Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Arif Rizki
Sonetarium
Tak perlu tunggu aku di kalimat terakhir sajak ini.
Aku tak berada di sana,
dan tak ada di mana-mana.
Aku telah mengakhiri diri sendiri
jauh sebelum kata pertama.
Sajak ini adalah balon yang lepas ke udara
dari genggaman tangan kanak-kanak
yang ditinggalkan ibunya.
Jangan menangis dan tertawa
bersama sajakku.
Aku tak berada di sana
dan kau sendirian belaka.
Aku telah meninggalkan seseorang sebelum tunai mengantarnya.
Sajak ini adalah tiket yang dirobek dua
demi sebuah tujuan yang tak pernah direncanakan.
Sementara pulang dan kembali tak pernah sepadan.
Jangan tunggu aku di kalimat terakhir sajak ini.
Aku tak bersembunyi di balik tanda baca.
Mengertilah sebelum sampai tanda tanya,
dan berhentilah sebelum tiba pada koma,
karena aku tak berada di sana.
Aku tak berada di sana.
f/1.8
Aku tangkap kau
dengan mata terbuka!
Di hadapanmu, pupilku sempit dan lebar seketika.
Sebagai sebuah kenangan, kau akan menjelma.
Menetaplah pada ingatanku,
bukan sepintas saja.
Di sana, segala yang bisa aku dapatkan
adalah segala yang ada padamu.
Aku mencintai tepi tubuhmu
yang pekat dan suram membayang
sebagaimana aku memuja waktu
yang berhenti satu kedipan.
Bagaimana kita bisa mendoakan keabadian
sementara kesementaraan selalu bergantian.
Bagai kereta cepat atau seperti pos kilat
yang bergegas menuju sebuah alamat.
Aku ingin nikmat yang sesaat.
Aku ingin bergegas dengan lambat.
Tapi segala di luar tubuh kita lewat
tak lagi bisa kutangkap dan kucatat.
Yang tersisa hanya kau dan aku kini
berdiam di antara terbit-tenggelam matahari,
dan berharap ada yang bisa abadi.
Maka untukmu,
demi diafragma dan satu per seribu masa.
Aku tangkap kau
dengan cahaya!
Arif Rizki lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 1987. Alumnus Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Padang. Menetap dan bekerja di Padang.
Toni Lesmana
Kidung Tunggul Pungur
Magrib
menyuling gerimis
jatuh
dari daun ke daun
berdentum
ke batu-batu ngungun
menyiram aksara di nisan.
Malam
membakar dupa
bara
dari akar ke akar
kegelapan
pusara kunang-kunang
muasal suara-suara mambang.
Gusti, kurindukan puisi
terukir lagi di daging kering ini
terpahat di tulang rapuh ini, dan gemanya,
gemanya merajah darah mengaliri nadi
agar tubuh ini, o, tunggul pungur ini
hidup ini, o, tunggul pungur ini
tak sekedar sisa sekarat yang keparat
namun bisa menjelma rumah keramat
bagi mekar lembar-lembar lumar.*
2016
* lumar: jamur bercahaya.
Selubung Rindu
Selalu kepada dirimu kata-kata mudik, semoga,
senantiasa kepada diriku kata-kata balik.
Selalu tersimpan alamatmu di benak kata-kata, namun,
senantiasa tak tercatat alamatku dalam ingatan kata-kata.
Jarak dirimu dan diriku: dulu lebur tak terukur
karena satu dan kini jauh terulur sebab seteru.
Bagi kata-kata: kau seindah-indahnya tanah ziarah
sementara aku senikmat-nikmatnya tempat tersesat.
Setiap kali kata-kata mudik, kubayangkan mereka adalah diriku
dan ketika kata-kata balik, kubayangkan mereka adalah dirimu.
Mereka memang bukan diriku, mereka bukan pula dirimu,
tapi mereka, kata-kata itu, seakan-akan kita: membawa pulang
Diriku padamu dan mengajak serta dirimu padaku.
2017
Toni Lesmana lahir di Sumedang, dan menetap di Ciamis, Jawa Barat. Kumpulan puisinya bertajuk Tamasya Cikaracak (2016).
Mashuri
Bukan Jibril
Di tepi kali, aku menunggumu. Tapi kenapa yang datang selalu
hujan, kelesik dedaunan, dan debur air di antara bebatuan. Kini, rintik air dari langit itu kembali menggaris kesepian. Musik daunan yang dimainkan angin pun semakin menikam kesendirian. Percik air di batu-batu, serupa roda nasib yang mengekalkan luka kalbu. Aku masih setia pada kitab dan tongkatmu. Entah kau datang nanti atau tidak sama sekali, aku akan tetap menunggumu di tepi kali. Tapi izinkan aku menghentikan hujan dari perasaanku, memindah
pepohonan dari hatiku, dan menyapih nasib dari takdirku. Utusanmu telah datang semalam, ia melatihku hingga fajar. Ia membuatku menggigil, meski ia bukan Jibril.
Malang, April 2017
Pecaron
: cinta pertama sang laron
Rembulan tak lagi utuh, o cintaku, seperti donat yang disayat gigi
susu anak-anak sewindu – ceritera pun tak lagi berkumpar pada
taring Batara Kala, o belahan hatiku, kerna dalam ritus selingkuh dengan jilmaan Uma palsu, gigi itu tak setajam dulu.
Tak tahukah kau, di sini, anak-cucumu kerap bermain nujum tanpa niat bernubuat dan bersijabat dengan penguasa keramat gelap. Kerna jarum jam zaman lebih tajam dari tebasan sejuta parang dan kalam.
Kepadamu o, sang pengelana dunia, kutitipkan sisa bayang-bayang bumi di balik kelir takdirmu; kulingkarkan segenap korona,
mengganti gelap dengan harapan-harapan tuk sempurna
menapaktilasi jejakmu.
Tapi entah kenapa kenangan masa lalu selalu menyaru cinta pertama. Ia menjadi hantu, sekaligus penggoda yang begitu perkasa membalik mata: galaksi pun tak mengenal bumi bundar, tapi tanah datar,
seperti lapangan tanpa bola. Karena itulah, o pelukis darah di
tubuhku, kurelakan sayap-sayapku luruh menuju cahaya, yang
berkumpar di damarmu.
Situbondo, 2017
Mashuri lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Buku puisinya yang terbaru adalah Dangdut Makrifat (segera terbit). Ia tinggal di Sidoarjo dan menjadi peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur.
Komentar
Posting Komentar