di tepi danau pada riak dalam tenang
ketika itu kau sudah merasakan debar jantungku
demikian kencang
debar gadis kecil berseragam merah putih
bermain petak umpet di halaman rumah
kaki kecilnya berlompatan di atas jalinan karet
berlarian sepanjang belukar rinju
merintis sunting dari batang-batang pakis
kemudian tersenyum-senyum simpul
menunggumu di pelaminan ilalang
mengapa?

bukit belimbing indah, 2018


gaun manik-manik

keluarlah dari sajak-sajak itu
tidakkah kau dengar bunyi
manik-manik
terdengar ramai di gaunku

cinta bergelantungan di sana
cinta yang terbang
cinta yang bernyanyi
dan cinta menari
bukan cinta yang hanya
membentur-benturkan detak jantungmu
antara sisi dan ujung huruf
jika kau terjebak di sana
ini ujung gaunku
tariklah
aku telah merobekkannya
mengikatkannya hingga menjadi panjang
meloncatlah tinggi-tinggi
sampai kau tak lagi merasakan
tajam dan runcingnya
sisi dan ujung huruf-huruf
yang selama ini memenjarakanmu dari kenyataan

bukit belimbing indah, 2018

dendang pemanggil janin

1/
beginilah dendangku untukmu
terjepit di antara nada-nada
yang kugubah menjelang lelap
sebelum rentak nafas membuka rahasia
dingin pembaringan

mari mendekat ke tempat hangat dekat ketiak kiriku
alunan ini akan terdengar lirih di situ
menuntunmu memasuki rumahmu: rinduku

2/
tahun-tahun berakar keriuhan semu
keasingan menuntunku
mengunjungi mal-mal, menyusun diriku
di antara tumpukan pekerjaan kantor
mendengarkan lagu-lagu yang membentur-dentumkan dada
hingga menautkan kelopak mata
mengobrol hingga malam habis dengan siapa saja
dengan pertemuan nyata dan maya
menebalkan bedak dan meninggikan tumit sepatu
cekikikan bersama ibu-ibu arisan
menyalakan api di bibir yang mulai dijalari getah tembakau
namun tak menjelaskan
apakah aku bisa membawa pulang kebisingan
ke rumah yang bagai dihuni para ruh
terasa demikian penuh
dingin mengempit tubuh
merapatkan diriku pada desember ganjil
beraroma telon, bedak tabur, rengek merdu panjang
pada malam-malam kurobekkan kertas-kertas
yang pernah kutulisi lagu penanti kedatanganmu
kemudian menulisinya lagi
kurasakan diriku berderai di lantai
berlutut berkecai dalam doa

kubiarkan tubuhku ditusuk jarum rindu
di kedua tangan kaki
agar kau hadir dalam diriku
agar kau mendengarkan dendangku
agar kau menendang kulitku
agar mendobrak pintu rahasiaku

hingga hujan membanjiri jalan-jalan
aku belum juga mengerti
debur-debur lembut hujan adalah isyarat kedatanganmu
di pintuku

3/
kedatanganmu berderak di sebuah pintu
mirip dengan derak rindu yang mengoyak kesepianku
tapi aku belum mengetahuinya
hanya kurasakan angin begitu tajam
mirip tamparan jemari mungil
cakaran kuku-kuku kecil

jika aku tahu akan seriuh ini
aku akan segera berlari menujumu
akan kutinggalkan sepi
yang berdiam lama di rahimku

bukit belimbing indah, 2014-2018

perempuan pembangkit batang terendam
: annaka

mendekatlah sayangku
ke dada ibu yang kelak akan kau miliki persis
seperti bola-bola air kecil yang melimbak
di antara pokok-pokok teh
dan embun gendut yang mengandung ketika senja
masuklah sayangku
ke mata ibu
akan kau temukan dian menyala
dulu hampir pudur
sebelum bertemu dengan matamu

melekatlah sayangku
ke daging ibu
berbagi api yang mengalir dalam darah
kau akan mengerti betapa dinginnya tanah berdanau tiga
tempat ibumu pernah mandi
air
darah
hitunglah betapa banyak pisau kenangan
mencabik-cabik masa lalu di benakku
sembari mencari kutu

mekarlah sayangku seperti bunga kol rekah biru
kelak di sinilah kau menyepi
menepi
membangkit larat perasaian
mewangi di rumah lama
membangkit batang terendam

bukit belimbing indah, 2018


mantra panjang usia

“mengelaklah segala demam ke puncak bukit
menjauhlah segala sakit ke dasar laut.”
begitulah aku menyaru waktu menjelang
paruh malam menggenapi usiamu menjelang
garis-garis merah sempurna memenuhi punggungmu
angin dingin mana pula yang menyapamu
yang melintas di sela kabut asapkah?
mataku terus melek harapanku mengucurkan mantra:
“ragamu dijauhi sakit, cintamu dalam nyala,
diri dalam dirimu yang belum menemui jiwa
bersegera melonjak-lonjak di pangkuan
belokan tajam di hadapanmu lempanglah
bahagiamu, duniamu serta hari-hari lain selain di dunia.”

bukit belimbing indah, 2018


dua rakaat rindu

rakaat pertama
di sini kubatukan hati
atas nama detak yang mengilu di jalinan urat darah
detak ini sama-sama telah kita kenali
sebagai penanda jarak dari rakaatku dan rakaatmu
sama kita bungkukkan
dalam genangan
letupan yang tumpah di akhir munajat

rakaat kedua
duhai kau yang kuseru-seru
dari jarak yang tak dapat diukur
dari pandang yang tak bisa dilihat
dari yang tersembunyi di bawah sajadah
dari yang menyala dari api tungku
dari yang menyembunyikan cahaya siang
berilah tanda!
berilah tanda!

bukit belimbing indah, 2018



Fitra Yanti lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, 17 Februari 1987. Bergiat di komunitas musikalisasi puisi Mantagi Akustik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi