Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Dodoku Ali karya Acep Zamzam Noor

Acep Zamzam Noor


Dodoku Ali


Kutulis gazal untuk pagi terakhir
Dan kuberikan padamu sebagai amsal
Tiba-tiba angin berhenti menderu
Dermaga lengang di antara kita

Kutulis rubaiyat untuk camar kecil
Kutulis di atas permukaan selat
Darahku yang beku kembali mencair
Ketika ruap kopi meluruhkan kabut sepi

2014




Siapakah

Siapakah yang menyiramkan hijau
Ketika punuk bukit kembali bersemi

Siapakah yang menumpahkan biru
Ketika ombak berkejaran dengan sunyi

Siapakah yang menggambari langit
Dengan kuas sehalus awan pagi

Siapakah yang mengukir udara
Dengan pahat selentur jemari

2015


Sesungguhnya

Andai jemariku mengelus rambutmu
Aku hanya mengelus rambut waktu

Andai hanya mengelus rambut waktu
Sesungguhnya aku mengurai rahasia rindu

Andai mengurai rahasia rindu
Aku hanya mengungkapkannya lewat lagu

Andai hanya mengungkapkannya lewat lagu
Sesungguhnya aku telah memeras seluruh jiwaku

2015




Anjung Cahaya

Ketika sunyi menyeberangi selat
Aku sendiri di dermaga biru

Ketika angin mengirimkan isyarat
Aku melihat sampan meninggalkanku

Ketika rembang menebarkan kesumba
Aku menjengkal jarak ruang dan waktu

Ketika senja mematangkan cahaya
Aku tenggelam di palung rindu

2015




Tapulaga

Langkahku berujung di sebuah dermaga yang menjorok
Ke dalam teluk. Tak ada kata-kata yang menggambarkan
Bahwa kehilangan merupakan bentuk lain dari penyerahan
Tiang kayu hanya menunjukkan di mana aku mesti berdiri

Sebuah pulau nampak seperti bangkai perahu di tengah laut
Pondok-pondok terapung di antara keheningan dan kebisuan
Jejak sunyi yang kautinggalkan berupa riak yang memanjang
Dan lenyap di kejauhan. Suaramu tersimpan di balik ombak

Aku berusaha mengingatmu dalam jarak yang masih terjengkal
Selat demi selat tidak pernah mengantarkan kita ke mana-mana
Hatilah destinasi paling akhir dari semua persinggahan di dunia

Kekasihku, tulisan di atas pasir ibarat artefak percintaan kita
Hikayat yang terpahat di udara akan segera dihapus cuaca
Sebagaimana pertemuan langit dan bumi yang selalu tertunda

2016




Bukan Destinasi Akhir

Pelan-pelan langkah fajar mendekati tembok dermaga
Menjelang subuh tiba. Perahu-perahu mulai berlabuh
Ufuk yang kemerahan menggeraikan rambutnya ke udara
Dan udara menyisir rambut itu dengan hembusan angin

Dari ujung teluk menyembul matahari yang berawan
Tirai-tirai cahayanya membayang pada permukaan laut
Seorang penyair telah berlayar dan lenyap di balik ombak
Tapi waktu tak pernah menyebutnya sebagai kehilangan

Kehilangan hanyalah jeda dari sebuah perjalanan panjang
Persinggahan di antara keberangkatan dan kedatangan
Yang terus berulang. Kematian bukan destinasi akhir

Seorang penyair adalah nelayan yang mengarungi malam
Dan bertarung melawan sunyi. Epitaf tak menulis namanya
Tak ada artefak yang mengisahkannya sebagai pemberani

2017




Sancang

Tanpa alas kaki aku berjalan memasuki hutan terlarang
Batu-batu padas menjadi nubuat yang berasal dari sunyi
Sebuah ukiran nampak pada tebing yang ditoreh belati
Ada lelehan darah. Tahun kelahiran kita tertulis di sana

Lalu kita berpisah dan menjadi bagian dari kitab semesta
Bagian dari buku yang tak henti-hentinya mendedahkan
Keajaiban rindu. Aku membacamu hingga lubuk bahasa
Sebelum kau menghilang ditelan keremangan kata-kata

Aku berjalan menanjak dan menurun sepanjang hutan itu
Ingatan ibarat sulur-sulur pohon yang berjatuhan ke bumi
Dan kenangan adalah bunyi serangga menjelang subuh tiba

Di sebuah muara aku melihat waktu mengalir begitu lambat
Menit-menit mengambang di antara cabang-cabang bakau
Yang rapat. Aku tahu kematian menunggu kita di dermaga

2017




Batupacakop

Bibirku hanya mendarat di kening batu karang
Ketika angin mengabarkan seseorang pergi ke selatan
Dan menghilang di balik ombak. Maka kecupanku
Kecupan pertamaku sebatas menyentuh jejak

Jejak sunyi yang kemudian menjadi sangat panjang
Dalam ingatanku. Di sinilah akhirnya aku membuang diri
Menjadi layar bagi perahu, menjadi jaring bagi nelayan
Menjadi petunjuk jalan bagi peziarah yang kebingungan

Bertahun-tahun kurenungi waktu sambil memejamkan mata
Kuhayati kesementaraan dengan menyumbat kedua telinga
Terus berlari mengejar bayangan yang sebenarnya tidak ada

Utara dan selatan adalah satu dalam napas panjang waktu
Hulu dan muara adalah rangkaian niat, ucapan serta perilaku
Berabad-abad menunggu hingga rinduku sematang terumbu

2017




Sagaraanakan

Aku melihat ujung cahaya di balik keremangan
Sebutir bintang jatuh dan tenggelam di muara
Perahu-perahu yang berlayar menghilang
Di seberang nusa. Tumpahan tinta menodai segara

Aku memasuki celah di antara dua karang besar
Menyelinap ke dalam kerumunan sulur-sulur kiara
Rembang telah menjadi titik yang tak terjangkau
Oleh kata-kata. Lalu mataku padam bersama senja

Di manakah jalan setapak yang menuntun masa kecilku
Ke arah sendang? Setiap pengembaraan selalu melahirkan
Berbagai kemungkinan yang sulit untuk digambar ulang

Di manakah tembang asmarandana yang menenungku
Menjadi batu? Goa-goa seperti menyembunyikan masa lalu
Namun semadiku adalah perjalanan lain di luar waktu

2017




Karangtawulan

Sambil mengingatmu aku berjalan menuju perbukitan
Menapaki undakan batu yang menanjak dan berkelok
Seperti tangga usia. Kudengar angin bersahutan di udara
Dan pelahan-lahan rembang menurunkan layar petang

Di atas hamparan samudera nampak titik-titik cahaya
Langit tanpa mega bagaikan lukisan yang belum selesai
Tapi permukaan ombak seakan menunjukkan tekstur lain
Selalu ada ruang bagi sunyi. Bagi siapa pun yang menanti

Sambil mengenangmu aku memaknai setiap perubahan
Sebagai kehilangan. Di antara ketapang, bunut dan randu
Bayang-bayang menegaskan bahwa jarak kita bukan waktu

Mungkin setiap kehilangan menyisakan jejak yang dalam
Semacam luka yang tak kunjung kering, Tapi pulau karang
Adalah kesendirianku yang tegak di tengah ganasnya musim
2018

Acep Zamzam Noor, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. Death Approaching and Other Poems (2015) merupakan antologi puisinya dalam terjemahan Inggris dan Jerman, sedangkan Ailleurs des Mots (2016) adalah antologi puisinya dalam terjemahan Perancis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi