Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
7 April 2018
Kiki Sulistyo
Serat Jamadat
Pudar juga pijar serat jamadat
di kantung jemaat, waktu ia berjalan,
udara mendangkar beban, dan grup
unggas meletupkan ampas.
Ragu memutuskan anju, ia berdiri,
berdiri saja bak patung budak. Kaki
kiri atau kanan lebih dulu diayunkan?
Di kiri belalai sungai, di kanan taring tebing.
Lurus di depan, gelap hutan
memeram geracak:
masih jauh buldan itu, di balik bunyi kayu.
Tak ada bimbingan, ia sesat sepenuhnya.
Lebah tahu jalan kembali, dandelion mengerti
anemokori biji demi biji. Sedang tiada bukan
ia bahkan belum jelang jerangkah jalan.
Mulutnya berkecumik, lisannya demikian pelik.
Setelah semua ajaran dan ujaran, senyatanya,
ia batang basah, bungkas oleh cakar binatang buas.
(Kekalik, 2018)
Di Hadapan Peta Lama
Di tebing.
Sisa angin; gema taring harimau.
Kecuali jurang,
tak ada lagi tanda untuk mengulang.
Jalan tinggi. Lampu-lampu provinsi.
Sampai di mana kita. Sampai di mana kata.
Jalur buntu pada bidang kosong itu. Seorang
kartografer memanggil-manggil.
Suaranya menipis dalam samar garis.
(Kekalik, 2018)
Pekik
Kami ingin pekik ini berpendar
dan hidup selamanya.
Tunjukkan kami bagian mana paling kau benci,
tak ada patut bagi kami, kecuali amarahmu.
Bakal kami serahkan merpati jantung kami,
bakal kami sertakan harga umur kami.
Ampuni kebahagiaan dan kewarasan kami,
keraskan lidah kami ketika menyebutmu.
Dan nyalakan sumbu ledak ini, agar kami bisa
meraung-raung lagi di surgamu nanti
(Bakarti, 2017)
Gelap Lidah
dari gelap lidahmu bom atom dijatuhkan lagi,
dua belahan besar dalam kepalaku lumat seketika,
korteks serebral terbongkar jaringannya,
mengapungkan apa yang lama tersembunyi;
atma suku tua, karenanya, bangkit kembali.
kau hidup dengan atma itu, menyembah gunung
dan menangisi pohon mati. tiap senin imanmu
dikeluarkan dari peti, dibilas dengan nyanyi, hingga
pemimpin yang melihat akan terharu dan memberimu
sebutir jimat; bhinneka namanya. pernah kutemukan
nama ini dalam mimpi seekor burung besar.
tapi kau tetap musuhku, suatu kali nanti, akan kusalin
kau sebagai poster klandestin. akan kuhapus lidahmu
supaya lisanmu terang dan nyata. supaya bunyi surat
petisi terdengar bagai sunyi peti tak berisi.
di dalamnya kita bisa berjabat tangan, sepakat pada
gencatan, sembari melihat burung besar itu, terikat
pasal-pasal buta, merasa bebas di atas bumantara.
(Kekalik, 2018)
Tufil
: Laeli
Setelah demam panggung, Tufil bermimpi jadi duyung.
Sembunyi di kali di mana rombongan sandiwara biasa mandi.
Tapi duyung tak punya peran, tak bisa dilatih, dan
tak memerlukan daster. Sehari-hari Tufil menjual daster.
Dia pajang daster di jendela sembari berharap sifatnya
makin derana. Tapi ia ingat, 370 hari di Malaysia, ia ingat
seorang Salaf pemalu, pacarnya dulu.
Tufil merasa kehilangan ketika ia menemukan ingatannya.
Lalu Tufil beralih ke puisi, suatu belokan kecil di rusuk kiri.
Ia kirim pesan ke gurunya yang cabul supaya kata-katanya
tak lagi tumpul. Ia tak tahu, semalam gurunya bermimpi
menangkap duyung dan memasukkannya ke dalam karung.
(Kekalik, 2018)
Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok, 16 Januari 1978. Buku puisinya Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? (2017) mendapat Kusala Sastra Khatulistiwa.
Esha Tegar Putra
Ubai
Ubai adalah keluh prostat dan ambeien
gerungan lapar pada subuh
dengan suara rebusan akar batu
gelegak labu kuning dan jantung pisang
lenguh pangkal paha tersiram air panas
ketuntang panci dan kaleng roti jatuh ke lantai.
Di halaman, rumput akan terus meninggi, Ubai
daun rambutan akan tetap saja rurut
ada batang-batang pisang dengan umbi busuk tak terselamatkan
dahan-dahan jambu air patah dihempas angin gadang
kelapa tua jatuh menggelinding ke balik pagar apartemen.
Di sini, hari baik dan hari buruk terus bersabung
nasib serupa pertikaian bahasa pagar dengan palang panjang itu:
“terkurung
tak hendak kita di luar
terbebas
tak hendak kita di dalam.”
Ubai serupa alarm Mahali berdering dua jam sekali
hasrat untuk terus mematikan lampu laman saat subuh tiba
kehendak memautkan tali seekor anak anjing
ke pangkal pohon paling jauh
dan keinginan untuk menyembuhkan udara kota
dari demam berkepanjangan.
Depok, 2017
Mengajak Sabai
Kembali ke arah selat, Sabai.
Sebelum kota ini membuat tumitmu
terus membentur pembatas jalan.
Kota ini akan terus menghitung dengkur
Dibuatnya kita mimpi berlari di antara kedai-kedai pakaian
menelusuri gang-gang sempit
dengan suara-suara mesin jahit terus menderu
dan akan terus ada ratap pukimak mengharu-biru itu.
Kita akan terjaga, akan terus dibuat terjaga
Dengan pandangan mata menghampang rumah-rumah tinggi
tiang-tiang tinggi, jalan-jalan membenam-meninggi.
Kita dibuat terjaga di meja makan dengan hidangan pagi
menghadapi ayam goreng potong empat
gulai ikan karang dengan insang membiru
dan bau kulit sepatu lama direbus dalam panci.
Kembali, sebelum mambang belang lima
penunggang hantu kuda jantan tak bermoncong
dan tak berpinggang itu tiba dari masa lalu
merampas selimut tidur hingga pakaian dalammu
merebut buku tata cara membuat kerang saus padang
dengan sampul bergambar pisau
dan sendok goreng menyilang, kesukaanmu itu.
Ke arah selat, Sabai
mari ke ruang di mana tidur
tidak dihitung dari berapa kali kita mendengkur.
Depok, 2017
Esha Tegar Putra lahir di Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Buku-buku puisinya: Pinangan Orang Ladang (2009), Dalam Lipatan Kain (2015), dan Sarinah (2016).
Puisi-puisi Kiki Sulistyo betul-betul mantul (mantap betul). Tabik!
BalasHapus