Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
18 Maret 2017
Aji Ramadhan
Kosmogoni
Kudengar cahaya berbicara: Api itu
muncul di dunia.
Kudengar api itu
membuat jaman baheula
mengeluarkan telur.
Lalu telur menetaskan cerita
yang membentangkan debu hasil
mengulum dan menggulung dunia.
Kudengar cahaya berbisik: Api itu
padam. Semenjak api itu padam,
dunia melafalkan bunyi.
Seribu tahun lewat,
dunia menghidupkan sepasang batu:
Sepasang batu berbunda dunia,
sepasang batu mengelanai dunia,
sepasang batu saling bercinta
ketika dunia pancaroba.
Kudengar cahaya berlirih: Api itu
kembali. Kudengar api itu hadir
pada diri sepasang batu yang mulai
mengkhianati dunia,
menolak gerbang fana.
Surakarta, 2016
Menulis Harimau
Aku menulis harimau di hutan leluhur
yang sering diceritakan ulang
oleh nenek. Aku menulis harimau sedang mandi di sungai
bersama arwah leluhur.
Harimau suka becermin di air sungai.
Wajah harimau serupa wajahku. Aku yakin
pembuluh darahku
mengalirkan jalan harimau. Nenek memuji harimau
di hutan leluhur suka menghalau kesialan kita.
Di dunia hewan, harimau termasuk sebangsa kucing,
terlihat tingkah lucu harimau berlari
ke hutan leluhur
setelah berhasil mencuri ikan di rumahku
leher harimau terus dielus oleh arwah leluhur.
Aku menerka kulit harimau yang seperti api berkobar itu
adalah pelita menghapus gelap malam,
kesegaran udara menyentuhi bulu hidung,
pandangan tajam mengais tumpul dunia.
Nenek pernah berbisik
ketika aku memperlihatkan gambar harimau:
”Harimau kita memang bersayap dan mahir terbang.”
Sembari rehatkan diri, aku tunggu harimau
dalam tulisanku tidur pulas
di hutan leluhur. Kalau harimau sudah terbangun,
tangannya akan keluar dari tulisanku.
Surakarta, 2017
Suara Samar Hutan
Hujan berhenti membasahi hutan, tapi halimun senja
membuat petualang harus cepat keluar
dari sesak semak dan daun.
Tinggal setengah jam lagi,
halimun senja berganti sinar biasan bulan. Jika begini,
petualang
memilih tidur dalam hutan.
Gagal. Petualang terjaga diganggu nyamuk nakal.
Beberapa saat, petualang mendengar
suara samar hutan. Tapi asing bagi daun telinga
petualang
menangkap maksudnya.
Hutan terus memberi suara samar kepada petualang.
Yang ada hanya kebisuan petualang
sembari tangannya mengelus
salah satu pohon dalam hutan.
”Aku datang, lenggang, gamang,” mau juga petualang
membalas suara hutan.
Semua pohon dalam hutan
langsung bergetar,
seperti terkena gempa. Petualang ketakutan
dan memeluk tubuh pohon yang dielusnya tadi.
Tapi petualang tak sadar, akar hutan mulai berjalan
menuju laut dan menjadi pulau tersendiri.
Petualang yang masih dalam hutan, keesokannya
terus mencari jalan pulang
ditemani
suara samar hutan.
Surakarta, 2017
Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Buku puisinya adalah Sang Perajut Sayap (2011) dan Sepatu Kundang (2012).
M Aan Mansyur
Sebelum Membaca
ke sekolah setiap pagi aku pergi
dengan harapan tiba di kamar sendiri –
atau di ruang kelas di mana tidak ada
siapa pun selain aku. tetapi
ketika pulang, aku ingin tidak
pernah sampai di rumah. hanya
di jalan. langit ialah buku favoritku.
buku gambar semua manusia. puisi
tak rampung. cerita tak berujung.
aku ingin menuliskan pikiran
gelapku di atas kertas yang lebih
gelap. ketika aku hilang kelak
tidak ada yang akan kutinggalkan
selain diri sendiri yang tidak
pernah lengkap.
Sebelum Percaya
di antara segala yang tak kupahami, diriku
terlalu cepat kupelajari dan terlampau lambat
kumengerti. dan kau
di kejauhan, ada seseorang di dalammu
melarang merindukan diri lain. masa lalu
yang membuat kopi pagi tidak butuh
gula dan kawan bicara.
aku menulis berjuta-juta kata tapi
tiap kata lupa dari mana dan untuk siapa
ia tiba. aku mencintai segala yang tidak
memaksa aku mengingat kau. tapi
tak ada yang jauh. hanya ada
jarak. tapi
tanpa jarak, puisi adalah api –
kata-kata kayu bakar semata. tapi
kau tak perlu menyentuhnya. tapi
aku ingin mengajakmu membaca dan
berbahagia dan berduka. tapi
aku percaya tiap manusia
cuma memiliki keraguan
Sebelum Bicara
pikiran terbuka bertanya,
katamu. (pikiran tertutup
menjawab)
namun segala telah jadi jawaban
dan tidak ada seorang pun tabah
menantikan pertanyaan. semua
orang mengungsi dari perang
yang berkecamuk dalam diri
mereka. kita tak menemukan
apa pun selain keindahan lama;
anak-anak muda dalam jebakan
foto-foto tua atau rumah masa
kecil dalam mimpi orang-orang
yang tidak pernah tidur.
di puisi ini hanya ada satu kota
yang terbuat dari lelehan cermin.
kau bisa menyaksikan masa lalu
mencair jadi tiada dan masa kini
tak sanggup ditangkap. jauh
di tengah-tengah ada taman;
pohon-pohon belajar tumbuh –
dan karenanya burung-burung
kecil dalam dirimu ingin punya
lebih dari sepasang sayap
dan semua orang tak juga
menemukan wajah mereka –
kita takut jadi diri sendiri
Sebelum Sendiri
kenangan dan harapan, kata satu penyair,
ialah dua negara yang tidak ada di peta.
kubawa keduanya ke mana-mana –
dan ingatan: paspor yang selalu minta
diperbarui.
dalam diriku: membentang jarak kedua
negara itu dan dari sana hidup melimpahkan
sepi; di puisi ini kusimpan sebagian untukmu
sebagai langit yang tidak tahu berubah warna
atau jendela atau buku cerita yang menghapus
kata-kata sendiri atau rumah tanpa penghuni.
kelak kau menginginkan
sepi melebihi apa pun, ketika tidak mampu
kautemukan dirimu di mana-mana. dan akan
kaupaham hidup ialah upaya menerima
ketidaksanggupan dan menolak keinginan –
supaya langit itu atau jendela buku rumah
itu melimpahkan lagi sepi yang lebih
berat daripada ketanpaan
Sebelum Bertemu
perihal paling indah dari langit
dan langit-langit: tidak pernah
menjawab ketika kau bertanya.
mereka menginginkan kau
meragukan keyakinan
selamanya.
orang butuh, kata orang, lebih
sering sendiri agar bisa jujur.
aku mencintaimu dengan pikiran
dan perasaan yang tak bisa kuubah
jadi kata-kata. apakah diam
adalah dusta? tetapi
kekasih dan puisi sama saja:
tempat sembunyi. kata-kata
dan makna saling menghindari
agar bisa mencintai dan memberi
rasa aman bersamaan.
Sebelum Pulang
aku ingin jadi matahari yang gelap
melebihi puisi yang hidup dalam kemiskinan
bahasa. kata-kata yang selalu berjuang
memeluk tubuh yang tidak ada
seperti usaha sia-sia mencari sesuatu
yang bisa mengganti udara.
puisi ini ialah bayangan yang gamang:
apakah tubuh kita adalah bayangan
tubuh kata?
aku sendiri dan kekosonganku
terlalu berat untuk kutanggung.
tidak ada
siapa pun yang bisa kuminta tinggal.
aku tidak pernah mengatakan: jangan
pergi.
adakah matahari yang gelap
melebihi puisi. tujuan hidupku
hari ini: aku ingin tahu
M Aan Mansyur bekerja sebagai pustakawan di Katakerja, Makassar. Buku terbarunya, Tidak Ada New York Hari Ini (2016), berisi serangkaian puisi yang bertolak dari kisah Ada Apa dengan Cinta 2.
Aji Ramadhan
Kosmogoni
Kudengar cahaya berbicara: Api itu
muncul di dunia.
Kudengar api itu
membuat jaman baheula
mengeluarkan telur.
Lalu telur menetaskan cerita
yang membentangkan debu hasil
mengulum dan menggulung dunia.
Kudengar cahaya berbisik: Api itu
padam. Semenjak api itu padam,
dunia melafalkan bunyi.
Seribu tahun lewat,
dunia menghidupkan sepasang batu:
Sepasang batu berbunda dunia,
sepasang batu mengelanai dunia,
sepasang batu saling bercinta
ketika dunia pancaroba.
Kudengar cahaya berlirih: Api itu
kembali. Kudengar api itu hadir
pada diri sepasang batu yang mulai
mengkhianati dunia,
menolak gerbang fana.
Surakarta, 2016
Menulis Harimau
Aku menulis harimau di hutan leluhur
yang sering diceritakan ulang
oleh nenek. Aku menulis harimau sedang mandi di sungai
bersama arwah leluhur.
Harimau suka becermin di air sungai.
Wajah harimau serupa wajahku. Aku yakin
pembuluh darahku
mengalirkan jalan harimau. Nenek memuji harimau
di hutan leluhur suka menghalau kesialan kita.
Di dunia hewan, harimau termasuk sebangsa kucing,
terlihat tingkah lucu harimau berlari
ke hutan leluhur
setelah berhasil mencuri ikan di rumahku
leher harimau terus dielus oleh arwah leluhur.
Aku menerka kulit harimau yang seperti api berkobar itu
adalah pelita menghapus gelap malam,
kesegaran udara menyentuhi bulu hidung,
pandangan tajam mengais tumpul dunia.
Nenek pernah berbisik
ketika aku memperlihatkan gambar harimau:
”Harimau kita memang bersayap dan mahir terbang.”
Sembari rehatkan diri, aku tunggu harimau
dalam tulisanku tidur pulas
di hutan leluhur. Kalau harimau sudah terbangun,
tangannya akan keluar dari tulisanku.
Surakarta, 2017
Suara Samar Hutan
Hujan berhenti membasahi hutan, tapi halimun senja
membuat petualang harus cepat keluar
dari sesak semak dan daun.
Tinggal setengah jam lagi,
halimun senja berganti sinar biasan bulan. Jika begini,
petualang
memilih tidur dalam hutan.
Gagal. Petualang terjaga diganggu nyamuk nakal.
Beberapa saat, petualang mendengar
suara samar hutan. Tapi asing bagi daun telinga
petualang
menangkap maksudnya.
Hutan terus memberi suara samar kepada petualang.
Yang ada hanya kebisuan petualang
sembari tangannya mengelus
salah satu pohon dalam hutan.
”Aku datang, lenggang, gamang,” mau juga petualang
membalas suara hutan.
Semua pohon dalam hutan
langsung bergetar,
seperti terkena gempa. Petualang ketakutan
dan memeluk tubuh pohon yang dielusnya tadi.
Tapi petualang tak sadar, akar hutan mulai berjalan
menuju laut dan menjadi pulau tersendiri.
Petualang yang masih dalam hutan, keesokannya
terus mencari jalan pulang
ditemani
suara samar hutan.
Surakarta, 2017
Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Buku puisinya adalah Sang Perajut Sayap (2011) dan Sepatu Kundang (2012).
M Aan Mansyur
Sebelum Membaca
ke sekolah setiap pagi aku pergi
dengan harapan tiba di kamar sendiri –
atau di ruang kelas di mana tidak ada
siapa pun selain aku. tetapi
ketika pulang, aku ingin tidak
pernah sampai di rumah. hanya
di jalan. langit ialah buku favoritku.
buku gambar semua manusia. puisi
tak rampung. cerita tak berujung.
aku ingin menuliskan pikiran
gelapku di atas kertas yang lebih
gelap. ketika aku hilang kelak
tidak ada yang akan kutinggalkan
selain diri sendiri yang tidak
pernah lengkap.
Sebelum Percaya
di antara segala yang tak kupahami, diriku
terlalu cepat kupelajari dan terlampau lambat
kumengerti. dan kau
di kejauhan, ada seseorang di dalammu
melarang merindukan diri lain. masa lalu
yang membuat kopi pagi tidak butuh
gula dan kawan bicara.
aku menulis berjuta-juta kata tapi
tiap kata lupa dari mana dan untuk siapa
ia tiba. aku mencintai segala yang tidak
memaksa aku mengingat kau. tapi
tak ada yang jauh. hanya ada
jarak. tapi
tanpa jarak, puisi adalah api –
kata-kata kayu bakar semata. tapi
kau tak perlu menyentuhnya. tapi
aku ingin mengajakmu membaca dan
berbahagia dan berduka. tapi
aku percaya tiap manusia
cuma memiliki keraguan
Sebelum Bicara
pikiran terbuka bertanya,
katamu. (pikiran tertutup
menjawab)
namun segala telah jadi jawaban
dan tidak ada seorang pun tabah
menantikan pertanyaan. semua
orang mengungsi dari perang
yang berkecamuk dalam diri
mereka. kita tak menemukan
apa pun selain keindahan lama;
anak-anak muda dalam jebakan
foto-foto tua atau rumah masa
kecil dalam mimpi orang-orang
yang tidak pernah tidur.
di puisi ini hanya ada satu kota
yang terbuat dari lelehan cermin.
kau bisa menyaksikan masa lalu
mencair jadi tiada dan masa kini
tak sanggup ditangkap. jauh
di tengah-tengah ada taman;
pohon-pohon belajar tumbuh –
dan karenanya burung-burung
kecil dalam dirimu ingin punya
lebih dari sepasang sayap
dan semua orang tak juga
menemukan wajah mereka –
kita takut jadi diri sendiri
Sebelum Sendiri
kenangan dan harapan, kata satu penyair,
ialah dua negara yang tidak ada di peta.
kubawa keduanya ke mana-mana –
dan ingatan: paspor yang selalu minta
diperbarui.
dalam diriku: membentang jarak kedua
negara itu dan dari sana hidup melimpahkan
sepi; di puisi ini kusimpan sebagian untukmu
sebagai langit yang tidak tahu berubah warna
atau jendela atau buku cerita yang menghapus
kata-kata sendiri atau rumah tanpa penghuni.
kelak kau menginginkan
sepi melebihi apa pun, ketika tidak mampu
kautemukan dirimu di mana-mana. dan akan
kaupaham hidup ialah upaya menerima
ketidaksanggupan dan menolak keinginan –
supaya langit itu atau jendela buku rumah
itu melimpahkan lagi sepi yang lebih
berat daripada ketanpaan
Sebelum Bertemu
perihal paling indah dari langit
dan langit-langit: tidak pernah
menjawab ketika kau bertanya.
mereka menginginkan kau
meragukan keyakinan
selamanya.
orang butuh, kata orang, lebih
sering sendiri agar bisa jujur.
aku mencintaimu dengan pikiran
dan perasaan yang tak bisa kuubah
jadi kata-kata. apakah diam
adalah dusta? tetapi
kekasih dan puisi sama saja:
tempat sembunyi. kata-kata
dan makna saling menghindari
agar bisa mencintai dan memberi
rasa aman bersamaan.
Sebelum Pulang
aku ingin jadi matahari yang gelap
melebihi puisi yang hidup dalam kemiskinan
bahasa. kata-kata yang selalu berjuang
memeluk tubuh yang tidak ada
seperti usaha sia-sia mencari sesuatu
yang bisa mengganti udara.
puisi ini ialah bayangan yang gamang:
apakah tubuh kita adalah bayangan
tubuh kata?
aku sendiri dan kekosonganku
terlalu berat untuk kutanggung.
tidak ada
siapa pun yang bisa kuminta tinggal.
aku tidak pernah mengatakan: jangan
pergi.
adakah matahari yang gelap
melebihi puisi. tujuan hidupku
hari ini: aku ingin tahu
M Aan Mansyur bekerja sebagai pustakawan di Katakerja, Makassar. Buku terbarunya, Tidak Ada New York Hari Ini (2016), berisi serangkaian puisi yang bertolak dari kisah Ada Apa dengan Cinta 2.
Komentar
Posting Komentar