Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Mitos Hari-hari karya Indra Tjahyadi

17 Februari 2018
Indra Tjahyadi

Mitos Hari-hari


Senin
Habis pekan. Senin yang membara membakar kulitmu
perempuan. Kekurusan apakah yang membawamu pada
kerja pada keriuhan hidup dan sunyi benda-benda? Rumah
terlalu riuh terlalu gerah bagi kata bagi istirah. Di
punggung kaurajah sebuah ingatan dari dendam dari
ketandusan. Kota begitu lapang bagi hibuk bagi penat bagi
kesendirian. Gedung-gedung dibangun dan diruntuhkan.
Aku berbicara dengan langit dengan kekosongan. Kelak
menjadi tanda bagi doa bagi dosa bagi kemampusan.

Selasa
Sempat bibirmu membakar sebelum akhirnya runtuh,
menjadi abu dalam kelu. Kiranya benar, Selasa adalah selasar bagi sunyi bagi rindu. Di udara, angin ngambang melarungkan perahu-perahu gaib dari kegerahan tak tentu. Kanak-kanak bermata kemarau menggerogoti nafasku.
“Lautmu, Kekasih, lautmu adalah nujum bagi teluh dan sedu.” Di bawah kutuk kuburan kutempuh segala sedih segala pilu. Kemurungan menjelma tengkorak tanah –
meretak pada jejak. Menggaib dalam tidur serupa bibirmu.

Rabu
Cuma gersang yang pernah ditiupkan. Rabu yang sampai
ke pelupuk mata membawa api menjatuhkan kerontang. Tak ada yang lain, terik mengentalkan ketandusan,
mengambang di antara sunyi dan makna kekeringan.
“Jantung yang merindukan detak dan pelukmu itu, Kekasih, adalah umurku yang percuma.” Segala tanya yang
melayang di udara hanyalah rasa putus asa. Langit
meneteskan darah – muram, sehitam hangus sisa arang. Serupa Rabuku.

Kamis
Ini wajah, rabalah, rasakan kerja yang suntuk, pipi yang kering, yang meretak dalam kerontang dan hati sedih, bibir yang asat yang surut ke dalam pendiaman dan cumbu yang letih, bahkan ketika hari telah jatuh Kamis, dan orang ramai sibuk memberi nama pada sengit kemarau dan terik yang ritmis. Mungkin, bukan nasib sial atau iklim gersang yang membuat umur terasa sia terasa asing. Tak ada yang perlu diingat lagi dari putih pahamu, bahkan burung-burung gaib yang pernah menggambar langit dalam mimpiku telah mampus membelatung. Cinta yang luput, rindu yang akut adalah gerak murung suntuk rumput – hanya mampu memeluk bayang-bayang dalam sihir singup kabut.

Jumat
Mungkin telah tiba saat: Jumat. Patung-patung yang
runduk, yang sujud, yang menciumi bumi padas. Cuaca
yang lelah. Angin derita di tebing menara. Kota dibangun dari dendam dari terik dari kehampaan. Katakanlah musim tinggal kemarau, namun di kedalaman cahaya masih aku buru sukma hujan, meski pada akhirnya umur hanya gersang, dan jasad yang dilupakan pelukan tinggal hangus
– diabukan impian dan mitos. Mitos muram kisah
pembakaran. “Biar matahari menangis darah, sebab sungai telah jatuh asat.” Azan dan tandus tanah warna jelaga menyimpan riwayat seratus tahun pertempuran. Aku
tancapkan mayatku di langit kerontang. Kematianku berdiri tegak sebagai pilar. Pilar hitam rumah. Rumah murung kerinduan.

Sabtu
Ternyata, kemarau telah menutup semua peristiwa semua kecupan. Malam yang panjang adalah maut – menjelma arah menjadi jalan bagi kesendirian. Kekosongan apakah yang menata riwayat yang menulis nasibmu – kian kering kian gersang kian kerontang. Ketandusan yang melukis semesta membuka malam dan rumah-rumah penjagalan. “Kejenuhan itu, Kekasih, adalah isyarat yang menuntun jejakmu di bumi ringkih.” Hujan tak pernah sampai di pelupuk mata. Aku menjadi ingatan kejemuan semula. Suara-suara dari neraka terasing memanggil cuaca.
Kureguk panas musim. Ruhku mengikuti arus bara – membara, melampaui kerinduan.

Minggu
Kucari sejenak istirah, namun perih apakah yang
menenggelamkanmu dalam sunyi dalam hibuk kerja dan mimpi tiada. Katakan burung-burung pagi berkelana di putih angkasa, namun kota-kota dibangun dari terik dan kilau murung matahari. Kehampaan adalah takdir yang harus ditempuh dalam kering musim dan kemarau cumbu. Bahkan ketika bumi retak dan lenganku kian hitam kian gersang dari pelukan. Seorang bocah berkulit mayat
mendongakkan kepala, di rambutnya mitos hari-hari
menjelma api. Berkobar membara. Begitu panas. Begitu membakar. Serupa minggu. Seperti perasaan kehilangan
dan batu-batu.

2017-2018

Indra Tjahyadi, lahir di Jakarta, kini bermukim dan bekerja di Surabaya. Kumpulan puisinya, Syair Pemanggul Mayat (2012), terpilih sebagai buku puisi terbaik 2013 versi Balai Bahasa Jawa Timur.



Dadang Ari Murtono

dung kayangan

di kedalaman itu, ia meneruskan hidup dalam
diri seekor gabus tua, gabus hitam dengan
sedikit bintik coklat, gabus bergigi tajam yang
mengorek serta menelan kedua biji matanya

ia melihat dunia, dari diri yang baru, sebagai
semesta keruh, pada waktu-waktu tertentu
ia terkenang hari lalu, cita-cita yang terkabul
lambat: akhirnya, akhirnya, tak ada lagi kelas,
semua gabus sama belaka

namun suatu kali, seekor ular kali, yang berkilau
sisiknya, yang lebih gesit lebih buas ketimbang
diri barunya, menyergapnya di sebuah liang,
dan sekali lagi, ia mengira dirinya mati

namun tidak,
dalam diri ular kali itu kembali ia meneruskan
hidup, dalam diri yang lebih muda, diri yang mampu
memudakan diri setiap kali usia tua tiba, hanya
dengan mengelupas kulit luarnya

kadang, dari balik batu, ia melihat dua pemancing
tua, yang kerap bernostalgia: di sini, bertahun-tahun
lampau, kita menjaga republik dan membantu tuhan
dengan menjagal kaum-kaum kiri

ia tahu, salah satu dari mereka pernah membenamkan
sabit di punggungnya yang telanjang,
ia tak pernah mengerti apa di dirinya yang mereka
anggap keliru

dan pada suatu sore, pemancing itu pulalah
yang menimpuknya dengan sebongkah batu,
ketika ia melata di tepi, demi sedikit cahaya
matahari

tak ada yang memakan bangkainya, namun
seorang penyair telah menyadap kisahnya,
dan dalam puisi itu, ia kekal, meski ia tak
pernah menyadarinya




gua Jepang

di sana, dalam selubung mantra orang kate,
waktu adalah danau
yang kadang beriak, kadang terkecipak,
namun tak beranjak ke mana-mana

maka di sanalah, dalam alur semu,
tujuh puluh satu lelaki kurus, menggali
tanpa membuat liang itu bertambah dalam
atau panjang, dan sekilas, seakan dalam
gambar hologram, sebelas serdadu
memenggali kepala kaum romusha itu
dan suara yang mengambang
: sebab tak boleh ada yang mengetahui tempat
ini, sebab seton emas adalah milik kaisar,
hanya milik kaisar

dan mantra yang terus memperbarui diri itu
juga mengalirkan ruang, dalam sebentuk
sungai kecil, terus bergerak,

maka begitulah
ia kadang terlihat di satu tempat,
namun segera menghilang, selalu luput
dari pindai, selalu lepas dari beku peta

dan karenanya, para ahli waris
senantiasa hanya sanggup berziarah ke
dalam kenangan
kenangan berwarna abu-abu


Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku puisinya berjudul Ludruk Kedua (2016).




Marhalim Zaini

agama ikan

aku tak pernah tidur,
tapi aku bukan tuhan.

mata dan air, saling membuka pintu
dalam tubuhku

saling membuat gelombang bunyi
dari gemetar cahaya pagi

tak saling berbantah tentang
akidah langit yang kekal

tak saling menyumpah tentang
kaidah laut yang liar

apakah mata dan air,
satu agama?

bukan. mata bukan air, dan air
bukan mata yang tak bisa tidur.

air, adalah dunia tempat mata berenang
melihat tuhan terjaga.

dan karena aku bukan tuhan,
aku tidur dengan mata terbuka.

2017




agama sungai

ia hanya berdayung, dari tepi ke tepi. setiap pagi,
ketika sebuah doa tersangkut di jala, dan membuat
luka robek makin menganga. tapi sungai ini, diam saja
seperti seseorang yang terbujur, terpiuh di ujung nyawa.

ia tak sendirian. menjadi pendayung adalah pilihan untuk
tidak menjadi sampan. menjadi sungai adalah pilihan tabu,
sebab sungai memilih menjadi ibu. ibu yang sudah tak lagi
mencuci rambutnya, sejak punggung sejarah menghadap kota.

maka dari tepi ke tepi, dari pagi ke pagi, yang ia dayung
adalah tubuh ibu, ia berdayung di atas tubuh ibu. tubuh
yang tiap malam tak berlampu. yang tiap petang merapal
remang dari dongeng terubuk, dari telunjuk kutuk. tubuh,
yang bertahun-tahun menyaru menjadi patung di istana.

maka saban azan, yang ia panggil adalah hulu. tuhan di sana,
tuhan di sana. selalu ia berteriak kepada tepi, kepada pagi.
tapi tepi dan pagi, adalah juga birai pada kain, yang ia dengar
hanya sengal gelombang, di ujung gaung sebuah zaman.
2017

Marhalim Zaini, lahir di Bengkalis, Riau, 15 Januari 1976. Buku puisinya, Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (2013), meraih Anugerah Hari Puisi Indonesia 2013 dan Penghargaan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun yang sama. Menggerakkan Suku Teater Riau dan Komunitas Paragraf di Pekanbaru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi