Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
A Muttaqin
Burung-Burung yang Bubar dari Latar Attar
– untuk yai amun dan munawi
Pengaduan Jalak
Burung zindik berbisik kepada jangkrik:
Jangan berisik, besok kau bakal diuntal
cendet cedal yang terpental dari alas asal.
Tapi jangkrik tetaplah jangkrik.
Kepada burung zindik tersebut
beliau bilang bahwa dirinya penganut syekh perkutut,
burung salik yang hanya makan ketan dan jewawut.
(Dari syekh perkutut jangkrik mendapat amanat
merapal larik mistik krik, krik, krik 3.000 kali
di malam Senin dan 7.000 kali di malam Jumat.)
Tidak. Beliau tak percaya pada beo,
burung zindik dan tengik itu, yang amat giat
menghujat dengan ayat-ayat hutan
dan diocehkan seperti benih kebencian.
Demikian aduan jalak kepada kiai gagak,
burung hitam sepuh, yang paham
seluk beluk kelam dan kematian.
(2016)
Penciuman Gagak
Aku telah mencium bau bangkai
yang begitu nyata. Berhari-hari mendatang
pasti datang perang panjang dan pertumpahan darah.
Tidak. Tidak, saudaraku. Jangan percaya perkutut,
burung salik yang licik itu. Jangan teperdaya
kalung lehernya yang menyerupai butiran berkah.
Kemarin, sang kutilang datang
dari pucuk pohon cemara dan mengabarkan
bahwa perkututlah penghasut puter dan derkuku.
Dari ketinggian sangkarnya, perkutut berkhutbah
burung-burung puter yang memekurkan kur
ter, ter, ter, ter itu pastilah kaum bidah dan bedebah.
Perkutut yakin, itu kur pembangkit berahi antar-sesama.
Itu sebabnya leluhur puter membuang kalung di lehernya.
Itu sebabnya bulu puter lebih kelabu dari bulu derkuku.
Itu sebabnya kabilah derkuku tak sudi mengawini kabilah mereka.
Kini mereka telah bersitegang dan siap berperang.
Petanda buruk telah datang, Saudaraku.
Petanda buruk telah datang.
Pohon zaqqum tengah mengaum. Dan aku melihat burung-
burung besar pencabut nyawa bersiap terbang dari pintu neraka.
Sungguh, aku mencium bau bangkai yang begitu nyata.
(2016)
Kur Kabilah Puter
Ter, terpujilah derkuku yang membuat bulu-bulu kami tumbuh lagi
Ter, terpujilah perkutut yang membuat empat kur kami dimengerti
Ter, terpujilah puter-puter pejuang yang bangun dari cepuk mimpi
Ter, terpujilah bulu nun terbang tinggi dan turun kembali ke bumi.
(2016)
Pernyataan Perkutut
Bagaimana mungkin sang kutilang, burung penyair yang riang
dan rajin sembahyang itu mengoceh di pucuk pohon cemara
bahwa akulah yang menghasut burung puter dan derkuku.
Tidak. Sebagai burung penyair yang mahir menaksir sejarah
dan rahasia burung-burung purba, pasti ia tahu kalau leluhurku
sama belaka dengan leluhur burung puter dan derkuku itu.
Mengapa pula gagak, burung sepuh yang mengerti rahasia kelam
dan kematian itu, percaya begitu saja ocehan kutilang dan berfatwa
kepada jalak prihal pelik yang sungguh-sungguh tak diketahuinya.
Bagaimana mungkin, sebagai burung salik aku tega terhadap
pertumpahan darah dulur-dulurku, burung puter dan derkuku itu.
Bagaimana mungkin sekeji itu prasangka mereka terhadapku.
Sungguh, itu adalah kebodohan yang nyata. Pun tak patut bila
mereka menghujat beo, burung latah yang setia mengocehkan
ayat-ayat hutan, sebab begitu tafsir tugas yang dilepas ke lidahnya.
(2016)
Pandangan Elang
Bangsatlah para serigala yang mengajar perang
kepada kabilah-kabilah satwa di hutan sana.
Bangsatlah celeng-celeng yang mengajar rasa rakus
kepada sekalian satwa yang gampang mampus oleh lapar.
Telah kutinggal kubu-kubu burung itu melanglang ke padang pasir
supaya aku tahu rahasia gurun dan angin dan gunung dan lautan.
Kutempuh cara demikian lantaran aku ingin ketemu ilmu makan
yaitu makan sekadar ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang.
Singa dan ular telah uzlah ke goa-goa gelap supaya mereka
tahu rahasia cahaya yang membuat mata mereka tetap peka
pada warna dan rasa. Dari singa dan ular itu aku tahu, gajih
adalah bala yang membuat sayap dan kaki burung betah di tanah.
Mengapa burung-burung itu tak bersabar menunggu aku
pulang dari tualang panjang dan mengajarkan pada mereka
laku kura-kura tua yang telah menempuh banyak jalan
dan mengikhlaskan dagingnya untuk melunaskan puasaku?
Mereka malah bertarung antar-sesama bangsa burung dan
mengurung dendam yang dikandung sampai ke indung telur.
Tidak. Jangan diteruskan. Sungguh yang demikian itu adalah
aniaya bagi roh burung-burung yang merenung di pohon sidrah.
Apakah kalian ingin seperti burung unta yang berlari
dan terus berlarian sambil menyembunyikan kepala,
padahal, sebagai burung, kau ditetaskan untuk terbang
dan melihat lekuk-lekuk bumi dari ketinggian sana?
(2016)
Surat Terbuka Prenjak kepada Rajawali
Kepada Rajawali,
Tuan para burung, yang tak pernah kami temui.
Mungkin Tuanlah ratu adil untuk bangsa burung yang kerdil ini.
Turunlah dari tinggi dahan Tuan yang tersembunyi. Jadilah
penyelamat kami. Jadilah pawang bagi hati kami yang gerowang
ini. Jadilah penolong bagi bangsa burung yang teraniaya
dan terlunta-lunta ini. Jangan Tuan jadi burung jadi-jadian
yang sekadar dijadikan dongeng pengantar tidur
bagi telur-telur kami yang busuk menanti.
Demikian kiranya surat terbuka yang kami panjatkan
dari pohon keres kering ini, wahai Tuan Rajawali
untuk Tuan, di mana pun Tuan bersembunyi.
(2016)
A Muttaqin lahir di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Buku puisinya yang terbaru adalah Dari Tukang Kayu sampai Tarekat Lembu (2016).
Catatan: Rangkaian puisi alegoris ini diilhami ”Musyawarah Burung” karya Fariduddin Attar, penyair sufi asal Persia di abad ke-12.
Komentar
Posting Komentar