Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda

Tanah Keras oleh Mustofa W Hasyim

9 Juni 2018
Mustofa W Hasyim

Tanah Keras
Hidup seperti tanah keras, napas panas mengeringkannya.
Ayah mencoba berdamai dengan usia dan musim
Dengan menyalami tetangga, ada saja sapa
mengajak kenduri, ayah memimpin doa di rumah-rumah sunyi.
Pulangnya, sebuah dunia tani tersaji dalam besek, harum daun pisang,
dedaun bumbu kelapa, separo telur itik, seserpih daging ayam jago,
sambal kentang aromanya memenuhi rumah kecilku.
”Ayo, bangun, bangun, ini ada salam dari tetangga,” kata ayah.
Aku memang belum memejamkan mata, menunggu.
”Mengapa harus dari orang mati orang rumah ini mendapat rejeki?”
Ayah tersenyum pahit mendengar pertanyaanku.
”Hidup memang tanah keras, pertanyaanmu membuatnya jadi cadas.”
Aku gemetar, tidak berani lagi bertanya, bertahun-tahun.

2018


Hantu Kecil


Gesekan bambu, keriut, daun memperlama goyang
Gerimis satu-satu menimpa tanah, basah menggigilkan kuduk
Bunyi tik-tok penjual bakmi malam terhenti
”Minta api, minta api,” kata kayu kering tanpa tangan.
Darah penjual bakmi membeku, ini pasti Kiai Upet, pikirnya
Hantu penunggu Makam Thokolan suka iseng.

Rombongan pulang ngajiku sampai, merasa ada jebakan gaib
”Tenang, tenang, kita punya doa pengusirnya,” kataku.
Ramai sekali, sambil menggerakkan obor, suara doa
menyerbu bawah makam. Aman, aman, aman.
”Terima kasih Nak, aku akan melanjutkan menjual bakmi,” kata Lik Ijan,
Riang kaki. Mendekati rumah dan kampung sendiri, langit tetap gelap.

Mengapa harus hantu yang menemani kanak-kanakku? Bukan malaikat?
Besar dan tua. Seandainya hantunya kanak-kanak tentu kami ajak bermain
Sampai tua, kurindu hantu-hantu kecil ramah dan lucu
Tak pernah datang
Meski kupanggil dengan seribu hahasa.

2018


Mustofa W Hasyim adalah Ketua Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta. Kumpulan puisi terbarunya, Pidato yang Masuk Surga, sedang dalam proses penerbitan.




Seno Joko Suyono

Schewedagon Pagoda

Klentingan bel-bel di ketinggian terlalu lemah terdengar
Ia terhisap awan kumulus dan dibawa pergi berarak

Tapi kuping Siddharta yang besar membantumu
Pendengarannya mengejar awan. Merebut bunyi itu
Dan menjatuhkannya di punggung stupa kuning yang licin

Lalu mereka yang tersesat di keriuhan jamaah sadar
Ada sayup-sayup Dhammapada menjalar dari telapak kaki
sampai ubun. Mengalir mengikuti arus darah ke atas

Darah kental akan lancar
Berjalan kaki sejauh mana pun jantungmu kuat
Menuju kota terpencil apa pun tanpa kompas akan sampai

Beberapa ratus kilo ke depan pagoda lain menanti
Kuil lain membuka diri. Batu-batu bertelapak agung
Menunggu diusap. Menanti didaras

Bagai magnet
Genta yang dipukul para biarawati dari Yangon, Bagan, Mandalay
Menarik dentingan klenengan Schewedagon yang ada di langkahmu


Di Reruntuhan Biara Pulau Inwa

Gelap. Aku tak berani masuk lebih jauh
Di ujung sana mungkin ada tangga retak menuju nirvana
Bau bata yang lembab ingin kubawa untukmu

Lembab adalah lisan malaikat
Lembab adalah kesaksian akhir dunia

Kukonde rambutku. Ketipak kaki kuda yang membawaku ke mari dari
vihara. Kurangkai sebagai gelung kejantanan
Kukabarkan kepadamu aku baru saja memasuki fatamorgana tua
para biku. Hanya tersisa kelelawar dan puing

Yang tatkala kutinggal tak berani kutoleh
Aku takut lahir sebagai binatang lagi


Laut Cilincing

Sampan-sampan berhio memboyong duka
Abu arwah dilabuhkan
Buih-buih ombak bergaram jenasah

Dari pagoda merah menyusuri kampung
Bau kremasi sudah tercium dari jauh
Bunyi krak krak kayu rumah pembakaran menyergap dermaga

Kemudi dan buritan terseka uap hangus daging
Nyanyian maut tulang belulang menciumi geladak
Perahu-perahu koyak tapi tak gentar
Melaut jauh sampai Madura

Aku teringat cerita anak Lee Man Fong
Setelah mayat bapaknya dibakar di sini
Ia sendiri yang memecah tengkorak kepalanya dengan martil
Lalu menaburkannya di perairan lepas pagi itu


Jam Malam

Aku periksa lagi kalimat yang akan kukirim kepadamu
Hanya beberapa kata kerja yang kumengerti
Semuanya tak ada yang menjurus ke situasi yang kuinginkan
Kalimatku timpang konjugasi
Koyak sana koyak sini paragrafnya

Jalanan ke zona perdamaian senyap benar
Karung-karung goni berpasir ditumpuk menutup lorong
Kawat berduri dibentangkan barikade
Ranjau-ranjau ditebar di radius batas
Sirene mati. Ambulans hilang

Kucari padanan kata perlindungan pada kamus
Kucari terjemahan kata tunduk
Kugapai-gapai sinonim kata pertolongan
Aku ingin merangkai sebuah kalimat menggambarkan situasi sulit
Situasi yang meminta penyembuhan dan syafaat
Bukan hanya kasus akusatif dan datif yang kuperlukan

Alamat tujuanku berada dalam bungker langit
Ia tak terdeteksi radar
Ia semestinya bisa berbicara dalam bahasa apa pun
Termasuk surat tanpa tata dan vokabuler yang tepat

Amplop dan kertasku kelabu
Tintanya masih basah. Berwarna biru keemasan
Dengan alamat yang lembut
Semoga semua tak mustahil

Tanpa kata kerja yang lengkap. Tanpa tanda baca yang genap.
Tanpa tanda waktu. Tanpa kurir dan mata-mata berpengalaman
Permohonan minta tolongku selamat menyusuri jam malam


Hotel BB


Tibalah kita pada hotel, dini itu
yang resepsionisnya berteka-teki mengenai Nabi
yang diminta memilih meminum susu atau anggur
sebelum melakukan mi’raj
“Nabi meneguk susu,” terkamu. Jawabanmu tepat
Dan kita mendapat diskon. Dan kita melakukan perjalanan malam
Air panas shower semestinya meredakan lelah
Tapi “air ini seperti air anggur, badanku malah lengket,” igaumu
Lalu kamu menyamar menjadi sijingkat
Tiap dua jam. Bayang-bayangmu menjelma tamu baru.


Surat untuk Annie Besant

Anak itu digendong nelayan
Bayi yang lahir di sebuah perahu
Terombang ambing di Laut Buton. Kesasar di teluk Madura.
Dan dihantum gelombang perairan Sawu

Anak itu ufuk asin. Ia mengenal bagaimana lumba-lumba
menyanyikan Gitanyali. Sebelum diharpun penjarah laut Flores
Kutemukan ia sebagai Jiddu yang lain. Almasih masa depan

Dengarlah ceritaku:
Sore itu. Pantai khayal yang ada dalam pupuh
mendengar pangilan lirih lokan-lokan
Nina bobonya tiada bisa menangkap tanda-tanda
yang mendadak melintas begitu saja. Dan hanya berlaku
untuk mereka yang mengerti makna dua selat

Sutra-sutra terluka meriwayatkan:
Ikan-ikan yang mati meloncat-loncat lagi
tatkala ia membuat kuil pasir. Dan kerang-kerang mengorbankan diri
menjadi jembatan. Serta tentakel oktopus memuntahkan mutiara

Balas suratku: Adakah tempat di ashrammu
Bagi Jiddu yang bisa memasuki kupingnya sendiri



Seno Joko Suyono pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM. Tinggal di Bekasi. Mengelola Borobudur Writers and Cultural Festival.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su

Malam oleh Avianti Armand

6 Mei 2017 Avianti Armand Malam – untuk Ibu Seperti ini aku akan mengingat malam: Ayahku terbang setelah gelap dengan deru besi seperti derap dan ia belum akan pulang sampai aku pergi nanti. Kata ibuku: Kehilangan adalah jarak yang terlalu jauh. __ Adikku takut pada bayangannya, maka kami meninggalkannya di luar. Tapi menjelang tidur, bayangan itu kesepian dan meraih jendela – Tok. Tok. Tok. Di bawah selimut, kami bersembunyi. ”Apa dia akan mengambilku?” tanya adikku. Tok. Tok. Tok. ”Tidak.” ”Apakah ia akan menciumku?” Tok. Tok. Tok. ”Ia akan menciummu.” __ Tidur, ibu. Malam sudah menyimpan yang ingin kita lupakan. Juga rahasia yang melahirkan kita. 21:17 13.12.2016 Gravitasi Hari ini kita akan berjalan dan menjelma gema badai pasir – Seorang lelaki menyentuhkan ujung jarinya ke tanah yang memanggil namanya dan mengingatkan ia tentang asal dan takdirnya. Sesudah itu, ia akan tinggal. Tapi kita akan terus berjalan. 16

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi