Langsung ke konten utama

Afrizal Malna: meteran 2/3 jakarta

Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...

Bukan Hanya di Panggung oleh Warih Wisatsana

3 November 2018

Warih Wisatsana
Bukan Hanya di Panggung


kepada Julia Varley

Bukan hanya di panggung ia membisu

Terdiam semalaman membaca koran
berulang menolehkan wajah perlahan
menunggu ketukan di pintu
menunggu sesuatu

Samar ia mendengar kabar
sahabat-sahabat lenyap dijemput gelap
nama mereka begitu saja terhapus
terhapus desas desus
bagai sekilas torehan dingin di dinding angin

Bukankah mereka berkali mengingatkan
sedini nanti seseorang akan ditembak mati
bukan hanya di panggung
bukan pula di remang dinding
melainkan di taman tepi kapel
dalam rimbun pohonan dalam pandang kasih
anak tuhan terpilih yang tengadah pasrah

Dan tersalib nasib
si mati tak sempat berseru
kenapa sebutir peluru itu
hanya ditakdirkan untukku

Lalu seperti lakon tak kunjung selesai dimainkan
Seorang ibu kuyup oleh hujan semalaman
tiba sepagi ini, mengetuk pintu, digenangi tanya
mengapa dirinya tak boleh tahu
tak boleh bertanya:

Bocah ini dari mana asalnya, hangat darahnya
membuat hijau rumputan terhampar pilu?

Ya, bukan hanya di panggung ia mendengar
tanya berulang tentang mereka yang hilang

Tentang hari-hari penuh derap sepatu
di jalanan di gedung-gedung di rumah sakit
bahkan hingga di kamar tidur anak-anakmu
yang tak kunjung lampau dihalau waktu

Semalaman ia terdiam membayangkan
orang-orang menari cueca tanpa suara
digiring dini hari ke tepi sungai-sungai
dalam sekali letusan mereka berjatuhan
begitu saja lenyap terpusar arus gelap

Berulang ia menolehkan wajah perlahan
menunggu sesuatu
menunggu ketukan di pintu

2018



Pujian bagi Bayangmu

Andai bayangmu lebih tua dari dirimu
ia menjelma sebelum kau lahir
lalu pergi mengikutimu
ke mana pun sembunyi

Sewaktu engkau kecil
ia girang menuntunmu menari
Bersiul lirih ke angin
agar topan tak turun
Bersiul ke air
agar tak hanyut perahumu

Di masa indah remajamu
ia bernyanyi merdu
yang membuat setiap batu
tersedu merindu
setiap kelopak bunga rekah terbuka

Ia selalu mengikutimu
kadang menyelinap serupa gelap
atau tengadah ke awan merah
seolah rubah yang hilang arah

Bayang adalah kekasih tubuh
ingin pasrah jadi tawanan terang

Sekali waktu dengan samaran payung hitam
ia terisak di kelok setapak
mendengar dua letusan bergema sedini pagi

Menyaksikan seorang gadis yahudi
seorang prajurit nazi terbaring mati
tangan erat saling bergenggaman
sejengkal dari topi merah jambu
dari seikat bunga
perlambang kasih mereka
yang ingin kekal bersama

Lihatlah bayangan mereka
terdiam dalam senyap
melangkah menjauh dari dingin tubuh

Dan bila engkau terbaring sendiri
di hari tuamu yang lengang
ia hening menunggu di tepi ranjangmu

Ia paham
keluh yang paling sedih
waktu yang paling pilu

Tangan gaib manakah
yang tega memisahkan
tubuh lembutmu
dari wujud murni
sosok yang penuh rahasia itu

2018



Tarianmu

Bayangkan
panggung ini sebuah taman
seekor ulat pucat
menjelma kupu-kupu
menjelma dirimu
melayang anggun seringan angin

Sebab tubuhmu bukan kepompong
bukan goa tapa yang lengang
atau pondok lapuk yang sebentar remuk

Tubuhmu adalah derai hari
kuyup oleh hidup
tak kunjung memahami
segala yang berkali dialami
Maka menari
menarilah semurni bayi
yang tersenyum sendiri di pagi hari

Lupakan sejenak jasad murung ini
apakah akan jadi sarang rayap
jadi rumah singgah
ular tanah yang gelisah
menunggu musim kawin

Relakan saja kepompong mengering
terjerat sisa siang dan malam
benih rekah dari celah tubuh si mati
sesabar akar menembus bumi

Kelak semusim semi lagi
kupu-kupu akan menghampiri
setelah letih merenungi
wangi diri yang pergi

Kupu-kupu melepas sayapnya
seolah ruh pasrah
berpisah dari tubuh
melayang hening di udara
menyentuh luluh mula cahaya
menyempurnakan yang maha tiada

Maka menari, menarilah semurni bayi
yang tersenyum sendiri di pagi hari

2018



Alamat

Begitu lekas usia membuat siapa saja
menjadi tua dan pelupa
Tiba dini hari di sebuah stasiun
tak tahu kota masa kecil siapakah ini

Tertidur sepanjang perjalanan
kita terbangun sekilas bertanya karcis
tanganmu lalu berulang menulis
nama-nama yang ingin diingat
alamat-alamat yang luput tercatat

Nanar oleh pohonan berkejaran di kaca jendela
Kau berkali bertanya, apakah kita tengah pergi
atau kembali? Pulang ke kampung halaman
atau mengunjungi anak cucu di tanah seberang?

Bukankah petang tadi sebelum berangkat
para sahabat mengingatkan jangan terburu tidur
nanti mimpi menghampiri penuh tangis bayi

Bayi-bayi yang melambai dalam angan impian
berbaur kenangan bocah masa silam
mengulur layangan hingga ujung petang

Begitu lekas kita jadi tua dan pelupa
tak ingat potret siapakah terselip di dompet ini
musuh-musuh terkasih, atau kekasih-kekasih tersisih?
Lamunan angan, kenangan demi kenangan
menenggelamkan engkau dan aku
dalam palung gelap ingatan
dalam deru kereta malam yang melaju

Dengan tiket terusan yang entah ke mana
kita sejenak bersandar di bangku ruang tunggu
engkau bertanya siapakah nama kecilku
aku mengira-ngira di manakah rumah ibumu

2018



Tanya Pertama

Di ambang fajar
kau dan aku tertidur
sedetik dengkur
kemudian terbangun
tertegun menemukan kenyataan
rambutmu pirang
kulitku sawo matang
dunia riang pagi hari
sempurna sebagaimana adanya

Walau dibedakan biru mata
dan warna suara
bahasa pertama kita sama
kenapa terlahir jadi manusia

2018



Kita

Bersamamu kini kutahu
Bila engkau tubuh indah
yang menolak disentuh
aku rasa bersalah yang tak ingin menyerah

Bila engkau kuku biru ibu jari si mati
aku kunang yang tak ingin menghilang

Bila engkau hujan dini hari yang putus asa
aku benih resah di celah tanah yang berduka

Bila dirimu sungai meluap semalaman
aku akar yang meretakkan batuan di tepian

Siapakah yang akan mengingatkanmu
bahwa aku sungguh selalu mengingatmu

2017



Warih Wisatsana tinggal di Denpasar, Bali. Buku puisinya yang terbit awal tahun ini, Batu Ibu, terpilih dalam daftar lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018. Kini ia tengah mempersiapkan buku puisi terbarunya, Kota Kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Rindu oleh Joko Pinurbo

24 Desember 2016 Joko Pinurbo Malam Rindu Malam Minggu. Hatiku ketar-ketir. Ku tak tahu apakah demokrasi dapat mengantarku ke pelukanmu dengan cara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebelum Ahad tiba, anarki bisa saja muncul dari sebutir dengki atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu di bibirku, dan aku gagal mengobarkan Sumpah Pemuda di bibirmu. (Jokpin, 2016) Pulang Rinduku yang penuh pecah di atas jalanan macet sebelum aku tiba di ambang ambungmu. Kegembiraanku sudah mudik duluan, aku menyusul kemudian. Judul sajakku sudah pulang duluan, baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan. Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu membuai jidat yang capai, dompet yang pilu, dan punggung yang dicengkeram linu, uwuwuwu…. Semoga lekas lerai. Semoga lekas sampai. Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai. (Jokpin, 2016) Su...

Kamar Kecil oleh Joko Pinurbo

5 Mei 2018 Joko Pinurbo Kamar Kecil Pada suatu kangen aku dijenguk oleh bahasa Indonesia yang baik hati dan tidak sombong serta rajin tertawa. Kusilakan ia duduk di atas kamus besar di meja yang penuh buku dan kamu. Matanya bingung melihat kamarku lebih kecil dari kamar mandi teman-temanku. Ia turun dari kamus dan bertanya, “Mana kamar besarmu?” “Kamar besarku ada dalam rinduku.” (Jokpin, 2017) Rumah Tangga Bertandang ke rumahmu, aku mendaki jalan berundak-undak serupa tangga. Jalan berundak-undak yang tersusun dari batu bata merah hati. Hatimu. Masuk ke ruang tamu, aku lanjut menapaki tangga menuju kopimu. Tangga kayu yang membuat kakiku gemetar karena rindu. Begitu kuucapkan halosu di depan pintu, sebutir sepi menggelinding menuruni tangga menuju insomniamu. Seekor kucing meluncur menyusuri tangga menuju aduhmu. “Aku ingin sembuh dalam sajakmu.” Bertandang ke dalam sajakku, kau akan melewati tangga kata berliku-liku dan disambut ha...

Kopi Koplo oleh Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Kopi Koplo Kamu yakin yang kamu minum dari cangkir cantik itu kopi? Itu racun rindu yang mengandung aku. (Jokpin, 2018) Belajar Berdoa Enggak usah crigis. Mingkem saja dulu, bereskan hatimu yang amburadul. (Jokpin, 2018) Kakus Tega sekali kaujadikan dirimu yang wah kakus kumuh berwajah rumah ibadah. (Jokpin, 2018) Bonus Langit membagikan bonus air mata kepada pelanggan banjir yang setia. (Jokpin, 2018) Buku Hantu Untuk apa kamu menyita buku yang belum/tidak kamu baca? Untuk menghormati hantu tercinta. (Jokpin, 2018) Malam Minggu di Angkringan Telah kugelar hatiku yang jembar di tengah zaman yang kian sangar. Monggo lenggah menikmati langit yang kinclong, malam yang jingglang, lupakan politik yang bingar dan barbar. Mau minum kopi atau minum aku? Atau bersandarlah di punggungku yang hangat dan liberal sebelum punggungku berubah menjadi punggung negara yang dingin perkasa. (Jokpi...