Afrizal Malna meteran 2/3 jakarta jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu. hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari. sesuatu hari. seorang hari. melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, jakarta, membawaku ke mana- mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya. kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang- gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya. ”ceritakan pada seseorang yang suda...
Nermi Silaban
Berlatih Jurus-jurus Guo Xiang
(1)
Duduk di beranda
belum tulis sepatah kata
lihat seekor arwana perak
lompat rendah di datar kolam
percik air dipernis matahari
spektrum ungu merah
dalam pikiran jernih
adalah rumpun lavender
dan guguran mawar.
(2)
Angan sepintas
jadi angin pusar
melinting daunan mati
di luar pagar semacam orbit
bagi rindumu atau
cuma jaring laba-laba
nyata di situ
sehelai kenangan
telah tertambat.
(3)
Semua beban kini
tinggal urat daun
retak-retak tanah
jejak gempa di dinding
hati ini pun ubah iklim
pada awan-bunglon
lidah petir menjulur
anjing menyalak di jauh
regu merpati bubar
bulu-bulu rontok itu
luruh rintik hujan.
(4)
Sedih sudah balik hari
seduh teh madu secangkir
minum pas panas-kuku-matahari
bau lembap di pekarangan
hanya umpama bagimu
tentang penantianmu
ganti perspektif puisi
seperti menanam krisan
di taman kecil.
(5)
Di lintang kabel telepon
berjongkok burung gereja
berkicau nada tunggu
tak ada halo
ambil rute lalu lintas
macet sejauh ke masa lalu
tertawan hatiku bagai kwatrin
Pagi Musim Semi Meng Haoran.
(6)
Jauhkan gendang inderamu
jauh dari panggung angan ini
sebab belut di liang lumpur itu
tak paham keluh cacing di mata kail
tiada lain makna duka puisi
adalah dusta bagi hatimu.
(7)
Di luar semua itu ingin
hanya duduk dan melihat
warna simpatikmu
pada kulit sejuk lemon
dan manis merah-pucat poppy
dalam wujud seekor kepodang
tanpa menaruh sangkar
semacam tafsir.
(8)
Di hadapanmu
sepasang mata kini
terbayang kuas angin
musim gugur menyapu
rimbun sakura atau
improvisasi Kandinsky
membuat terpaku pikiran
pada phoenix di matahari pagi.
(9)
Semoga hatimu bukan
pertanda bintang jatuh
atau menduga-duga
seucap angin menyeru
dari luar pintu
nyata atau ilusi
keluar dan tatap
itu ilalang atau
rumpun lembang.
(10)
Berpaling dari beranda
isyarat kehadiran senja
pada gunung kau semata
kabut meninggi
pada laut aku sekadar renung
menjala sejumlah kata
sebab kesepian begini
beri kita petualangan batin.
2016
Olok-olok Buah Utu
Kau keturunan silang kacang nangka,
dan getah cempedak
dicampak jauh ke ladang jiran –
ara berteh paya.
Di batas rimba Serawak
kerabatmu tertinggal jadi pejatai
lain di hutan Jawa, saat codot
menebarnya malah jadi buru ongko.
Semisal sukun yang cuma gabus
kau diolok-olok
buah kepala benjol anak kecil
dari indung yang serong;
usai dipinang sirih
ditendang talak kemudian.
Meski manis saat jamuan
nasibmu tak jauh dari getah,
tak luput dari sekadar pencuci mulut.
Kau mengira, muasal moyangmu
bagai mukjizat kacang-meteor
jatuh saat langit subuh.
2017
Menyadur Cempaka
Dari tangan Ibrahim Abduh
kuanggit kembali jejak parfummu
dari setangkai hikayat Jeumpa
kerajaan yang ditinggal dan
dilafal jadi Champa oleh Jawa.
Namun Raffles mendakwa
bukan di Kamboja atau Vietnam
melainkan di pinggir sungai Peudada
sampai Pante Krueng Peusangan Timur.
Maka kususur menuruti aba-aba angin
dan gema gita Bungong Jeumpa
di nagari bukit yang menggait hatiku
serupa Maharaj Syahriar Salman
berpaling dari rombongan niaga
demi Mayang Seludang, kini
menahan aku yang kemabukan
menyadur kau untuk seikat puisi.
2017
Getir Andaliman
Basuh aku dengan percik air matamu.
Rindu akan menjentik jarum waktu
sebelum tulang usiamu bungkuk
atau tiang-tiang rumah mulai lapuk.
Ingatlah hal ini, bukan dengan hati pedih,
bukan juga kenangan bagi si mardan
yang lupa rahim kampung halaman.
Maka izinkan selat itu kuseberangi
meski kelapa diparut berkali-kali, meski sedap
kuah sayur daun tumbuk, tak jua habis
mengenangmu bermangkuk-mangkuk.
Di lambungku telah kekal jerih-garammu
juga babiat yang menggaris silsilah, hulu ke hilir
yang diwarisi ayah ke jantungku dan
jejaknya bersarang. Tetapi kau menghalau
setenang suara ragu: hidup sama artinya
menghadapi pemburu. Sesaat aku tertahan,
ada sisa getir andaliman di lidah. Di jalan
setapak itu, yang berpasir dan berdebu
terluncur kakiku bagai beban seekor lembu
seakan kersik abu padi di piring melamin
digosok tanganmu yang dingin
memisahkan jamuan dari meja makan
melepaskan aku dari sebuah ucapan.
2016
Mawar Menamsil Api
Kita sama mekar
tapi tak serupa gelagat.
Hasratku bernyali pekat
didampingi genggam si pelamar.
Kau cuma gejolak yang tipis
itu pun dijauhi jamah tangan.
Aku dibayang-bayangi lambang
atau merenungi sebuah jambang
tak seperti kau berperan besar
mengusir pedagang-pedagang
dari pasar lama.
Tubuhku dipangkas bugil
dari onakku yang mengoyak
sebab ulu hati dan jemari
hanya tipis selaput.
Kau sengat duri itu sendiri
berselubung dalam nyalamu
tapi tak terlepas dari lenguh
padam oleh regu pemadam.
Aku dipecah-pecah duka
di samping percikan air mata
saat disentuh hari pemakaman.
Dan kau wujud kecurangan
di balik asap di hutan raya
yang berderak-derak
merambah pohon-pohon.
2016
Perayaan Pidada
Kegembiraan yang sebentar
di antara gerimis di halaman
malam di langit Desember;
Kau membuka payung
hati kita telanjur mekar
bagai tangkai sari pidada –
kembang api di detik awal Januari.
Kuncup payung di tanganmu –
kegembiraan kunang-kunang
perlahan disembunyikan ingatan.
Kau adalah jarak di luar kenangan;
aku ranting, tak bisa menjangkau
liku sungai dalam hatimu.
2017
Hikayat Remi
Ini bukan dua tiga notasi pada piano
ini adalah segepok kartu taruhan;
52 helai berbilang pekan ke pekan
bagi kita melipur diri di suatu meja
lepas dari rantai kerja hari-hari.
Kita tak suah tahu, unggul atau masygul
misalkan dua kartu sekop di tanganmu
gagal seri, teringat waru di jalan ke rumah
disapu angin maut musim dingin, kau
meringkuk di tangan si penggali kubur.
Cinderahati tak sekadar organ tubuh
melainkan hati-hati pada raut tipuan
yang pandai meniru gadis pesolek itu
nanti kau bisa merengek tak menentu
hingga jatuh di pelukan waktu melulu.
Nasib buntung tak kerap tersandung
pikirmu mesti sigap mengganti taktik
lihat itu daun-daun di ranting musim semi
atau kaca-kaca pelangi dari bias berlian
yang membangkitkan hati riang wajik.
Sampai jarum jam memutar ke siang
kesempatan menangmu kian keriting
meski berlarat-larat kau berdalih tenang
tak sekali pun kau suang menimpal nasib
untuk menangkal panas sindiran lawan.
2017
Nermi Silaban lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 17 Juli 1987. Menulis cerpen dan puisi. Sedang menyiapkan buku puisi pertamanya, Bekal Kunjungan.
Komentar
Posting Komentar