Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Ragam Pustaka
10 Desember 2016
Meluruskan Pemahaman atas Kritik Sastra
Indonesia setelah Orde Baru ditandai dengan kebebasan berekspresi yang lebih terbuka. Demikian halnya dengan industri media yang berkembang, baik cetak, elektronik, maupun digital. Ruang penyajian bagi berbagai macam karya sastra semakin luas, tak lagi hanya di panggung pertunjukan, buku-buku dan jurnal ilmiah, atau rubrik atau program acara khusus kebudayaan di media massa konvensional, tetapi juga tergelar bebas di media sosial.
Di tengah semaraknya kemunculan sejumlah karya sastra bagaimana dengan nasib kritik sastra? Seolah tak terasa gemanya dalam menjaga bobot karya sastra. Jika kritik sastra dipahami hanya berada dalam wilayah sakral dunia akademik dan milik akademisi atau sastrawan yang memiliki otoritas dan kompetensi dalam kesusastraan, memang terasa sepi dari ruang publik. Namun, selain kritik sastra ilmiah, ada pula kritik sastra umum, yang mudah dijumpai di sejumlah media popular, yang beredar di masyarakat. Kritik sastra model itu muncul dalam rupa esai sastra, ulasan ringkas, resensi, atau bahkan komentar abal-abal di media sosial.
Buku Kitab Kritik Sastra (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) karya Maman S Mahayana terbit pada saat yang pas. Di tengah kelangkaan buku tentang kritik sastra, buku ini hadir menjadi referensi memadai dalam memahami perkembangan kesusastraan Indonesia yang terasa dinamis. Secara substansial buku ini hendak menegaskan, ada begitu banyak jenis tulisan yang tergolong kritik sastra. Tak hanya tulisan kritik sastra yang dilahirkan dari hasil kajian akademis. (YKR/Litbang Kompas)
Menangkap Makna di Balik Puisi
Dibandingkan jenis novel dan cerita pendek, boleh jadi puisi lebih sulit dipahami. Hal ini karena umumnya puisi ditulis sang penyair dengan bahasa atau kata-kata yang tak bisa serta-merta diartikan secara harfiah, sebagaimana yang terbaca. Dalam puisi, penyair biasa menggunakan berbagai kata yang bermakna konotatif atau simbolis. Maksud penyair tersembunyi di balik puisi yang ditulisnya.
Kesulitan untuk memahami puisi tidak menyurutkan minat orang untuk bisa menikmati puisi. Tak hanya membaca, tetapi juga menulis dan membicarakan puisi dalam berbagai kesempatan, termasuk di media sosial. Bahkan, akhir-akhir ini banyak remaja yang menggandrungi puisi-puisi yang muncul dalam film atau musikalisasi puisi. Namun, mereka yang berusaha memahami karya sastra secara lebih serius membutuhkan sebuah buku yang dapat membantu mengapresiasinya.
Dalam bukunya yang berjudul Bilang Begini Maksudnya Begitu (Gramedia Pustaka Utama, 2016), Sapardi Djoko Damono mengajak peminat puisi mengapresiasi puisi dengan mengenal sejumlah alat kebahasaan. Alat kebahasaan itu biasa dimanfaatkan penyair untuk menyampaikan sesuatu yang bisa saja berupa cerita, gagasan, sikap, suasana, dan sebagainya. Dalam buku ini, Sapardi menjelaskan satu per satu secara mendalam sejumlah alat atau muslihat atau gaya yang biasa digunakan penyair dalam berpuisi. Pemahaman terhadap alat-alat kebahasaan akan membantu kemampuan mengapresiasi karya sastra, seperti puisi, menjadi lebih baik. (YKR/Litbang Kompas)
10 Desember 2016
Meluruskan Pemahaman atas Kritik Sastra
Indonesia setelah Orde Baru ditandai dengan kebebasan berekspresi yang lebih terbuka. Demikian halnya dengan industri media yang berkembang, baik cetak, elektronik, maupun digital. Ruang penyajian bagi berbagai macam karya sastra semakin luas, tak lagi hanya di panggung pertunjukan, buku-buku dan jurnal ilmiah, atau rubrik atau program acara khusus kebudayaan di media massa konvensional, tetapi juga tergelar bebas di media sosial.
Di tengah semaraknya kemunculan sejumlah karya sastra bagaimana dengan nasib kritik sastra? Seolah tak terasa gemanya dalam menjaga bobot karya sastra. Jika kritik sastra dipahami hanya berada dalam wilayah sakral dunia akademik dan milik akademisi atau sastrawan yang memiliki otoritas dan kompetensi dalam kesusastraan, memang terasa sepi dari ruang publik. Namun, selain kritik sastra ilmiah, ada pula kritik sastra umum, yang mudah dijumpai di sejumlah media popular, yang beredar di masyarakat. Kritik sastra model itu muncul dalam rupa esai sastra, ulasan ringkas, resensi, atau bahkan komentar abal-abal di media sosial.
Buku Kitab Kritik Sastra (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) karya Maman S Mahayana terbit pada saat yang pas. Di tengah kelangkaan buku tentang kritik sastra, buku ini hadir menjadi referensi memadai dalam memahami perkembangan kesusastraan Indonesia yang terasa dinamis. Secara substansial buku ini hendak menegaskan, ada begitu banyak jenis tulisan yang tergolong kritik sastra. Tak hanya tulisan kritik sastra yang dilahirkan dari hasil kajian akademis. (YKR/Litbang Kompas)
Menangkap Makna di Balik Puisi
Dibandingkan jenis novel dan cerita pendek, boleh jadi puisi lebih sulit dipahami. Hal ini karena umumnya puisi ditulis sang penyair dengan bahasa atau kata-kata yang tak bisa serta-merta diartikan secara harfiah, sebagaimana yang terbaca. Dalam puisi, penyair biasa menggunakan berbagai kata yang bermakna konotatif atau simbolis. Maksud penyair tersembunyi di balik puisi yang ditulisnya.
Kesulitan untuk memahami puisi tidak menyurutkan minat orang untuk bisa menikmati puisi. Tak hanya membaca, tetapi juga menulis dan membicarakan puisi dalam berbagai kesempatan, termasuk di media sosial. Bahkan, akhir-akhir ini banyak remaja yang menggandrungi puisi-puisi yang muncul dalam film atau musikalisasi puisi. Namun, mereka yang berusaha memahami karya sastra secara lebih serius membutuhkan sebuah buku yang dapat membantu mengapresiasinya.
Dalam bukunya yang berjudul Bilang Begini Maksudnya Begitu (Gramedia Pustaka Utama, 2016), Sapardi Djoko Damono mengajak peminat puisi mengapresiasi puisi dengan mengenal sejumlah alat kebahasaan. Alat kebahasaan itu biasa dimanfaatkan penyair untuk menyampaikan sesuatu yang bisa saja berupa cerita, gagasan, sikap, suasana, dan sebagainya. Dalam buku ini, Sapardi menjelaskan satu per satu secara mendalam sejumlah alat atau muslihat atau gaya yang biasa digunakan penyair dalam berpuisi. Pemahaman terhadap alat-alat kebahasaan akan membantu kemampuan mengapresiasi karya sastra, seperti puisi, menjadi lebih baik. (YKR/Litbang Kompas)
Komentar
Posting Komentar