Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Mardi Luhung Kejahatan yang Tersembunyi Apa yang kau sembunyikan di pikiranmu. Kobar api atau sebilah pedang yang mengkilat. Atau kesal panjang yang tak pernah mengenal kata maaf. Dari menara kau mendengar seruan agar kembali. Tapi kau terus saja bergerak. Merasa langit telah bolong. Dan sekian belerang berjatuhan. Menimpa tiap kepala. Kepala yang seperti daun dimakan belalang. Di genangan, kau melihat bayangan wajahmu. Wajah yang lebih mirip mripat saga. Mripat yang membuat tiap bayi menangis. Dan tiap orang tua menabuhi sekian peralatan dapur. Berteriak. Menggusah. Dan kembali lagi menabuhi. Memang, waktu itu, semua yang kau pandang tampak demikian renik. Demikian gampang untuk dilumat dan dijentikkan. ”Aku adalah yang tak terundurkan,” begitu teriakmu. Sebelum akhirnya kembali terlelap di ranjang. Ranjang nomor 33 di kamar yang gemetar. Dan tersembunyi. (Gresik, 2018) Batas Pemuda ganteng itu tak langsung pergi. Pelan-pelan sepasang sayapnya dilepas dan diletakkan...