Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
18 Agustus 2018
AGIT YOGI SUBANDI
Belajar Sejarah
Di foto itu, saya berumur 5 tahun,
berdiri di antara papa dan mama saya,
di sebuah asrama tentara yang sempit,
dan tangan saya memeluk diri saya
sendiri yang mengenakan baju
putih berdasi biru toska. Paman saya
kuyup karena telah mencari saya
selama satu jam dan saya masih
berlari di sebuah lapangan sepakbola
yang diguyur dan digenangi air. Kaos
kutang dan celana pendek saya
menjadi cokelat. Petir seperti letusan
senjata di seremoni pemakaman
seorang tentara. Terkadang seperti suara
marching band resimen yang masih belajar.
Dan kilat, yang seperti blitz foto studio itu
akan menjadi cahaya penghantar
bagi suara yang nyaring dan memekakkan
telinga kami. Langit seperti gedung
pertunjukan yang bocor cahaya.
Langit seperti kedipan genit seorang kawan
yang ingin membohongi kawan yang lain.
Saya dan teman-teman memilih tiarap
melihat kilat dan mendengarkan suara itu
dan berdiri lagi setelah suara itu menghilang.
Kami mulai mengejar bola kembali.
Paman saya masuk ke lapangan
menangkap saya dengan cara menggendong.
Saya pulang tanpa berpamitan
kepada teman-teman saya. Dan sepotong murung
langit sore itu saya bawa di mulut saya.
Paman saya seperti mobil yang berjalan
di tengah hujan. Sesampainya di rumah,
suara marching band yang baru belajar itu
pindah ke mulut mama saya, dan kilat
yang seperti blitz kamera itu pindah
ke mata mama saya. Hujan pindah
ke kamar mandi saya dan langit
menjadi tangan mama saya. Dan sesekali
senjata seremoni kematian itu meletus.
Setelah itu saya mengenakan baju
dan tangan mama saya membaluri perut
saya dengan minyak kayu putih. Papa saya
sudah siap di kursi ruang tamu. Paman saya
sudah siap dengan kameranya. Dan ia memberi tahu
saya bagaimana berpose. Saya masih kedinginan.
Mama saya kemudian merangkul saya dari belakang.
Tapi saya diminta tersenyum. Itu tahun 1990,
setahun setelah mereka menempati rumah itu.
Dan setelah 28 tahun sejak foto itu ada
kami masih tersenyum di atas lantai semen
yang setiap retakannya telah ditumbuhi ilalang
dan rumpun putri malu.
2018
Aku Menyaksikan
Profesor yang renta itu tertegun di kursi rodanya, menatap
rak-rak buku yang masih selalu rapi menyimpan bahasanya.
Baginya bahasa adalah sebuah jembatan yang dapat
menyatukan dua daratan yang terpisah. Ia ingin membaca
sebuah tanda di dalam buku-buku itu. Tapi tak mampu lagi
ia meraihnya. Anjing menggonggong dari rumah
tetangganya dan ia bergegas memanggil anaknya, “Ada apa
di luar sana?” Lalu ia menatap lagi rak buku itu, sambil
sesekali menatap dirinya yang masih muda dan mencium
harum kayu yang disemprot antirayap. Ia terus menatap
rak-rak buku itu, seperti patung dewa Yunani dengan
segala ketakberdayaan dan kebisuannya. Entah berapa
bahasa yang telah menjadi lapuk di mulutnya. Malam telah
sangat basi untuk dimengerti. Bunga-bunga bermekaran
dirayapi embun. Dan bahasanya membasahi otakku.
2018
Tuan Pengacara
Di sebuah gang yang jalannya direbahi bayang-bayang
pohon jati dan helai-helai daun tebu, dengan sebuah garis
tengah yang ditumbuhi rumput liar dan dijalari rumpun
putri malu, seorang lelaki ceking tapi bernama besar
melihat bayang-bayang tubuhnya hilang di dalam bayang-
bayang pohon itu.
Suaranya menggema di dalam dadanya, seperti suara
pantulan di dalam gua. Suara yang berulang-ulang meninju
dadanya. Suara-suara yang mengejek langkah kakinya, di
antara barisan tebu yang selalu berbisik tentang bau
keringat yang menetes dari ketiak pekerja yang menjadi
pupuk untuk tubuhnya sendiri. Ia tetap berjalan sambil
menelusuri debar kalimat-kalimat Vollenhoven di
kepalanya, sambil sesekali membayangkan cambang di
wajahnya yang terlihat berat sebelah. Lelaki itu berulang
kali mencoba menegakkan punggung ilalang yang
menunduk, tapi tak berhasil. Angin meniupnya kembali.
Seorang lelaki dengan segelas scotch wiski yang diisi
berulang-ulang, yang merendam tubuh ceking lelaki itu ke
dalam gelasnya, kemudian mengawetkannya di rak buku
tuanya. Senja tiba, dan matahari sekuning jeruk medan di
keranjang buah di bangsal-bangsal rumah sakit dan akan
segera membusuk.
2018
Agit Yogi Subandi menerbitkan buku puisi Sebait Pantun Bujang (2010). Ia bekerja sebagai dosen di sebuah universitas swasta di Bandar Lampung.
BOY RIZA UTAMA
Menziarahi Tiku
Mencuat ke kakimu: lidah ombak
Tak ada daun gugur di atasnya
Perahu bergeming, kau tatap itu
Pokok kelapa jauh dan angin letih
Menyusuri selimut biru terbentang
Yang mengisap kapal leluhurmu
Kini kau temukan cahaya gagal
Jadi juru selamat bagi para kelasi itu
Grup stambul dan sejumlah tuan tanah
– Semuanya selesai dalam satu tarikan
Napas purba yang mengunggah lidah
Ombak itu: maut yang juga menantimu
Pariaman–Bukittinggi, 2018
Ekspatriat di Palolok
Saat mengetahui bahwa seorang haji padri telah
Digenapkan namanya sebagai penanda wilayah ini
Mereka terus berjalan ke arah sawah dihamparkan
Sebuah peta Bukittinggi bertahun lawas terkembang
Dan mereka menyebut sebuah kurun yang belum jauh,
“Haji Padri, di Rokan, tuan punya kembaran,
Saudara seiman, dan kawan seperjuangan.”
Anak sekarang mana mengerti perihal revolusi,
Seseorang di antara rombongan menyebut itu
Saat sepatu si-gila-sejarah terikat pada luluk,
“Tuan Haji, di mana letak marka jalan dengan Tuan
Punya nama dan di mana pulakah makam Anda berada?”
Kini peta Bukittinggi bertahun lawas itu diremas
Oleh salah seorang dari mereka – kawula jajahan
Yang menuntut kemerdekaan entah dari siapa
Sementara sawah itu pada musim berikutnya akan
Dijadikan perumahan: kubur bagi sang haji
Yang namanya cuma sebatas marka jalan ini
Bukittinggi, 2018
Mandiangin Mandi Api
Mandiangin mandi api
Kutemukan jasadmu: kenangan yang mengabu
Di kota dingin begini
Ingatan adalah candu
Kunyalakan rokok sekali lagi
Asap dan dendam melenting menuju
Sebuah kurun yang kutinggal pergi
Menyusuri bukit-bukit menjelang runtuh
Kuhampiri dirimu, kini kutagih semua mimpi
– Pelampiasan segala kerinduanku
Tapi yang kutemukan hanya Mandiangin mandi api
Selebihnya jasadmu dan apriori tentang menunggu
Bukittinggi, 2018
Kubur Kembar di Onrust
– buat SY
Kitab kian kuning sejak kamu dengar
Ia berkata perihal sesuatu yang besar
“Tak akan ada lagi perjuangan seperti ini
Sampai seribu tahun mendatang”
Apa benar? Kamu jadi sering bertanya
Dan tepekur murung di muka jendela
Ilalang kian tinggi di depan jalan
Dan sawah mulai ditinggalkan
“Imam,” sekali lagi kamu mendesak,
“Apa benar yang Tuan beritakan?”
Setelah itu tujuan adalah perpindahan
“Tapi di danau ini, orang bikin keramba
Tiadakah ikan berzikir dalam geleparnya?”
Setelah itu perpindahan adalah kesalahan
“Tapi ke danau ini, kapal-kapal besar tiba
Bujuk setan bertebaran bagai benih ikan”
Di Onrust kamu dengar ada kubur kembar
Dan ingin sekali ke sana buat memastikan
“Apa benar dalam 1.000 tahun ke depan
Surga dan neraka melulu soal pertempuran?”
Setelah itu kesalahan adalah petunjuk jalan
Sebelum mengasingkan diri, kamu dengar
Anak dan kemenakanmu berteriak dari tebing
Melambai padamu seperti ajakan pulang
“Ayah, Mamak, lekas pulang; ceritakan lagi
Perihal pantat kerbau disumpal jari seorang
Saleh yang bikin kapal Belanda tenggelam”
Jakarta, 2018
Boy Riza Utama lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Mei 1993. Ia bergiat di Komunitas Paragraf, Pekanbaru.
AGIT YOGI SUBANDI
Belajar Sejarah
Di foto itu, saya berumur 5 tahun,
berdiri di antara papa dan mama saya,
di sebuah asrama tentara yang sempit,
dan tangan saya memeluk diri saya
sendiri yang mengenakan baju
putih berdasi biru toska. Paman saya
kuyup karena telah mencari saya
selama satu jam dan saya masih
berlari di sebuah lapangan sepakbola
yang diguyur dan digenangi air. Kaos
kutang dan celana pendek saya
menjadi cokelat. Petir seperti letusan
senjata di seremoni pemakaman
seorang tentara. Terkadang seperti suara
marching band resimen yang masih belajar.
Dan kilat, yang seperti blitz foto studio itu
akan menjadi cahaya penghantar
bagi suara yang nyaring dan memekakkan
telinga kami. Langit seperti gedung
pertunjukan yang bocor cahaya.
Langit seperti kedipan genit seorang kawan
yang ingin membohongi kawan yang lain.
Saya dan teman-teman memilih tiarap
melihat kilat dan mendengarkan suara itu
dan berdiri lagi setelah suara itu menghilang.
Kami mulai mengejar bola kembali.
Paman saya masuk ke lapangan
menangkap saya dengan cara menggendong.
Saya pulang tanpa berpamitan
kepada teman-teman saya. Dan sepotong murung
langit sore itu saya bawa di mulut saya.
Paman saya seperti mobil yang berjalan
di tengah hujan. Sesampainya di rumah,
suara marching band yang baru belajar itu
pindah ke mulut mama saya, dan kilat
yang seperti blitz kamera itu pindah
ke mata mama saya. Hujan pindah
ke kamar mandi saya dan langit
menjadi tangan mama saya. Dan sesekali
senjata seremoni kematian itu meletus.
Setelah itu saya mengenakan baju
dan tangan mama saya membaluri perut
saya dengan minyak kayu putih. Papa saya
sudah siap di kursi ruang tamu. Paman saya
sudah siap dengan kameranya. Dan ia memberi tahu
saya bagaimana berpose. Saya masih kedinginan.
Mama saya kemudian merangkul saya dari belakang.
Tapi saya diminta tersenyum. Itu tahun 1990,
setahun setelah mereka menempati rumah itu.
Dan setelah 28 tahun sejak foto itu ada
kami masih tersenyum di atas lantai semen
yang setiap retakannya telah ditumbuhi ilalang
dan rumpun putri malu.
2018
Aku Menyaksikan
Profesor yang renta itu tertegun di kursi rodanya, menatap
rak-rak buku yang masih selalu rapi menyimpan bahasanya.
Baginya bahasa adalah sebuah jembatan yang dapat
menyatukan dua daratan yang terpisah. Ia ingin membaca
sebuah tanda di dalam buku-buku itu. Tapi tak mampu lagi
ia meraihnya. Anjing menggonggong dari rumah
tetangganya dan ia bergegas memanggil anaknya, “Ada apa
di luar sana?” Lalu ia menatap lagi rak buku itu, sambil
sesekali menatap dirinya yang masih muda dan mencium
harum kayu yang disemprot antirayap. Ia terus menatap
rak-rak buku itu, seperti patung dewa Yunani dengan
segala ketakberdayaan dan kebisuannya. Entah berapa
bahasa yang telah menjadi lapuk di mulutnya. Malam telah
sangat basi untuk dimengerti. Bunga-bunga bermekaran
dirayapi embun. Dan bahasanya membasahi otakku.
2018
Tuan Pengacara
Di sebuah gang yang jalannya direbahi bayang-bayang
pohon jati dan helai-helai daun tebu, dengan sebuah garis
tengah yang ditumbuhi rumput liar dan dijalari rumpun
putri malu, seorang lelaki ceking tapi bernama besar
melihat bayang-bayang tubuhnya hilang di dalam bayang-
bayang pohon itu.
Suaranya menggema di dalam dadanya, seperti suara
pantulan di dalam gua. Suara yang berulang-ulang meninju
dadanya. Suara-suara yang mengejek langkah kakinya, di
antara barisan tebu yang selalu berbisik tentang bau
keringat yang menetes dari ketiak pekerja yang menjadi
pupuk untuk tubuhnya sendiri. Ia tetap berjalan sambil
menelusuri debar kalimat-kalimat Vollenhoven di
kepalanya, sambil sesekali membayangkan cambang di
wajahnya yang terlihat berat sebelah. Lelaki itu berulang
kali mencoba menegakkan punggung ilalang yang
menunduk, tapi tak berhasil. Angin meniupnya kembali.
Seorang lelaki dengan segelas scotch wiski yang diisi
berulang-ulang, yang merendam tubuh ceking lelaki itu ke
dalam gelasnya, kemudian mengawetkannya di rak buku
tuanya. Senja tiba, dan matahari sekuning jeruk medan di
keranjang buah di bangsal-bangsal rumah sakit dan akan
segera membusuk.
2018
Agit Yogi Subandi menerbitkan buku puisi Sebait Pantun Bujang (2010). Ia bekerja sebagai dosen di sebuah universitas swasta di Bandar Lampung.
BOY RIZA UTAMA
Menziarahi Tiku
Mencuat ke kakimu: lidah ombak
Tak ada daun gugur di atasnya
Perahu bergeming, kau tatap itu
Pokok kelapa jauh dan angin letih
Menyusuri selimut biru terbentang
Yang mengisap kapal leluhurmu
Kini kau temukan cahaya gagal
Jadi juru selamat bagi para kelasi itu
Grup stambul dan sejumlah tuan tanah
– Semuanya selesai dalam satu tarikan
Napas purba yang mengunggah lidah
Ombak itu: maut yang juga menantimu
Pariaman–Bukittinggi, 2018
Ekspatriat di Palolok
Saat mengetahui bahwa seorang haji padri telah
Digenapkan namanya sebagai penanda wilayah ini
Mereka terus berjalan ke arah sawah dihamparkan
Sebuah peta Bukittinggi bertahun lawas terkembang
Dan mereka menyebut sebuah kurun yang belum jauh,
“Haji Padri, di Rokan, tuan punya kembaran,
Saudara seiman, dan kawan seperjuangan.”
Anak sekarang mana mengerti perihal revolusi,
Seseorang di antara rombongan menyebut itu
Saat sepatu si-gila-sejarah terikat pada luluk,
“Tuan Haji, di mana letak marka jalan dengan Tuan
Punya nama dan di mana pulakah makam Anda berada?”
Kini peta Bukittinggi bertahun lawas itu diremas
Oleh salah seorang dari mereka – kawula jajahan
Yang menuntut kemerdekaan entah dari siapa
Sementara sawah itu pada musim berikutnya akan
Dijadikan perumahan: kubur bagi sang haji
Yang namanya cuma sebatas marka jalan ini
Bukittinggi, 2018
Mandiangin Mandi Api
Mandiangin mandi api
Kutemukan jasadmu: kenangan yang mengabu
Di kota dingin begini
Ingatan adalah candu
Kunyalakan rokok sekali lagi
Asap dan dendam melenting menuju
Sebuah kurun yang kutinggal pergi
Menyusuri bukit-bukit menjelang runtuh
Kuhampiri dirimu, kini kutagih semua mimpi
– Pelampiasan segala kerinduanku
Tapi yang kutemukan hanya Mandiangin mandi api
Selebihnya jasadmu dan apriori tentang menunggu
Bukittinggi, 2018
Kubur Kembar di Onrust
– buat SY
Kitab kian kuning sejak kamu dengar
Ia berkata perihal sesuatu yang besar
“Tak akan ada lagi perjuangan seperti ini
Sampai seribu tahun mendatang”
Apa benar? Kamu jadi sering bertanya
Dan tepekur murung di muka jendela
Ilalang kian tinggi di depan jalan
Dan sawah mulai ditinggalkan
“Imam,” sekali lagi kamu mendesak,
“Apa benar yang Tuan beritakan?”
Setelah itu tujuan adalah perpindahan
“Tapi di danau ini, orang bikin keramba
Tiadakah ikan berzikir dalam geleparnya?”
Setelah itu perpindahan adalah kesalahan
“Tapi ke danau ini, kapal-kapal besar tiba
Bujuk setan bertebaran bagai benih ikan”
Di Onrust kamu dengar ada kubur kembar
Dan ingin sekali ke sana buat memastikan
“Apa benar dalam 1.000 tahun ke depan
Surga dan neraka melulu soal pertempuran?”
Setelah itu kesalahan adalah petunjuk jalan
Sebelum mengasingkan diri, kamu dengar
Anak dan kemenakanmu berteriak dari tebing
Melambai padamu seperti ajakan pulang
“Ayah, Mamak, lekas pulang; ceritakan lagi
Perihal pantat kerbau disumpal jari seorang
Saleh yang bikin kapal Belanda tenggelam”
Jakarta, 2018
Boy Riza Utama lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Mei 1993. Ia bergiat di Komunitas Paragraf, Pekanbaru.
Komentar
Posting Komentar